Vox NTT- Rencana Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Matim) mengizinkan eksploitasi batu gamping di Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Matim, NTT dinilai melanggar lima peraturan.
Hal itu dikatakan Koordinator Kelompok Diaspora Manggarai Peduli, Flory Santosa Nggagur dalam surat peringatan yang dikirim ke Gubernur NTT Viktor B Laiskodat dan Bupati Matim Agas Andreas.
Surat yang didukung oleh 321 penandatanganan petisi penolakan atas rencana pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping itu juga ditembuskan ke Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, Kepala BKPM, Ketua Komisi VI DPR, Ketua DPRD Manggarai Timur dan Ketua DPRD Provinsi NTT.
Flory mengatakan, surat yang dikirim ini adalah sebuah peringatan kepada Gubernur NTT dan Bupati Manggarai Timur agar jangan salah melangkah.
Ia menyebut ada beberapa aturan yang harus dipatuhi ketika memberikan izin penambangan batu gamping di kawasan karst.
Pertama, Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang telah direvisi dan disahkan oleh DPR RI pada tanggal 12 Mei 2020.
Kedua, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan lebih spesifik dijabarkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai berikut: a. Surat Keputusan Nomor SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia. b. Surat Keputusan Nomor SK.297/Menlhk/Setjen/PLA.3/4/2019 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air Nasional.
Ketiga, Peraturan Menteri ESDM Nomor 17/2012 tentang Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Keempat, UU Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian.
Kelima, Perda Manggarai Timur Nomor 6/2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Merujuk pada beberapa peraturan tersebut di atas, lanjut Flory, pihaknya mengingatkan mengenai beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, sesuai dengan UU Minerba yang baru disetujui oleh DPR RI sebagai revisi atas UU No 4 Tahun 2009, pasal 173.2 yang menyatakan “Dalam jangka waktu pelaksanaan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara sebagaimana dimaksud pada ayat satu (1) Menteri atau Gubernur tidak dapat menerbitkan perizinan yang baru sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.”
“Dengan berlakunya UU Minerba yang baru ini, maka saudara tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberikan izin atas usaha pertambangan mineral dan batu bara,” kata Flory dikutip dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Jumat (05/06/2020).
Kedua, sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 sebagaimana telah dijabarkan lebih lanjut melalui SK Menteri LHK Nomor SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018 dan SK No. SK.297/Menlhk/Setjen/ PLA.3/4/2019 serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 17/2012, bahwa wilayah yang akan ditambang itu adalah wilayah karst.
Flory menjelaskan, bentangan karst memiliki peranaan yang sangat vital untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan penyediaan air bagi lingkungan atau daerah di kawasan karst dan sekitarnya.
Kawasan Manggarai Timur bagian utara mulai dari Wae Pesi sampai Kecamatan Elar dan ke selatan sampai dengan daerah sekitar Benteng Jawa, kata dia, merupakan satu-satunya Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang cukup besar di Pulau Flores.
Dengan demikian, maka daerah ini memiliki peranaan yang sangat vital bagi daya dukung air untuk sebagian besar kabupaten di Manggarai sampai ke Kabupaten Ngada, terutama daerah sekitar Riung.
“Karena kawasan ini memiliki fungsi yang sangat vital maka seharusnya dijadikan kawasan lindung ekologis dan tidak diperkenankan untuk dirusak termasuk dengan mengizinkan beroperasinya pertambangan mangan dan gamping,” tegas Flory.
Ketiga, Pasal 30.4.a sd h dalam Perda RTRW Manggarai Timur No. 6 Tahun 2012 menunjukkan bahwa Pemda Manggarai Timur tidak memiliki pemahaman yang mendalam mengenai fungsi bentangan karst serta tidak merujuk pada UU atau peraturan yang lebih tinggi pada saat penyusunan Perda.
Oleh karena itu, pihaknya meminta Pemda Manggarai Timur untuk segera merevisi Perda tersebut atau tidak dijadikan sebagai dasar hukum pemberian izin pertambangan di wilayah karst.
Hal itu karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Keempat, UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian memerlukan perhatian Pemda untuk menjaga dan mengembangkan lahan pertanian masyarakat, bukan justru menguranginya dengan alih fungsi lahan menjadi area tambang dan pabrik.
“Kami minta agar Bapak menaati beberapa regulasi tersebut di atas dan menghentikan semua proses pemberian izin atas rencana pembangunan pabrik semen di Kampung Luwuk dan penambangan batu gamping di Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur,” kata dia.
Flory juga mengingatkan bahwa tim hukum diaspora akan melakukan upaya hukum yang diperlukan, apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut. *(VoN)