Oleh : Siprianus B.Tatu*
Pemerhati Masalah Ekonomi, Alumnus FE UGM Yogyakarta,tinggal di Manggarai Raya
Adakah bencana alam sebagaimana banjir Jakarta merupakan salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi daerah bencana ? Bila diamati secara langsung, bencana alam memang merupakan penghambat pertumbuhan ekonomi daerah bencana.
Ambruknya bermacam infrastruktur ekonomi dan pluralitas korban sumber daya manusia mendistorsi aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa di daerah bencana itu. Pasar jadi tidak stabil karena permintaan dan penawaran barang dan jasa tidak pada mekanismenya.
Sebaliknya, bisakah bencana alam menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi daerah bencana ? Rasa – rasanya mustahil. Baik kerusakan infrastruktur ekonomi maupun korban sumber daya manusia sekali lagi memberikan jawabannya. Adanya kenaikan PDRB daerah bencana dalam jangka pendek (shortrun) ibarat jauh panggang dari api. Sedangkan, bagaimana dalam jangka panjang (longrun)?
Kerugian dan Biaya
Sejak 2017 hingga ‘Kado Tahun Baru Jakarta’, Indonesia sudah didera lebih dari 5.000 bencana alam. Mereka menghadiahi negeri ini kerugian langsung (direct loss) dan tidak langsung (indirect loss) yang masif.
Maknanya ialah pengorbanan ekonomi yang diperlukan untuk membangun infrastruktur ekonomi yang rusak selalu fantastis jumlahnya. Kerugian langsung dan tidak langsung yang masif ini jika dikaitkan dengan aktivitas ekonomi mencakup tiga hal.
Pertama – tama ialah kerugian produksi; artinya, produksi barang dan jasa terganggu. Mengapa? Sumber daya – sumber daya tidak dapat dikombinasikan lagi menyusul infrastruktur ekonomi (produksi) yang sudah tidak mendukungnya (inavailable).
Sumber daya manusia berupa tenaga kerja tidak bisa menggerakkan modal akibat ‘ trauma tenaga kerja’. Kerugian produksi ini tentunya berbeda – beda untuk setiap produsen barang dan jasa.
Ada produsen yang mengalami kerugian langsung karena pabrik tak layak beroperasi seperti yang terjadi di Jakarta akibat terendam banjir; ada juga yang mengalami kerugian tidak langsung berupa kegagalan penjualan.
Kerugian produksi ini kemudian berpusat pada produksi stagnan. Nilai tambah ( value added) dari setiap barang dan jasa nol sehingga PDRB daerah bencana pun tidak berubah ketika bencana alam melandanya.
Manakala produksi stagnan seperti itu, maka distribusi barang dan jasa pun tidak berjalan. Dalam mekanisme pasar yang normal, barang dan jasa yang didistiribusikan dari produsen ke konsumen adalah alur pemasaran. Alur pemasaran ini memberikan kontribusi pada PDRB. Bencana alam memutus alur pemasaran di daerah bencana.
Bila ada barang dan jasa yang terdistribusi, maka itu berkarakteristik bantuan atau hibah. Sifatnya juga ‘impor’ dari daerah lain. Ini disebut sebagai kerugian distribusi.
Ketiga, kerugian konsumsi. Produksi yang stagnan ditambah distribusi barang dan jasa yang tidak berjalan menghasilkan kerugian konsumsi. Konsumsi barang dan jasa yang bersumber dari produksi tidak terjadi. Konsumsi yang ada di daerah bencana adalah konsumsi ‘gratis’ yang tidak menambah peningkatan PDRB daerah bencana. Dengan kata lain, tidak ada pengeluaran konsumen yang mensumasi total PDRB daerah bencana.
Di samping kerugian – kerugian ini, biaya untuk membangun infrastruktur ekonomi dan memulihkan sumber daya manusia supaya menggerakkan kembali aktivitas ekonomi di daerah bencana juga masif. Berapakah biaya yang akan digelontorkan untuk perumahan, fasilitas pendidikan, jalan, atau irigasi yang dirusak banjir Jakarta ? Apakah mereka direhab atau dibangun baru saja ? Berapakah juga biaya korban sumber daya manusia yang tengah menggeluti fasilitas – fasilitas ekonomi produktif ? Biayanya selalu ditaksir masif.
Masifnya biaya ini juga disebabkan oleh informasi ekonomi yang didapat pascabencana alam selalu tidak akurat akibat penilaian ekonomi yang subyektif dari produsen dan konsumen.
Pendanaan Bencana Alam
Schumpeter dengan Teori Creative Destruction menyimpulkan bahwa bencana alam yang menimbulkan sejumlah kerusakan fisik (infrastruktur ekonomi) dan korban jiwa (sumber daya manusia) justru dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah bencana dalam jangka waktu tertentu.
Bencana alam yang pada mulanya hanya dikonotasikan sebagai siklus ekonomi berupa ‘lembah resesi’ secara cepat akan menjadi puncak siklus ekonomi. Mengapa? Bencana alam selalu menggerakkan sumber daya manusia dan sumber daya modal secara cepat dan tanggap untuk mengatasi kehancuran. Menurut Schumpeter, bencana alam adalah katalis pertumbuhan ekonomi daerah bencana.
Di Indonesia, teori yang juga disebut dengan ‘badai schumpeter’ ini teruji ketika Sumatera Barat dilanda gempa bumi pada 2009. Sumatera Barat yang awal – awalnya ‘bangkrut’ justru kemudian bangkit dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibanding sebelum bencana. Ketika itu, tanah Minang ‘disuntik’ sekitar Rp 13 trilyun yang bersumber dari APBD, APBN, maupun bantuan asing.
Kalau begitu, pendanaan bencana alam yang menalangi biaya kerusakan infrastruktur ekonomi dan rehabilitasi trauma sumber daya manusia yang masif adalah suatu kondisi ekonomi yang sangat diperlukan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Pendanaan bencana alam di Indonesia sampai dengan dekade yang baru ini masih diilhami oleh UU Nomor 24 Tahun 2007. Undang – undang ini menandaskan tentang pendanaan bencana alam yang salah satunya bersumber dari pemerintah. Keistimewaan keuangan publik pendanaan bencana alam menurut undang – undang ini pada perangkat organisasinya saja untuk daerah namun tidak seurgen urusan pendidikan, kesehatan,maupun infrastrukur.
Pendanaan bencana alam dalam APBN maupun APBD didefenisikan dengan ‘memadai’. Tafsiran keuangan publik ‘memadai’ pun menjadi bias untuk diprosentasikan dalam APBN maupun APBD . Berapa besar alokasi APBN atau APBD untuk pendanaan bencana alam untuk setiap tahun anggaran ? Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menganggarkannya seturut asumsi pertumbuhan ekonomi daerahnya masing – masing.
Menjadi pertanyaan, efektif dan efisienkah pendanaan bencana alam ini? Semisal DKI Jakarta sebagai salah satu daerah dengan APBD tergemuk di Indonesia ternyata masih menjadi langganan banjir. Itu berarti APBD di Jakarta belum efektif mendukung pendanaan bencana alam.
Dalam kerangka urgensitas pertumbuhan ekonomi daerah, pendanaan bencana alam yang ‘memadai’ berarti setiap APBN dan APBD yang menopang kerugian dan biaya akibat bencana alam harus mampu memulihkan kerugian produksi, kerugian distribusi, dan kerugian konsumsi daerah bencana.
Prosentasenya terhadap APBN atau APBD harus berpijak pada pengalaman pendanaan bencana alam yang berpotensi mengancam suatu daerah. Yang penting juga bagi setiap daerah adalah menjadikan pendanaan bencana alam sebagai sebuah rencana strategis Perencanaan pembangunannya.
Jika APBN maupun APBD belum mampu melaksanakan pendanaan bencana alam yang ‘memadai’ maka seyogyanya setiap daerah harus menerapkan anggaran terpadu (unified budgeting) yang tujuannya secara tidak langsung pada pendanaan bencana alam.
Di sini, fokus keuangan publiknya pada Tahap Prabencana. Pembangunan infrastruktur ekonomi yang tahan terhadap bencana alam seperti perumahan, fasilitas pendidikan, jalan, atau irigasi dengan konstruksi yang kuat adalah aplikasi pendanaan bencana alam yang baik. Ada keterpaduan antara urusan wajib pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan urusan lainnya yang berkaitan dengan pendanaan bencana alam pada Tahap Prabencana. Apa tujuannya? Ketika bencana alam melanda, infrastruktur ekonomi tetap kokoh agar kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi tidak berhenti. Pertumbuhan ekonomi sebuah daerah tetap terjaga atau malah meningkat karena infrastruktur ekonomi yang kokoh. Bencana alam tetap menjadi ‘berkah’.
Selain dari APBN atau APBD, UU Nomor 24 Tahun 2007 juga mendukung pendanaan bencana alam dari non pemerintah. Pendanaan non pemerintah bisa berupa partisipasi lembaga sosial kemasyarakatan, bantuan asing, dan juga asuransi. Dalam banyak bencana alam, bantuan non pemerintah memberikan porsi yang cukup efektif dalam meredam kerugian produksi, kerugian distribusi, dan kerugian konsumsi. Bantuan asing sebagaimana pada bencana gempa di Sumatera Barat tadi turut mendukung pertumbuhan ekonomi. Sementara di berbagai kota besar, banyak perusahaan yang telah mengasuransikan infrastruktur ekonominya dari berbagai jenis bencana.