Borong, Vox NTT- Situasi perbatasan Kabupaten Manggarai Timur (Matim) dan Ngada kembali memanas selama dua minggu terakhir.
Hal itu pun mengakibatkan tewasnya TT (65), warga Dusun Benteng Tawa, Kabupaten Ngada di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Mapar, perbatasan antara Kabupaten Matim dan Ngada.
TT tewas usai terlibat saling bacok dengan warga Desa Sangan Kalo, Kabupaten Matim.
Pada Sabtu, 19 Oktober 2019 lalu, tiga orang warga Desa Sangan Kalo yang terluka, diduga akibat terkena tembakan peluru senapan angin.
“Tiga orang yang tertembak itu betul. Sekarang mereka lagi dirawat di Puskesmas Wukir,” kata Camat Elar Selatan Stephanus Lamar ketika dihubungi VoxNtt.com melalui sambungan telepon, Sabtu, 19 Oktober 2019 malam lalu.
Baca Juga: Situasi Perbatasan Memanas, Ini Penjelasan Camat Elar Selatan
Selanjutnya, dalam pernyataan persnya, Wakil Bupati Matim Jaghur Stefanus menegaskan bentrok yang terjadi di wilayah perbatasan, tidak ada kaitan atau hubungan dengan tapal batas.
“Ini murni masalah perseorangan,” ungkap Jaghur seperti dilansir dari media online timexkupang.com di Rujab Wabup Matim, di Golo Lada, Kelurahan Rana Loba, Kecamatan Borong, Rabu (23/10) malam.
Menurutnya, bentrok yang terjadi antarwarga Desa Sangan Kalo, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Matim, dan warga di Desa Benteng Tawa, Kabupaten Ngada karena murni rebutan lahan garapan di delta sungai kali Wae Mapar.
“Saya mau tegaskan, peristiwa bentrok itu tidak ada hubungan dengan rubah tapal batas antarkedua wilayah kabupaten. Sudah selesai itu tapal batas. Apalagi di wilayah itu, tapal batasnya tidak ada soal di dua kabupaten. Karena di situ sudah ada batas alam, yakni kali Wae Mapar,” jelas Wabup Stef.
Wabup Stef menegaskan, lahan yang direbutkan warga juga bukan di dataran persawahan Gising, Kecamatan Elar Selatan. Tetapi lahan delta pada daerah aliran sungai (DAS) Wae Mapar. Dimana, sewaktu-waktu lahan delta itu akan hilang disapu banjir. Luas lahan delta itu sekira 5 hektare.
“Kalau ada pihak yang kaitkan masalah itu dengan tapal batas, itu salah. Karena saya dan Kapolres Manggarai sudah datang ke lokasi dan tanya warga di sana. Lokasi lahan yang direbut itu bukan di persawahan Gising. Tapi delta di kali Wae Mapar,” kata Wabup Stef.
Menanggapi hal itu, kader PDIP Matim Wilibrodus Nurdin tampak geram. Ia pun meminta Bupati Matim Agas Andreas dan Wakil Bupati Jaghur Stefanus untuk stop memberikan pernyataan pers, apabila tidak mampu mencermati situasi dan kondisi di perbatasan.
“Karena apa yang saya baca di berita timexkupang, bahwa ada pernyataan seolah-olah peristiwa di sana bukan karena persoalan perbatasan. Itu keliru, ada dampak ikutan atau iramanya,” tegas Wili kepada VoxNtt.com, Sabtu (26/10/2019).
Dia menjelaskan, dari ujung ke ujung tanah yang berada di wilayah itu memang sengketa yang diperebutkan sejak lama. Menurutnya, peristiwa yang terjadi belakangan ini adalah biang dari keputusan 14 Mei 2019 di Kupang.
Baca Juga: Wili Nurdin: Mario Hotel Tidak Izin Operasi karena AMDAL, Terus Mangrove?
“Sehingga jangan seenaknya saja beliau mengatakan bahwa keputusan kemarin itu tidak ada masalah. Tentu ada asap karena ada api. Sebelum pergeseran kemarin kan tidak ada orang baku bunuh di sana, tetapi setelah keputusan kemarin pindah tapal batas maka itu terjadi,” terangnya.
“Saya tidak percaya dengan pernyataan itu, walau pun penyidikan lebih lanjut saya percaya aparat kepolisian,” tegasnya.
Yang perlu diingat kata Wili, para pemangku kebijakan mempunyai tugas untuk membela kepentingan banyak orang.
“Keputusan dari selatan sampai utara sudah final tahun 1973. Satu jengkal pun tidak boleh bergeser karena berdampak pada kepemilikan hak ulayat tanah wilayah masyarakat setempat,” tukasnya.
Baca Juga: Mulut Wili Nurdin Racun Bagi DPRD Matim
Dia juga berkomitmen akan tetap mendorong proses hukum. Ia juga meminta penegak hukum untuk memproses dengan menggali sampai ke akar-akarnya.
Wili juga kembali mengimbau agar Bupati Agas Andreas dan Wabup Jaghur Stefanus agar segera menghentikan pernyataan kepada publik melalui media massa, jika belum mengkaji secara mendalam persoalan di perbatasan.
“Supaya jangan menciptakan opini baru yang meruntuhkan nilai kebersamaan kita,” imbuhnya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba