Ruteng, Vox NTT-Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng mengecam keras Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) karena telah menggusur sejumlah pohon mangrove di Pantai Borong.
Sebelumnya, alat berat meluluhlatakkan sejumlah pohon mangrove demi proyek pembukaan jalan lintas luar Kota Borong, yang berlokasi di Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong.
Proyek yang dikerjakan CV Chavi Mitra tersebut telah menggelontorkan anggaran
senilai Rp 3.017.082.000,00, yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2019.
“PMKRI menyayangkan kehendak baik dari Pemda Matim untuk membuka jalan tidak berdasarkan perencanaan yang matang,” ujar Ketua Presidium PMKRI Ruteng, Ignasius Padur kepada VoxNtt.com di Ruteng, Jumat (06/12/2019).
Ia menilai Pemkab Matim tidak mempunyai kajian yang komperhensif di balik proyek pembukaan jalan baru tersebut.
Buktinya, selain merusak pohon mangrove, Pemkab Matim melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) juga diduga telah menyerobot lahan warga yang sudah bersertifikat hak milik.
“PMKRI ingin mengingatkan bahwa penggusuran mangrove di Pantai Borong bukan saja persoalan menabrak hukum, melainkan tentang hajat hidup orang banyak,” ujar Padur.
Menurut dia, tindakan menggusur mangrove atas nama pembangunan sama saja dengan membuka kran bencana bagi masyarakat di wilayah itu.
Padahal, kata dia, ada banyak manfaat dari pohon mangrove. Manfaat itu bukan hanya tentang merawat ekosistem di bawah laut, tetapi mencegah agar tidak terjadi abrasi pantai.
“Kalau Pemda Matim tidak sempat memikirkan ini, maka bisa dibilang bahwa mereka sedang membuka kran bencana bagi masyarakat Matim,” tandasnya.
Sebab itu, Padur menegaskan segala jenis pembangunan seharusnya tidak mengabaikan aspek ekologis.
Sebelumnya dikabarkan, Kepala Dinas PUPR Matim Yosep Marto mengatakan, pada prinsipnya pemerintah sudah melakukan sesuai mekanisme di balik pembangunan jalan baru tersebut.
Menurut dia, AMDAL, UPL dan UPK sudah disiapkan. Namun tidak untuk ditunjukkan ke massa aksi kecuali di hadapan persidangan.
“Semua dokumen saya bawa, kami tidak takut dan gentar, kita akan sampaikan dan buka-bukaan di persidangan jika hal ini lanjut ke proses hukum,” tegasnya saat berdialog dengan para demonstran dari Front Rakyat Manggarai Timur Bergerak (FRMTB) di ruangan rapat Bupati Matim, Kamis, 28 November 2019 lalu.
FRMTB sendiri merupakan gabungan dari anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Ruteng dan Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Manggarai.
Sebenarnya bukan kali ini saja Kadis Marto menyatakan pendapatnya seputar proyek pembukaan jalan baru yang hingga kini masih menuai polemik itu.
Pada Senin, 28 Oktober lalu, ia berkomentar seputar proyek yang sudah meluluhlatakkan sejumlah pohon pelindung abrasi laut itu.
Menurut dia, proyek jalan lingkar luar Kota Borong sementara proses izin lingkungan hidup.
“Ini kan semua masih berproses adek (adik), masih berproses. Kita kan semua baru sidang, paket-paket yang namanya jalan masih proses semua di lingkungan hidup,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Matim, Yosep Marto saat dihubungi VoxNtt.com melalui teleponnya saat itu.
Menurut Marto semua pembangunan kalau berproses memang seperti itu.
“Tidak segampang yang kraeng (kamu) dorang pikirkan. Urus pembangunan republik ini. Misalnya Manggarai Timur ini dibentuk harus ada RT RW dulu kah? Baru bentuk Manggarai Timur. Kan begitu ase (adik) cara pandangnya,” ujarnya.
Tak hanya itu, pada 11 November 2019 lalu, Kadis Marto pernah mengeluarkan pernyataan yang membuat ahli waris geram.
Ia menyebut proyek pembangunan jalan lingkar luar Kota Borong demi menghindari pengklaiman tanah dari masyarakat di sekitar wilayah itu.
“Selama ini kan batasnya tidak jelas di mana tanah warga di mana hutan mangrove. Seiring dengan perkembangan dari waktu ke waktu ada kecenderungan pencaplokan area kawasan mangrove, di mana warga mulai mengklaim tanah mereka jauh ke dalam wilayah hutan mangrove, diharapkan dengan pembukaan jalan di kawasan tersebut akan memperjelas di mana batas hutan mangrove dan di mana batas tanah warga,” kata Marto seperti dilansir media floreseditorial edisi Senin (11/11/2019).
Menanggapi hal itu, Siti Hawa (62) selaku pemilik lahan geram. Bahkan, ia meminta Kadis Marto untuk mengecek siapa sesungguhnya pemilik lahan dan yang mengklaim tanah itu.
“Siapa yang mengklaim? Mengapa dia menuduh saya. Di daerah itu ada tanah milik saya dan sudah memiliki sertifikat dengan nomor sertifikat Nomor: 256 dan Nomor: 288. Dan ini sudah diakui oleh BPN,” ujarnya kepada VoxNtt.com di Borong.
Penulis: Ardy Abba