Mbay, Vox NTT-Proyek pemerintah selama hampir lima tahun terakhir mulai mengular di antara pepohonan bakau sepanjang pesisir pantai utara Kabupaten Nagekeo.
Dengan dalil pembangunan, sebagian besar kawasan hutan mangrove kini mulai mengalami kerusakan.
Pihak terkait malah menolak untuk bertanggung jawab dengan alasan proyek yang mengakibatakan hutan mangrove rusak merupakan usulan pemerintah di tingkat desa.
Melihat situasi ini, Wakil Ketua I DPRD Nagekeo, Yosafus Dhenga, meminta pemerintah agar benar-benar mempertimbangkan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam proses pembangunan.
VoxNtt.com memantau, dalam satu dekade terakhir, kondisi kawasan hutan bakau (mangrove) di pesisir utara Kabupaten Nagekeo kian memprihatinkan.
Hanya perkumpulan Pemuda Bhahari Desa Marapokot dan Laskar Batik Mbay Desa Aeramo yang pernah memulai gerakan melakukan penanaman kembali pohon bakau.
Meski begitu, belum ada intervensi lebih jauh terkait kelanjutannya oleh Pemkab Nagekeo.
Pemkab Nagekeo melalui dinas-dinas terkait malah kembali memprogramkan pekerjaan fisik di daerah kawasan hutan mangrove. Jumlah luas lahan yang rusak pun kian membesar.
Area hutan bakau yang rusak tersebar di enam wilayah desa dan kelurahan, di sepanjang pesisir pantai utara, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo.
Itu meliputi wilayah Desa Aeramo, Nangadhero, Marapokot, Tonggurambang dan sebagiannya berada di wilayah Kelurahan Mbay I dan II.
Terpantau pula perambahan hutan bakau di wilayah ini disebabkan oleh aktivitas pekerjaan perusahaan lokal yang menggarap proyek pemerintah.
Proyek tersebut berupa penggalian kolam ikan bandeng, pembangunan jalan inspeksi perikanan dan saluran pengarah air.
Sepanjang tahun 2019, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nagekeo tercatat sebagai instansi yang memberikan sumbangan terbangak untuk perusakan hutan bakau.
Proyek penggalian dan pengerukan kolam ikan bandeng di Desa Tonggurambang dan di Aeramo cukup punya andil menjadi penyumbang luas wilayah kerusakan. Selanjutnya disusul proyek peningkatan jalan inspeksi perikanan.
Padahal, setahun sebelumnya atau tahun 2018, hutan mangrove di Desa Aeramo juga dirusak saat Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nagekeo mengerjakan proyek penggalian kolam ikan.
Belum ada informasi resmi tentang luas keseluruhan hutan bakau yang telah dirusak dalam satu dekade terakhir.
VoxNtt.com juga belum berhasil mengkonfirmasi Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Nagekeo, Marsel Muda.
Saat didatangi VoxNtt.com, Selasa (18/02/2020), seorang pegawai DLH, menyampaikan bahwa pimpinan mereka itu sedang mengikuti acara penguburan kerabatnya yang meninggal.
Sedangkan Kasubid Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Maria Magdalena Go’o, hingga kini tak kunjung merespon dengan alasan sedang sibuk.
Selain ingin mengetahui jumlah luas lahan kerusakan hutan bakau yang telah terjadi, VoxNtt.com juga ingin mengkonfirmasi temuan terbaru di awal tahun 2020.
Pasalnya, berdasarkan informasi dari Kepala Desa Marapokot, Petrus Canisius Reta, dua proyek yang kini ikut merusak hutan bakau di wilayahnya adalah proyek padat karya pembangunan jalan milik Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Nagekeo. Kemudian, ada proyek normalisasi saluran pembuangan air milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Nagekeo.
Meski kedua proyek tersebut disinyalir mengabaikan kajian AMDAL, namun masing-masing Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) rupanya telah menyiapkan alasan untuk pembenaran.
William Laurensius Rada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di BPBD Nagekeo yang menangani proyek normalisasi saluran pengarah air mengatakan, pihaknya tidak bertanggungjawab atas kerusakan itu.
Pasalnya, proyek pengerukan saluran pembuangan air itu dilakukan pihak BPBD Nagekeo berdasarkan usulan Kepala Desa Marapokot.
Menurut William, berdasarkan kajian BPBD Nagekeo, pengerukan saluran pembuangan air di kawasan itu sebenarnya berdampak positif terhadap keberlangsungan lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah Marapokot.
Menurutnya, MTS Marapokot memang kerap menjadi langganan banjir bila musim penghujan tiba.
“Kita pikir tujuannya yang paling benar adalah kan di situ ada MTS menjadi aman, karena air yang tergenang ini kan mengganggu lingkungan sekolah,” kata William.
Alasan lain, sebelum pengerukan saluran pembuangan dikerjakan, MTS Marapokot tak memiliki fasilitas lapangan karena terus digenangi air yang bersumber dari luapan area persawahan Mbay.
Sementara, PPK Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Nagekeo, Yohanes Agato Fanggi Dhae, berdalil pihaknya terpaksa memotong pohon mangrove karena dianggap menghalangi lalu lintas kendaraan pengangkut material.
“Kalau berdasarkan aturannya, merusak bakau itu tidak boleh. Tapi kalau demi kepentingan umum dan demi kemaslahatan bersama, sepanjang itu tidak merusaknya secara berlebihan tidak bermasalah,” katanya.
Penulis: Patrick Romeo Djawa
Editor: Ardy Abba