Oleh: dr. Stevi Harman
Akhir-akhir ini, pandemi COVID-19 (COVID) tengah menimbulkan keresahan di masyarakat luas. Kebijakan lockdown dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dari pemerintah untuk memperlambat penyebaran COVID belum dapat mengalahkan penyakit tersebut.
Belum lagi kebijakan lockdown yang sangat membebani negara di berbagai bidang, seperti bidang sosial, ekonomi, edukasi, bahkan hingga masalah kejiwaan atau mental individu.
Banyak orang merindukan kebebasan untuk bepergian seperti sebelum pandemi terjadi untuk berbagai alasan. Misalkan, untuk mengurangi rasa jenuh yang dirasakan akibat berdiam diri di rumah selama kurang lebih 8 minggu, atau alasan lain yang lebih genting, yakni untuk mencari nafkah.
Tentu kita semua bertanya-tanya; kapankah kebijakan PSBB yang membuat sebagian besar masyarakat ‘di rumah saja’ ini akan berakhir? Apa langkah selanjutnya yang akan diambil oleh pemerintah?
Yang Sembuh Aman Keluar Rumah?
Ada anggapan bahwa pasien COVID yang telah sembuh telah dianggap ‘aman’ dan dapat beraktivitas kembali seperti biasa karena sudah kebal terhadap penyakit tersebut. Sembuh yang dimaksud di sini apabila pernah dinyatakan positif COVID melalui pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dan telah mendapat perawatan sesuai standar yang berlaku, kemudian memberikan hasil apusan hidung dan tenggorok yang negatif sebanyak dua kali berturut- turut.
Sayangnya, dari data ilmiah yang telah terkumpul hingga saat ini, tidak ada bukti yang signifikan bahwa orang yang telah terjangkit benar-benar kebal terhadap penyakit ini. Masih ada kemungkinan terjadi infeksi COVID berulang atau reinfeksi pada mereka yang telah sembuh sebelumnya. Beberapa kasus reinfeksi pada pasien COVID telah ditemukan di berbagai negara, seperti Korea Selatan, China, dan Kanada.
Lagipula, jika terbukti di masa depan bahwa orang yang pernah terinfeksi COVID telah membentuk imunitas atau kekebalan tubuh yang cukup untuk membuatnya kebal terhadap penyakit ini, ada pertanyaan lanjutan yang belum terjawab. Yaitu, berapa lama kekebalan tubuh yang telah terbentuk dapat bertahan di dalam tubuh seseorang agar ia tetap kebal terhadap penyakit tersebut. Misalnya, pada penyakit campak dan cacar air, imunitas yang terbentuk dalam tubuh seseorang setelah sembuh dapat bertahan seumur hidup. Dengan kata lain, seseorang yang pernah mengalami campak atau cacar air akan kebal terhadap penyakit tersebut seumur hidupnya.
Melihat dari data yang sudah ada sebelumnya tentang virus korona tipe lain yang dapat menyebabkan flu/selesma, imunitas terhadap jenis virus yang sama seharusnya akan membuat pasien tersebut kebal sepanjang hidupnya.
Namun jika seseorang terpapar jenis virus korona lain yang memiliki bentuk berbeda, orang tersebut dapat tetap sakit dan mengalami gejala baru. Hingga kini, kekebalan tubuh seseorang terhadap suatu penyakit dapat dilihat dari jumlah antibodi jangka panjangnya.
Antibodi terhadap tipe virus korona yang menyebabkan penyakit SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) secara berurutan dapat bertahan selama dua tahun dan tiga tahun.
Herd Immunity
Herd immunity adalah keadaan di mana terdapat cukup banyak orang yang telah kebal dari suatu penyakit sehingga kelompok yang imun tersebut secara tidak langsung dapat melindungi segelintir orang yang belum pernah terinfeksi dan belum terbentuk kekebalan tubuhnya terhadap penyakit tersebut. Untuk lebih jelasnya, konsep herd immunity dapat dilihat pada skema di bawah ini.
Secara teoritis, satu-satunya cara agar virus ini dapat berhenti menyebar adalah dengan menciptakan keadaan keadaan herd immunity ini. Perlu dipahami, bahwa saat ini, diketahui tingkat laju reproduksi virus (R0) SARS-CoV 2, yang adalah virus penyebab COVID ini adalah 3.0. Arti dari R0 = 3.0 ini adalah dalam suatu populasi yang seluruhnya belum pernah terpapar oleh virus tersebut, satu orang yang berpenyakit dapat menularkan dan membuat tiga orang lainnya sakit. Berarti, untuk virus SARS-CoV 2 ini, lebih 2/3 dari total populasi harus sudah memiliki antibodi terhadap penyakit ini agar tercapai ‘herd immunity’.
Jika diaplikasikan perhitungan tersebut secara global, lebih dari 5,4 milyar (68%) dari populasi dunia harus terinfeksi dan kemudian membentuk kekebalan terhadap penyakit ini untuk mencapai keadaan ideal tersebut. Tentu tidak masuk akal jika kita harus menunggu 5,4 milyar orang terinfeksi agar penyakit ini bisa berhenti menyebar. Sehingga, cara yang saat ini sedang dikembangkan untuk mencapai ‘herd immunity’ adalah melalui vaksinasi. Sayangnya, hingga saat ini vaksin untuk COVID belum tersedia dan masih dalam tahap penelitian.
Kapan Vaksin Tersedia?
Vaksinasi dalam ilmu kedokteran adalah penyuntikan bagian dari mikroorganisme pathogen (penyebab penyakit) ke manusia sehat agar tubuh dapat membentuk imunitas yang cukup untuk mengenali dan mencegah mikroorganisme tersebut untuk masuk ke dalam sel tubuh manusia.
Tujuannya agar penyakit ini tidak dapat menyebabkan penyakit. Beberapa vaksin yang dikenal masyarakat adalah vaksin hepatitis B, vaksin difteri, pertussis, dan tetanus, serta vaksin campak/MMR (Measles, Mumps, Rubella).
Beberapa negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, melalui lembaga Moderna, Novavax; China, melalui Shenzhen Geno Immune Medical Institute; dan Inggris melalui Universitas Oxford, tengah berlomba-lomba untuk mengembangkan vaksin COVID.
Berangkat dari sejarah pembuatannya, butuh waktu hingga bertahun-tahun untuk mengembangkan suatu vaksin agar dapat digunakan secara luas. Lebih lagi, pembuatan vaksin sangatlah rumit dan perlu melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah proses penentuan bagian virus yang aman untuk disuntikkan ke tubuh manusia di laboratorium, lalu dilanjutkan proses uji coba di binatang, dan proses terakhir adalah tiga tahap eksperimen pada manusia.
Direktur badan National Institute of Allergy and Infectious Disease (NINDS) di Amerika Serikat, Dr. Anthony S. Fauci, telah mengeluarkan pernyataan bahwa dengan perkiraan yang paling optimis sekalipun, vaksin untuk COVID baru dapat tersedia di Bulan Januari 2021. Rata-rata lama pengembangan vaksin yang layak untuk diaplikasikan pada masyarakat luas adalah sekitar satu tahun hingga satu tahun enam bulan.
Kehidupan pascapandemik
Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang masih ketat menerapkan lock down daerah dan PSBB. Jika nanti jumlah penemuan kasus baru COVID sudah menurun dan kurva pasien positif COVID sudah melandai, aturan PSBB akan dilonggarkan secara bertahap, mengikuti kebijakan beberapa negara di Asia Timur dan Eropa.
Jika belum terdapat vaksin, sudah hampir pasti akan terjadi gelombang infeksi berikutnya yang akan terlihat dari lonjakan pada kurva positif COVID yang sebelumnya sudah melandai. Namun, PSBB dan lockdown tidaklah bijak jika diterapkan dalam kurun waktu yang terlalu lama karena akan meningkatkan beban tanggungan pemerintah.
Khususnya di Indonesia, sebagian besar masyarakat tidak mampu mengandalkan kerja harian untuk mendapatkan upah. Oleh karena itu, ada beberapa rekomendasi untuk menjadi perhatian. Pertama, komando pelonggaran PSBB seharusnya dari satu sumber, yakni pemerintah pusat. Sama halnya dengan kebijakan buka-tutup sekolah, perkantoran, dan pabrik sebaiknya tidak diserahkan kepada masing-masing perusahaan.
Selain itu, pemerintah harus mempersiapkan kebijakan baru yang terkoordinasi, khususnya untuk tempat-tempat umum, seperti penyemprotan disinfektan di kendaraan umum, halte, stasiun MRT, pelabuhan kapal, airport, dan di rumah – rumah ibadah.
Di tempat umum sebaiknya disediakan pembagian masker kain gratis, serta pembatasan bilik-bilik kerja antara satu pegawai dengan yang lainnya di kantor-kantor. Kebijakan untuk melarang dine – in di restoran dan kafe seharusnya menjadi yang terakhir untuk diangkat.
Sangatlah penting agar pemerintah masih melanjutkan dan menggalakkan pemeriksaan COVIDdengan PCR yang menggunakan specimen apusan tenggorok, serta memperketat contact tracing pada mereka yang terkategorikan pasien dalam pengawasan. Pengembangan dan evaluasi hotline COVID serta pendataan online yang ada saat ini juga perlu dilanjutkan setidaknya sampai vaksin ditemukan atau regimen pengobatan khusus COVID dibentuk.
Selain dari pemerintah, dukungan dari masyarakat juga tidak kalah penting. Masyarakat harus menyadari dan menerima bahwa keadaan saat ini adalah kehidupan normal yang baru. Berakhirnya PSBB dan lockdown bukan berarti masyarakat bisa kembali ke kehidupan seperti sebelum pandemi ini.
Artinya, masyarakat harus menerapkan kebiasaan – kebiasaan perilaku bersih dan sehat secara lebih ketat. Kebiasaan – kebiasaan tersebut, misalnya: kebiasaan mencuci tangan setiap kembali dari tempat umum dan sebelum menyentuh wajah, memakai masker kain ketika bepergian keluar rumah, menjaga jarak satu dengan yang lain, mengganti baju dan mandi segera setelah bepergian dari luar, serta kesadaran diri untuk tinggal di rumah apabila merasa sakit.
Selain itu, masyarakat diharapkan untuk lebih memperhatikan imunitas tubuhnya dengan cara makan cukup sesuai kebutuhan gizi, aktivitas fisik rutin, jadwal tidur yang cukup, termasuk melakukan berbagai cara untuk menjaga kesehatan mental masing – masing.