Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Setiap yang memeriksa dan membaca fenomena korona akan sampai pada sebuah kesimpulan yang sama. Korona telah mengubah semua tatanan dunia dari semua aspek. Yang belajar ilmu sosial, fenomena perubahan seperti yang terjadi saat ini dirumuskan dalam sebuah konsep penting yakni struktur sosial. Lengkapnya, perubahan struktur sosial.
Beberapa hari lalu, saya berkomunikasi dengan seorang teman yang sedang melakukan studi doktoral di Roma Italia. Selama ini, jika ada kesempatan berkomunikasi lewat media (WhatsApp Group), isinya basa basi. Sebagaimana laiknya teman, yang diangkat cuma memori masa lampau sejak SMP dan SMA. Kami jarang mendiskusikan hal-hal berat dan serius.
Kali ini beda. Dengan sedikit bertanya kabar, bunyi pesan selanjutnya keras dan menukik. Saya tahu, sebagai seorang pastor, dia tidak biasanya begini. Saya pun sungguh sadar, teman ini sangat peduli dengan masyarakat di negara asalnya, Indonesia.
Kepeduliannya tentu bukan karena kesombongan dia sebagai calon doktor filsafat tamatan Roma Italia. Kepeduliannya terutama karena, berpaling dari pengalaman Italia, korona sungguh menjadi musuh yang tak kelihatan. Ingatannya akan Indonesia membuat teman saya keras mengingatkan saya.
Bahwa korona bukan virus biasa. Korona adalah musuh tak kelihatan yang amat berbahaya. Satu saja jurus utama mengatasi korona menurut teman saya. Jaga jarak. Itu saja.
Menjaga jarak tidak sama dengan absen komunikasi. Menjaga jarak tentu dilakukan terutama dengan tidak melakukan kontak langsung dengan manusia lain, terutama yang disinyalir berasal dari wilayah endemik korona atau diduga pernah melakukan kontak dengan pasien korona.
Dalam perjalanan waktu malam itu, teman saya menulis pesan penting. Banyaknya kematian di Italia disebabkan karena masyarakat Italia terlalu keras kepala dan kepala batu. Berbagai imbauan pemerintah dan otoritas kesehatan seperti anjing menggonggong kafilah berlalu saja.
Bayangkan, demikian dia menyambung, di Lombardia, salah satu kota di bagian utara Italia disebut sudah banyak korban karena korona. Anehnya, semakin gencar pemerintah mensosialisasikan dan melarang warga untuk berkumpul, semakin tinggi pula masyarakat hidup dalam kerumuman. Masyarakat sibuk berkumpul di pinggir danau dan diberbagai lokasi keramaian lainnya.
Kesadaran warga Italia baru muncul ketika anggota keluarganya menjadi salah satu korban korona. Yang lebih menyedihkan ialah saat jenazah keluarga tidak diantar oleh anggota keluarga lain sebagaimana lazimnya. Mayat diantar menggunakan tank dan mobil antipeluru militer. Sebuah pengalaman yang amat pahit tetapi harus diterima warga Italia karena keras kepala.
Kasus Korona
Saat ini virus korona bukan lagi hantu. Korona tidak lagi bayangan. Korona menjadi amat material. Bahwa secara kasat mata korona tidak dapat dilihat, semua orang tahu. Hanya, membaca banyaknya korban baik yang terdampak maupun yang meninggal di hampir 150 negara menunjukkan korona sungguh amat nyata.
Data Worldmeters, hingga Jumat (3/4/2020) pagi, virus korona telah menginfeksi 1.009.840 orang di 199 negara, termasuk Indonesia. Saat ini tercatat 52.856 orang yang terinfeksi korona akhirnya meninggal dunia. Jumlah korban yang sembuh terus meningkat dan saat ini mencapai 211.942 orang.
Di Indonesia, sampai Kamis (2/4/2020), terdapat 1.790 orang yang terinfeksi, 170 orang meninggal, dan yang sembuh sebanyak 112 orang (worldometers.info, 3/4/2020).
Banyak pihak membandingkan dan menganalisis jumlah korban di setiap negara. Yang dilihat adalah persentase tingkat kematian dan waktu penyebaran. Hasilnya, Indonesia menempati urutan pertama dalam hal tingginya tingkat kematian, yakni sebesar 8 persen lebih.
Data itu masih banyak dihubungkan dengan perilaku sehat masyarakat dengan watak bawaan manusia modern. Banyak tesis berkembang. Memutuskan mata rantai korona dapat dilakukan melalui dua cara. Internal dan eksternal sekaligus.
Secara internal, perilaku sehat individu dan masyarakat menjadi hal pertama yang harus ditumbuhkan. Termasuk di dalamnya ialah kebiasaan mencuci tangan dan mengkonsumsi makanan bergizi. Hal-hal itu sudah sering disampaikan oleh beberapa pihak yang konsen dan bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat Indonesia.
Dalam kerangka yang sama, secara eksternal, otoritas kesehatan dunia, WHO meminta semua pihak di seluruh dunia untuk sekedar menjaga jarak agar tidak tertular virus menular itu.
Belajar dari Italia
Sejak diumumkan oleh Presiden Jokowi (2 Maret) lalu, virus korona terus menyebar ke hampir semua daerah. Sampai saat ini, sudah 22 provinsi yang memiliki kasus positif korona. Sejalan dengan itu, pemerintah sesungguhnya tidak tinggal diam.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi terutama meminimalisasi dampak kematian. Menurut presiden, keselamatan warga negara menjadi hal utama. Karena itu maka dibentuklah gugus tugas penanganan korona berdasarkan Keputusan Prisiden.
Lepas dari debat mengenai kebijakan yang paling tepat mengurani dampak korona di Indonesia, pemerintah pusat telah menegaskan berbagai langkah mulai dari tes massal, sosialisasi social distancing, bekerja dari rumah, belajar dari rumah, isolasi mandiri, penyemprotan disinfektan, dan lain-lain. Pemerintah tidak mengambil langkah lockdown karena berbagai alasan.
Soal utama kita sebetulnya bukan di situ. Perkara terbesar bangsa ini ialah watak keras kepala masyarakatnya. Larangan untuk tidak keluar rumah atau berkumpul tanpa ada alasan yang jelas, sulit sekali dipatuhi.
Menurut saya, hal ini disebabkan karena pemahaman masyarakat tentang penyakit menular sangat rendah. Galibnya, di saat hampir semua media sibuk memberitakan wabah korona, banyak orang yang masih berkeliaran dan beberapa lembaga masih.
Atas dasar itu, dapat dipahami mengapa Menko Polhukam, Mahfud MD keras bersuara meminta ketegasan aparat keamanan. Disebutkan, wabah korona bukan wabah biasa. Satu orang saja yang terinfeksi berdampak pada ratusan orang.
Di beberapa daerah, pemerintah daerah sudah mulai terlihat tegas melarang orang hadir dalam kerumunan. Pemda melibatkan polisi dan SatPol PP untuk menertibkan masyarakat.
Lepas dari itu, kita semua harus belajar dari Italia. Banyaknya kasus kematian terutama disebabkan karena watak keras kepala ini. Untuk kita di Indonesia, sulit dibayangkan wabah ini dapat diatasi jika kita semua masih berkeras hati dan tetap kepala batu melawan ajakan pemerintah untuk tetap di rumah sampai ada tanda-tanda positif berakhirnya wabah korona.