Kupang, Vox NTT-Belakangan ini, topik seputar radikalisme ramai dibahas dalam diskursus publik.
Untuk memahami radikalisme itu sendiri, ada dua unsur penting yang harus ditelaah lebih dalam yakni realitas dan bayangan radikalisme.
Menurut Abdul Gaffar Karim, dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, bayangan radikalisme lebih berbahaya dari pada realitasnya. Pasalnya, bayangan radikalisme itu tidak nyata tapi secara terus menerus diciptakan untuk menakuti rakyat.
Pandangan itu dijelaskan Abdul dalam sebuah seminar nasional yang digelar FISIP Udana Kupang di Aula Sahid Timor Hotel, Kota Kupang, Kamis 21 November 2019.
“Adakala bayangan radikalisme itu selalu diciptakan oleh elit untuk menakut-nakuti masyarakat”, jelasnya.
Dampaknya, masyarakat hidup dalam perasaaan saling curiga, takut dan dapat memicu konflik horisontal.
“Perkara konseptualnya harus diselesaikan dulu. Topik radikalisme sudah dicampur-campurkan dengan hal lain,” jelasnya.
Sementara dalam realitasnya, Abdul melihat radikalisme sebagai cara ekstrim yang dilakukan untuk memprotes sebuah kebijakan atau demi menggapai sebuah ideologi tertentu oleh sekelompok orang.
Di Indonesia, menurutnya, radikalisme yang paling nyata berkaitan dengan agama.
“Masalahnya adalah cara pandang agama yang tekstual bukan kontekstual,” katanya.
Abdul menawarkan dua solusi. Pertama, melakukan deradikalisme dengan mencegah individu atau kelompok untuk memgambil pola-pola kekerasan dalam mewujudkan gagasan atau ideologinya .
Kedua, dehantuisasi yakni mencegah negara menghantui pikiran orang lewat isu radikalisme.
Dalam lingkup kampus, Abdul berharap agar para dosen memiliki tanggung jawab untuk membersihkan mahasiswa dari paham radikal.
Dosen katanya, harus mampu mencegah ruang-ruang kosong dalam kehidupan kampus, diisi dengan gagasan dan ideologi radikal.
Seminar yang dimoderatori oleh Ketua Prodi Sosiologi Undana , Yos Jelahut itu, juga menghadirkan Kombespol I Ketut Swijana, Kasubdit IV Dit Intelkam Polda NTT.
Menurut Swijana, NTT belum terkategori zona merah atau sangat rawan tentang radikalisme. Versi kepolisian, daerah di NTT hanya yang berstatus rawan.
Ia menyebut beberapa daerah di NTT yang masuk dalam kategori rawan radikalsime yakni Manggarai Barat, Ende, Lembata, Alor, Atambua, TTS, Kota Kupang dan Sumba Timur.
“Polisi akan melakukan kontraradikal terhadap masyarakat. Ada kegiatan represif dan juga deradikal”, jelasnya.
Hadir juga sebagai pemateri ketua MUI NTT, H. Abdul Kadir Makarim. Sebagai ketua MUI, Makarim lebih menyoroti soal keberagaman NTT sebagai sebuah entitas budaya.
Menurutnya, radikalisme adalah embrio bagi lahirnya terorisme. Karena itu, radikalisme harus dapat dicegah sedini mungkin agar tidak merusak toleransi dan keberagaman NTT yang sudah lama hidup rukun dalam perbedaan.
“Sebagai contoh bahasa lokal Lamaholot merupakan bahasa ibu buat suku Lamaholot. Komunitas ini bukan penganut satu agama melainkan berbagai agama. Kondisi demikian juga didapati pada suku-suku lainnya di NTT”, jelasnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Irvan K