Kupang, Vox NTT- Pius Rengka, begitu kebanyakan orang menyebutnya. Nama ini bukan baru lagi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terlebih di dunia tulis-menulis.
Beberapa jurnalis menempatkan nama Pius Rengka sebagai penulis kawakan di provinsi termiskin ketiga di Indonesia itu.
Bagaimana tidak, tulisannya yang khas, renyah dan gurih kerap mengisi ruang majalah, koran, dan media dalam jaringan (daring) di NTT.
Belakangan ini, pria asal Manggarai itu kerap menulis opini dalam berbagai aspek. Sudut pandang bernada kritikannya sangat tajam, dibalut dengan beragam jenis diksi yang mudah dipahami pembaca.
Ketika membaca opininya, Pius kerap menggunakan diksi puitis dan rima. Kekhasan inilah yang membuat namanya melambung jauh di NTT.
Kerena nama Pius Rengka masuk dalam daftar penulis veteran, para wartawan di DPRD NTT pun mengundangnya dalam diskusi akhir pekan tentang jurnalistik, Sabtu (25/01/2020).
Terpantau, ia datang tidak dengan tampilan ekselen dan glamour selayaknya penulis kawakan lainnya di tanah air.
Sekitar pukul 12.00 Wita, mobil taft putih bernomor polisi DH 462 AW meluncur dari arah jalan Polisi Militer, kemudian masuk dalam kompleks Kantor DPRD Provinsi NTT.
Selang semenit dari tempat parkir di pelataran kantor megah itu, Pius Rengka muncul. Ia lalu berjalan menuju ruang pers sambil menggenggam dua buah handphone di tangan kirinya.
Irama jalannya mirip adegan derap langkah dalam alunan tarian Ja’i asal Ngada. Barangkali model jalan demikian dipicu oleh karena usinya yang sudah lebih dari setengah abad.
Pria berambut putih itu hanya mengenakan celana pendek kusam dan baju kaos putih berkerak.
Sementara di dalam ruang pers DPRD NTT tampak berkumpul para juru warta yang sedang menunggu kedatangan pemimpin umum media VoxNtt.com itu.
Ia disambut riang sejumlah awak media dalam ruang pers yang tampak kumuh dan sesungguhnya tidak elok dipandang.
Ruangan itu berdiameter 4×10 meter. Memiliki dua kipas angin tua. Bahkan sudah rusak dan tidak berputar normal lagi. Akibatnya, seisi ruangan tampak kasak kusuk lantaran gerah. Apalagi cuaca kota karang sangat panas.
”Saya sebenarnya bukan rujukan, jika hendak menjadi penulis. Saya masuk ke dalam dunia ini, juga dengan kualitas yang buruk. Saya hanya bisa sharing pengalaman,” ujar Pius merendah.
Namun alasan Pius Rengka yang tidak cocok menjadi rujukan jika hendak menjadi penulis bukan halangan bagi para awak media.
Ia tetap diundang untuk hadir dan sharing pengalaman. Minimal, kisahnya dalam dunia jurnalistik sampai menjadi penulis kawakan, ditumpahkan bagi kurang lebih 30 wartawan. Mereka sudah sejak Sabtu pagi haus akan pencerahan tentang menulis berita yang baik.
“Saya pindah ke Kupang, sebetulnya saya di Jakarta. Lorens Tato, Nadi Noya, mereka di belakang saya. Saya penulis opini, sejak semester II,” ujar Pius dalam sharing-nya.
Pius mengaku pindah ke Kupang dari Jakarta karena faktor ekonomi. Sempat ada godaan untuk menjadi maling, namun ia tetap memilih untuk menjadi penulis.
Judul tulisan perdananya ialah ‘Peranan Generasi Muda dalam Politik’.
“Honornya Rp 3.500, harga bakso waktu itu 300 rupiah. Oleh honor itu, Saya balas dendam pada kemiskinan dengan makan gudek tidak porsi,” kisah pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi NTT itu.
Beberapa menit berselang, ia terlihat memangku kaki, lalu membakar rokok Sampoerna yang tergeletak di atas kursi plastik di depannya, bersama korek dan minuman kemasan plastik.
Tidak ada meja, juga kain. Acara itu sederhana hanya diskusi akhir pekan.
“Saya kemudian jadi wartawan dan pindah ke Kupang tahun 1986. Waktu itu masih jarang penulis dari NTT. Tulisan perdana saya ‘Kota Batu Bertanah-tanah’ dan ‘Kota Musik Sepanjang Jalan’,” lanjut Pius Rengka berkisah.
Pius kemudian menjadi dosen di Unwira Kupang. Gaji dosen waktu itu Rp 30 ribu. Honor tersebut tentu saja sangat kecil. Akibatnya, sebelum akhir bulan uang honor sudah habis terpakai.
Kondisi ekonomi Pius kala itu kian terpuruk. Itu sebabnya, ia tetap konsisten menulis.
Selanjutnya, kata dia, tahun 1992 lahir Surat Kabar Pos Kupang. Pius Rengka termasuk inisiatornya.
Sambil menyembul asap rokok ke udara, mantan pimpinan redaksi Harian Umum Pagi Pos Kupang itu berujar, sebetulnya menulis, menunjukkan identitas diri.
Kata dia, banyak orang akan mengamati tulisan kita dari kejauhan saat mereka membaca. Mereka akan terpengaruh.
Ia lantas melanjutkan kisah hidupnya di dunia menulis. Pius sempat diundang ke Australia karena tulisan.
“Saya tinggal delapan hari di Australia. Mereka melacak tulisan saya. Waktu itu, kata mereka, saya termasuk sangat produktif,” ungkap Pius.
Saat berkisah tentang pengalamannya, ia terlihat santai. Tutur katanya terukur. Ia pandai menyelipkan lelucon, barangkali agar puluhan wartawan tidak kaku dan terlihat lentur.
“Setelah endapan pengalaman, saya jadi redaktur di Pos Kupang. Selama empat bulan saya menulis tajuk di Pos Kupang. Saya sempat merasa isi kepala saya sudah selesai,” imbuhnya.
Saat ini, Pius lebih serius berpikir bagaimana mengganggu orang melalui tulisan.
“Saya keluar dari Pos Kupang lalu jadi DPR, Dami Ghodo tidak suka akan itu,” ujarnya lagi.
Setiap kali menulis, Pius kerap merujuk seorang wartawan kawakan, Herbert Lawrence Block.
Pria yang akrab disapa Herblock itu adalah seorang kartunis editorial Amerika dan penulis yang terkenal karena komentarnya tentang kebijakan dalam negeri dan luar negeri nasional.
Herblock, kata dia, mengungkapkan tesis dasar menulis yang sarat makna. “Kalau anda menulis buatlah saya melihat peristiwa itu” demikian tesis Herblock, sebagaimana diucapkan Pius.
Ia kemudian membagi beberapa poin rujukan bagi jurnalis di NTT, agar kualitas pemberitaan menjadi tidak diragukan.
Pertama, deskriptif, kedua, komplit dan ketiga, harus akurat.
“Anda wartawan baru atau lama, cobalah bawa jurus ‘make me see‘ ke dalam tulisan Anda,” tukas Pius.
Ia juga menekankan hal yang paling penting menjadi wartawan adalah harus bersikap jujur. Di dalam dunia jurnalistik, kata dia, sebenarnya tidak ada istilah wartawan pintar dan bodoh. Hanya ada wartawan yang malas.
Sebagai wartawan, menurut Pius harus memastikan dirinya bodoh.
Sebab kalau merasa diri masih bodoh, maka pasti tiada hari yang tanpa belajar.
“Harus belajar dari orang lain. Anda perlu mendengar. Banyak juga profesor yang menulis tidak benar,” tandasnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba