Borong, Vox NTT- Suasana Lehong, pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Kamis, 28 November 2019 lalu, lain dari biasanya.
Pada Kamis siang pekan lalu itu, situasi di depan Kantor Bupati Matim dikrumuni peserta demonstran. Mereka ialah Front Rakyat Manggarai Timur Bergerak (FRMTB).
FRMTB sendiri merupakan gabungan dari anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Ruteng dan Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Manggarai.
Di bawah triknya matahari di Lehong saat itu tampaknya tidak menyurutkan semangat puluhan aktivis ini untuk menyerukan sejumlah persoalan di Kabupaten Matim.
Saat demonstrasi berlangsung, massa aksi sempat chaos dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP). Beruntung aksi itu cepat diredam, dan selanjutnya massa dipersilakan masuk ke ruangan rapat Bupati Matim.
Di ruangan ini, massa berdialog langsung dengan Kepala Dinas PUPR Yosep Marto, Kepala Kesbangpol dan Linmas Yohanes Aubur dan Sekretaris Dinas Perindag Koperasi Efraim D Gual.
Dialog itu dimoderasi oleh Asisten I Bupati Matim Benny Nahas.
Salah satu tuntutan FRMTB saat itu ialah meminta pertanggungjawaban Pemkab Matim di balik pembabatan mangrove di pantai Borong, Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong.
Di sana, mangrove digusur demi proyek pembukaan jalan baru senilai Rp 3.017.082.000,00. Proyek dikerjakan oleh CV Chavi Mitra dengan menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2019.
Saat dialog berlangsung, Ketua LMND Eksekutif Kota Ruteng Paulus A.R. Tengko membacakan pernyataan sikap dari FRMTB.
Salah satu tuntutan mereka ialah meminta Dinas PUPR (sebagai penerima) dan Dinas Lingkungan Hidup Daerah (sebagai pemberi) untuk menunjukkan surat izin UPL,UPK, dan AMDAL di balik proyek pembangunan jalan baru lingkar luar Kota Borong, hingga menyebabkan sejumlah pohon mati terkapar.
Merespon hal itu, Kadis PUPR Matim Yosep Marto mengatakan pada prinsipnya pemerintah sudah melakukan sesuai mekanisme di balik pembangunan jalan baru tersebut.
Menurut dia, AMDAL, UPL dan UPK sudah disiapkan. Namun tidak untuk ditunjukkan ke massa aksi kecuali di hadapan persidangan.
“Semua dokumen saya bawa, kami tidak takut dan gentar, kita akan sampaikan dan buka-bukaan di persidangan jika hal ini lanjut ke proses hukum,” tegasnya.
Sebenarnya bukan kali ini saja Kadis Marto menyatakan pendapatnya seputar proyek pembukaan jalan baru yang hingga kini masih menuai polemik itu.
Pada Senin, 28 Oktober lalu, ia berkomentar seputar proyek yang sudah meluluhlatakkan sejumlah pohon pelindung abrasi laut itu.
Menurut dia, proyek jalan lingkar luar Kota Borong sementara proses izin lingkungan hidup.
“Ini kan semua masih berproses adek (adik), masih berproses. Kita kan semua baru sidang, paket-paket yang namanya jalan masih proses semua di lingkungan hidup,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Matim, Yosep Marto saat dihubungi VoxNtt.com melalui teleponnya saat itu.
Menurut Marto semua pembangunan kalau berproses memang seperti itu.
“Tidak segampang yang kraeng (kamu) dorang pikirkan. Urus pembangunan republik ini. Misalnya Manggarai Timur ini dibentuk harus ada RT RW dulu kah? Baru bentuk Manggarai Timur. Kan begitu ase (adik) cara pandangnya,” ujarnya.
Tak hanya itu, pada 11 November 2019 lalu, Kadis Marto pernah mengeluarkan pernyataan yang membuat ahli waris geram.
Ia menyebut proyek pembangunan jalan lingkar luar Kota Borong demi menghindari pengklaiman tanah dari masyarakat di sekitar wilayah itu.
“Selama ini kan batasnya tidak jelas di mana tanah warga di mana hutan mangrove. Seiring dengan perkembangan dari waktu ke waktu ada kecenderungan pencaplokan area kawasan mangrove, di mana warga mulai mengklaim tanah mereka jauh ke dalam wilayah hutan mangrove, diharapkan dengan pembukaan jalan di kawasan tersebut akan memperjelas di mana batas hutan mangrove dan di mana batas tanah warga,” kata Marto seperti dilansir media floreseditorial edisi Senin (11/11/2019).
Menanggapi hal itu, Siti Hawa (62) selaku pemilik lahan geram. Bahkan, ia meminta Kadis Marto untuk mengecek siapa sesungguhnya pemilik lahan dan yang mengklaim tanah itu.
“Siapa yang mengklaim? Mengapa dia menuduh saya. Di daerah itu ada tanah milik saya dan sudah memiliki sertifikat dengan nomor sertifikat Nomor: 256 dan Nomor: 288. Dan ini sudah diakui oleh BPN,” ujarnya kepada VoxNtt.com di Borong.
Diduga Langgar UU
Media VoxNtt.com sebelumnya sudah memuat pandangan hukum terkait pembabatan mangrove di Matim.
Deputi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT Yuvensius Stefanus Nonga pernah ikut berkomentar di balik proyek pembukaan jalan luar Kota Borong, yang mana telah mengorbankan sejumlah pohon mangrove.
Di mata Yuvensius, kebijakan pembangunan Pemkab Matim itu telah masuk dalam ranah pidana lingkungan.
Menurut dia, apapun alasan yang dipakai Pemkab Matim, bahwa sudah ada upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) dan lain sebagainya, tidak bisa dibenarkan di balik proyek pembukaan jalan baru tersebut.
Yuvensius membeberkan, mangrove di pesisir pantai sebenarnya sudah diatur dalam ruang lingkup Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Dari tiga Kementerian ini kata dia, tentunya memilki perspektif masing-masing. Ada yang melihat mangrove sebagai sumber daya perikanan atau berkembangnya perikanan.
Yang paling kuat kata dia, adalah ketika Undang-undang perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menetapkan wilayah pesisir sebagai wilayah sepadan.
Menurut Yuvensius, dalam konteks wilayah sepadan, yakni wilayah yang berada 100 meter pada air pasang naik tertinggi, itu hanya diperuntukan untuk dua hal. Pertama, konservasi penanaman kembali mangrove dan kedua akses publik.
Hal itu juga, tegas dia, diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dan, jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalas bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan, serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
Pada Pasal 1 ayat (4) UU itu, menyatakan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya non hayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan.
Sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain.
Sumber daya non hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut.
Dia menerangkan, akses publik itu tidak bisa dibaca ketika membangun jalan. Artinya kata dia, di dalam wilayah sepadan atau mangrove itu tidak diperkenankan untuk membangun seluruh proyek infrastruktur.
Jika Pemkab Matim mengatakan bahwa itu kepentingan akses masyarakat umum, maka perlu dikaji lagi. Apakah memang hanya satu spot saja yang ada di situ dengan menumbang mangrove atau bisa mengambil jalan di area yang lain.
Menurutnya, fungsi UKL dan UPL itu adalah untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Tetapi kemudian dalam pelaksanaan justru membenarkan adanya penebangan mangrove. UKL dan UPL itu dijadikan oleh DLHD sebagai salah satu perisai pembelaan terhadap penebangan mangrove.
Sebab itu, Yuvensius mempertanyakan UKL dan UPL itu. Bagi dia, mindset pemerintah dalam nuansa ekologis juga perlu dibenahi lagi.
Dia mengatakan, kalau misalnya kepala dinas mengatakan skop-nya kecil, maka harus dipastikan bahwa syarat analisis dampak lingkungan (Amdal) itu ada.
Apabila Pemkab Matim hanya mau melakukan UKL dan UPL, maka harus ada surat rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa studi dari DLHD Kabupaten dampaknya kecil.
Persoalannya kata dia, apabila UKL dan UPL yang dipakai hanya untuk upaya penebangan mangrove, maka itu hal teknis. Tetapi ada hal-hal substansi yang tidak bisa dibantah oleh hal-hal teknis.
Lapor Polisi
Sebelumnya, Pemkab Matim telah dilaporkan ke Polsek Borong oleh ahli waris karena diduga telah melakukan tindak pidana pengrusakan mangrove dan kelapa di atas tanah milik Muhamad Haji Umar Ba (alm) yang berlokasi di Kelurahan Kota Ndora.
Laporan itu dilakukan oleh anak kandung Haji Umar Ba (alm), Darmayanti, dengan LP/28/X/2019/ RES M.RAI/SEK Borong.
Polsek Borong pun kemudian mulai menunjukkan taringnya dalam mengusut kasus tersebut. Buktinya satu per satu para pihak terkait mulai dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi.
Pada Senin, 02 Desember kemarin, Camat Borong Herman Jebarus diperiksa sebagai saksi oleh Unit Reskrim Kepolisian Sektor (Polsek) Borong.
“Tadi 12 pertanyaan. Saya jalan dulu ya, ada rapat di kantor camat,” ujar Camat Herman sembari meninggalkan Kantor Polsek Borong, Senin (2/12/2019).
Sementara itu, Kapolsek AKP Ongkowijono Tri Atmodjo mengatakan, pihaknya akan melakukan mengecek berita acara pemeriksaan (BAP) terkait pemeriksaan tersebut.
“Nanti kita cek dulu BAP-nya. Lihat kronologisnya, kalau ada sebut nama-nama yang lain, pasti akan dipanggil untuk diminta keterangan,” katanya yang ditemui awak media di Kantor Polsek Borong
Polisi juga memeriksa Pelaksana Tugas (Plt) Lurah Kota Ndora Kecamatan Borong, Yoseph Sunardi P. Dani, sebagai saksi terkait kasus pengerusakan tersebut, Jumat (29/11/2019), di Polsek Borong.
Kepada awak media, Sabtu (30/10/2019), Kapolsek Ongko mengatakan, untuk sementara pihaknya masih memeriksa saksi untuk dimintai keterangan terkait laporan tersebut.
“Kenapa dijadikan saksi kita mau mencari alur kronologis karena ini pasalnya 170 secara bersama-sama, artinya harus lebih dari satu orang, siapa yang turut melakukan, siapa yang menyuruh melakukan dan siapa yang melakukan, itu namanya bersama-sama,” paparnya.
Hasil pemeriksaan saksi-saksi yang lain, jelas Kapolsek Ongko, nanti bisa juga mengarah atau menyebutkan ada pejabat pengembangan proyek.
Penulis: Ardy Abba