Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Wacana pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Manggarai Timur oleh PT Istindo terus bergulir. Konon, di tahun 2019 lalu, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat menyampaikan ide, yang oleh sebagian orang dianggap cemerlang. Cemerlang karena ide itu langsung menjawab kebutuhan masyarakat di tengah minimnya perluasan lapangan kerja di NTT dan di Manggarai Timur.
Bak gayung disambut, Bupati Manggarai Timur menangkap ide itu. Dalam kunjungan kerja Bupati Manggarai Timur, Selasa (21/01/2020) siang, di Kampung Luwuk, Bupati Agas menyampaikan niat itu kepada masyarakat. Menurut Agas, ide ini perlu diterima masyarakat. Sebab, pembangunan pabrik semen dapat menurunkan angka pengangguran di Matim. Logikanya, jika pengangguran berkurang maka angka kemiskinan turut pula turun.
Data BPS (2019) menunjukkan pada tahun 2018, terdapat sekitar 68 persen penduduk Kabupaten Manggarai Timur tergolong sebagai angkatan kerja dan proporsi penduduk yang bekerja mencapai 67 persen dari total penduduk usia kerja. Sementara itu, angka pengangguran sebesar 1,07 persen dari total penduduk usia kerja. Dari data yang sama, pendudukan miskin di Manggarai Timur sebanyak 74,800 orang atau 26,80%.
Data di atas jelas menggambarkan bahwa tingkat pengangguran di Manggarai Timur sangat rendah, sebaliknya, tingkat kemiskinan di sana masih tergolong tinggi. Sepintas, catatan angka pengangguran yang sedemikian kecil itu masih menjadi perhatian serius pemerintah daerah Manggarai Timur. Karena alasan itu, pabrik semen sebaiknya diterima dan dibangun di Desa Satar Punda. Mulia nian pemerintah daerah yang ini.
Masalahnya kemudian ialah sudahkah sang bupati berpikir tentang dampak dan risiko keberadaan pabrik tersebut? Apakah bupati dan pengambil kebijakan di Manggarai Timur dan NTT sudah berpikir tentang perubahan sosial karena masuknya nilai baru di sana? Pertanyaan seperti itu laik diajukan dan perlu. Diajukan karena di mana pun, setiap program pembangunan yang hanya mengandalkan logika sederhana justeru berdampak masif di kemudian hari. Diskusi terkait pembangunan pabrik semen perlu dilakukan karena kelupaan Pemda Matim belajar pada daerah lain terkait dampak sosial di dalamnya.
Tulisan ini ingin mengajukan sebuah tesis. Bahwa pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda adalah bagian dari proyek pemiskinan sistematis dan terencana yang dilakukan negara kepada masyarakat. Logika kepedulian Pemda Matim akan pengangguran dan kemiskinan seakan menafikan usaha lain terkait proses minimalisasi pengangguran. Pemda berpikir, pabrik semen dapat mengatasi semua masalah. Dengan kata lain, dalam nalar logika Pemda Matim, ketika pabrik semen datang, masalah pengangguran dan kemiskinan turut pula selesai. Menurut saya, ini bentuk logika yang amat infantil dan sikap ‘cari gampang’.
Rezim Pemiskinan
Dosa terbesar rezim pembangunan saat ini ialah kesalahan memahami esensi kemiskinan. Oleh rezim yang berkuasa, kemiskinan sering dianggap hanya sebagai fenomena faktual. Kemiskinan nyaris sama dengan fenomena sosial lainnya. Karena itu maka penyelesaian kemiskinan dilakukan dengan menghilangkan gejala yang tampak.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, kemiskinan sejatinya merupakan konsekuensi atau akibat dari sebuah kebijakan dominatif tertentu dengan berbagai macam variannya. Kemiskinan dalam kategori ini selalu dihubungkan dengan akar kemiskinan.
Membaca realitas kemiskinan, Shohibuddin (2010) dalam sebuah pengantar buku Memahami Dimensi-Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat menyebutkan lima dimensi kemiskinan di Indonesia. Pertama, dimensi kemiskinan yang terkait dengan persoalan identitas dan struktur sosial masyarakat adat yang khas. Dimensi ini berhubungan dengan pengakuan negara atas hak masyarakat.
Kedua, terbatasnya akses masyarakat kepada layanan publik. Ketiga, kemiskinan yang berkaitan dengan relasi-relasi agraria yang timpang, baik antara komunitas lokal dengan pihak-pihak dari luar (negara, korporasi, dan lain-lain) maupun di antara sesama warga komunitas itu sendiri. Keempat, berkaitan dengan relasi-relasi produksi yang terkait dengan pemanfaatan dan pengusahaan sumber-sumber agraria setempat. Kelima, terkait dengan isu keberlanjutan layanan alam. Isu ini berhubungan dengan degradasi fungsi ekologis baik akibat dari konfiik dan bencana alam (kasus di Aceh) maupun akibat dilanggamya konsep tata ruang tradisional oleh negara.
Sementara itu, dalam Kemiskinan Dan Kritik Atas Globalisme Neo-Liberal, Baidhawy (2015) keras mengatakan bahwa globalisasi neoliberal merupakan rezim pemiskinan dalam dirinya. Disebut demikian karena globalisasi terlampau sering memberikan janji surgawi kepada dunia dan kepada masyarakat.
Janji-janji rezim pemiskinan tersebut tentu tidak selamanya salah dan keliru. Meski demikian, dalam banyak kasus, globalisasi ternyata membawa dampak kemiskinan akut masyarakat. Sebab, dominasi globalisasi di semua lini kehidupan manusia tidak hanya gagal secara sosial tetapi juga berdampak buruk bagi pemiskinan masyarakat dari aspek ekonomi, politik, dan keamanan.
Pabrik Semen: Kasus Matim
Keinginan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk menyelesaikan kasus pengangguran melalui pembangunan pabrik semen rasa-rasanya perlu diperiksa. Diperiksa terutama karena kecilnya angka pengangguran di Matim dan banyaknya sektor lain yang dapat membuka ruang usaha pencari kerja di Manggarai Timur.
Merujuk nalar logika Pemda Matim, ketika pengangguran dapat diatasi, segera sesudahnya kemiskinan dapat pula diminimalisasi. Dalam kerangka itu, Pemda Matim rupanya gagap memahami bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan satu dimensi. Kemiskinan berhubungan dengan lima dimensi seperti yang disampaikan Shohibuddin di atas.
Kemiskinan di Manggarai Timur tidak hanya menyangkut pengangguran tetapi juga berhubungan dengan identitas dan struktur sosial masyarakat, terbatasnya akses masyarakat kepada layanan publik, relasi-relasi agraria yang timpang, baik antara komunitas lokal dengan pihak-pihak dari luar (negara, korporasi, dan lain-lain) maupun di antara sesama warga komunitas itu sendiri, relasi-relasi produksi yang terkait dengan pemanfaatan dan pengusahaan sumber-sumber agrarian, dan isu keberlanjutan layanan alam.
Membaca Manggarai Timur, kelima dimensi itu nyaris menguak ke permukaan. Penyelesaian kelima masalah itu belum menunjukkan tanda-tanda berhasil. Pengakuan akan identitas secara normatif telah dimulai dengan pembentukan desa adat dalam nomenklatur kebijakan. Model pengakuan di ruang normatif regulatif seperti itu baru dapat menunjukkan kerja positifnya ketika hak dan identitas rakyat diakui secara utuh dan komprehensif. Jika tidak, pengakuan akan identitas adat masyarakat jatuh dalam kubangan wacana semata.
Dalam skema layanan publik, masih banyak masyarakat yang mengeluh terkait buruknya kualitas layanan publik kepada masyarakat. Layanan publik yang dimaksud terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain-lain. Dalam kategori yang lain, masih banyak tanah di Manggarai Timur yang belum bersertifikat. Berkaitan dengan infrastruktur, sulit untuk tidak mengatakan Manggarai Timur sebagai salah satu daerah yang kondisi infrastrukturnya paling buruk di NTT.
Di sisi yang lain, masih banyak lahan tidur di Manggarai Timur yang belum dikelolah. Lahan tidur tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk tujuan pertanian dan bukan untuk tujuan lain. Sebab, karakter fisik Manggarai Timur memang erat kaitannya dengan pertanian dan perkebunan.
Pertanyaan penting kemudian ialah mengapa nian Pemda Matim mendukung pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda? Pertanyaan ini laik diajukan karena masyarakat Matim bukannya tidak membutuhkan pekerjaan. Masyarakat Matim membutuhkan kreativitas pemda membuka isolasi wilayah, memperbaiki kualitas pendidikan, dan kesehatan.
Hemat saja, jika Pemda Matim masih tetap ngotot membangun pabrik semen, penjelasannya hanya dapat dipahami sejauh memahami kuatnya determinasi neoliberal dan akumulasi kapital negara. Tekanan neoliberal menuntut pemerintah daerah menerima tawaran menarik menurut anggapan rezim neoliberal. Di titik yang lain, keinginan untuk menerima sesuatu dari investor sudah menjadi kebiasaan elite kekuasaan kita di pusat maupun di daerah. Memproduksi kemiskinan merupakan tahapan akhirnya. Ini yang ditakutkan banyak kalangan.