Ruteng, Vox NTT- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) meminta Pemerintah Provinsi NTT agar jangan mencari orang yang dijadikan tumpuan kesalahan atau ‘kambing hitam’ atas polemik aksi telanjang di Besipa’e, Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Hal itu disampaikan TPDI sebagai respon atas rencana Pemprov NTT untuk mengambil langkah hukum di balik aksi telanjang kaum ibu tersebut.
Baca: Gubernur NTT Disambut Aksi Telanjang Ibu-ibu di Besipa’e TTS
Sebelumnya, rencana bakal melaporkan aksi telanjang tersebut ke Polisi disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Alex Lumba.
Baca: Aksi Telanjang, Pemprov NTT Bakal Polisikan Warga Besipa’e TTS
Koordinator TPDI Petrus Salestinus mengatakan, Alex Lumba sebaiknya berkoordinasi dengan Polda NTT untuk mempidanakan pihak-pihak yang merekam dan mendistribusikan insiden telanjang dada beberapa ibu di Besipa’e.
Menurut Salestinus, perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara oleh UU adalah perbuatan mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik (rekaman video).
Dalam konteks kasus ini yakni, video ibu-ibu “bertelanjang dada” dalam aksi demo memprotes kehadiran Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat dan rombongan saat hendak memasuki pekarangan pemukiman warga Besipa’e pada 12 Mei 2020 lalu.
“Polisi harus mencari siapa pelaku yang medistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sesuai perintah UU ITE sebagai hukum positif,” ujar advokat Peradi itu dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Jumat (15/05/2020).
Dasar hukumnya, lanjut Salestinus, adalah ketentuan Pasal 27 ayat (1) junto Pasal 45 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Di situ dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara antara lain, bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, diancam dengan pidana penjara maksimum 6 tahun dan denda maksimum Rp 1.000.000.000.- (satu miliar rupiah).
Baca: Pemprov NTT Laporkan Warga Aksi Telanjang Dinilai Keliru
Salestinus menambahkan, publik punya alasan untuk mencurigai aparat yang ikut dalam rombongan Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat sebagai pihak yang melakukan pekerjaan merekam, mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya rekaman video yang mengandung muatan kesusilaan.
Sebab hanya orang dengan akses informasi elektronik memadailah yang bisa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya video rekaman ibu-ibu melakukan aksi telanjang di Besipa’e.
Salestinus menegaskan, Biro Hukum Pemprov NTT harus jeli melihat permasalahannya.
Sebab jika tidak jeli, maka Biro Hukum Pemprov NTT justru dinilai sebagai sedang mencari ‘kambing hitam’ dan yang dikambinghitamkan adalah ibu-ibu bertelanjang dada.
Padahal, kata Salestinus, peristiwa bertelanjang dada itu sendiri adalah aksi secara spontanitas di Besipa’e untuk menolak kedatangan Gubernur NTT dan rombongan dalam rangka membela hak-haknya atas tanah.
“Ini menjadi bagian dari tugas pendidikan politik dan ini merupakan langkah yang paling elok sekalipun pelakunya diduga dari aparat yang mendampingi Gubernur NTT dan rombongan,” tegasnya.
Menurut Salestinus, ibu-ibu bertelanjang dada yang rekaman videonya beredar luas ke publik bisa saja melaporkan peristiwa itu ke Polisi.
Laporan bisa menggunakan instrumen Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, sebagai perbuatan pidana yang sangat merugikan nama baik dan harga diri pribadi, suku dan Kampung Besipa’e, Kabupaten TTS.
”Dan itu harus diusut secara tuntas,” tutup Salestinus.
Penulis: Ardy Abba