Kupang, Vox NTT-Para mahasiswa dan pemuda dari berbagai organsisasi di Kupang menggelar aksi unjuk rasa pada Senin, 29 Juni 2020.
Aksi ini digelar untuk menyuarakan penolakan terhadap izin tambang dan pabrik semen di Kabupaten Manggarai Timur.
Di bawah koordinasi Aliansi Mahasiswa Manggarai Raya (AMMARA) Kupang, massa aksi mendatangi kantor Gubernur NTT dan Kantor DPRD DPRD NTT.
Balada Orang-Orang Satar Punda, Mengapa Menjual Tanah untuk Tambang?
AMMARA merupakan gabungan dari berbagai organisasi kepemudaan Manggarai, antara lain Ikatan Mahasiswa Pendalaman Iman Keuskupan Ruteng (TAMISARI) Kupang, Himpunan Pelajar Mahasiswa Manggarai Timur (HIPMMATIM) Kupang, Persatuan Mahasiswa Manggarai (PERMAI) Kupang dan Persatuan Mahasiswa Manggarai Barat (PERMMABAR) Kupang.
Aksi unjuk rasa ini berlangsung setelah pekan lalu Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat mengunjungi Flores, termasuk ke daerah yang akan menjadi lokasi tambang batu gamping dan pabrik semen di Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda.
Saat ini, perusahan tambang PT Istindo Mitra Manggarai sudah mendapat IUP Eksplorasi untuk batu gamping di lahan seluas 599 hektar yang berlokasi di Kampung Lengko Lolok dan PT Semen Singa Merah NTT (PT SSM) dilaporkan sudah memperoleh izin lokasi di Kampung Luwuk.
Dalam pernyataannya usai mengunjungi lokasi Desa Satar Punda, Laiskodat mengklaim bahwa tambang itu akan dilanjutkan, meski ada protes dari berbagai elemen.
Alvino A Latu, koordinator lapangan aksi ini mengatakan, mereka menuntut agar Laiskodat memiliki sikap jelas dalam agenda pembangunan di NTT dan tidak terus-menerus berubah sikap serta membohongi publik.
Ia mencontohkan, dalam kunjungan ke Manggarai Raya, Gubernur menekankan bahwa pembangunan di NTT mengandalkan potensi pertanian, kelautan, peternakan dan pariwisata.
“Ketika berbicara di hadapan para tokoh agama yang ia tahu menolak rencana tambang dan pabrik semen ini, gubernur sama sekali tidak menyebut tambang sebagai sektor yang menjadi andalannya. Tetapi di tempat lain, hanya dalam hitungan jam, kata-katanya kemudian berubah, di mana ia menyatakan mendukung tambang,” kata Alvino.
Ia menambahkan, ketikdakonsistenan Laiskodat juga tampak dari bagaimana ia dengan mudah melupakan janji-janjinya ketika kampanye pemilihan gubernur dan saat dilantik. Setelah itu, ia pun sempat menerbitkan SK moratorium bagi izin tambang.
“Ia mengatakan dalam janji-janji politiknya tidak akan menjadikan NTT sebagai daerah untuk tambang. Tapi, itu ternyata hanya pemanis bibir untuk meraih dukungan politik. Setelah menang, ia dengan mudah melupakan semua itu. Ia telah membohongi publik NTT,” katanya.
Ia mengatakan, mereka meminta Laiskodat untuk konsisten pada janji-janjinya.
“Kami butuh pemimpin yang memikirkan tidak saja NTT hari ini, tetapi juga NTT ke depan. Tambang hanya membawa kehancuran untuk masa depan kehiduan dan alam NTT,” katanya.
Sementara itu, kepada DPRD NTT, kata dia, mereka menuntut agar memaksimalkan peran mereka untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
“Sejauh ini, hanya segelintir anggota dewan yang menyuarakan persoalan ini, sementara yang lainnya masih memilih tidak peduli,” kata Alviano.
Ia mengajak anggota DRPD NTT untuk sama-sama mengawal janji-janji Laiskodat.
“Sebagai penyambung lidah masyarakat, anggota DPRD mesti mengingatkan gubernur untuk konsisten pada janji-janjinya,” kata Alvino.
Alasan Penolakan
Adeodatur Syukur, Koordinator Umum AMMARA Kupang mengatakan, penolakan mereka terhadap tambang berangkat dari berbabagai alasan, yang juga sudah disampaikan sebelumnya lewat berbagai cara kepada pemerintah.
Ia menjelaskan, di wilayah izin tambang dan pabrik itu merupakan perkampungan dan lahan-lahan pertanian yang telah bertahun-tahun menghidupi warga.
“Kalau lahan pertanian dihilangkan, maka di mana sumber kehidupan bagi generasi mendatang? Pemerintah harusnya tidak hanya memikirkan soal uang yang diimpi-impikan masuk ke khas daerah yang jumlahnya juga tampak fantastis tapi sebetulnya tidak realistis,” katanya.
Ia menambahkan, pemerintah sebaiknya tidak terpesona dengan klaim semacam itu karena faktanya perusahaan tambang mangan yang sebelumnya hadir di sekitar dua kampung itu tidak membawa perubahan signifikan.
“Bertahun-tahun mereka beroperasi, tapi tidak ada perubahan bagi warga setempat, sementara bekas lubang tambang terus menganga, tanpa ada upaya perbaikan,” katanya.
“Kini perusahan datang lagi dengan janji serupa dan pemerintah malah ikut memberi karpet merah pada perusahaan,” tambahnya.
Deo menambahkan, sebagai mahasiwa mereka merasa memiliki hak untuk menyuarakan keperihatinan pada rencana investasi ini, mengingat tambang dan pabrik ini tidak hanya menyangkut soal urusan jual beli tanah di dua kampung, tetapi juga menyangkut hak hidup banyak orang.
“Kita tahu bahwa rencana penambangan dan pabrik semen ini yang terintegrasi dengan pembangunan PLTU batubara serta terminal pengepakan dan pelabuhan membawa potensi kerusakan yang dahsyat dan berkepanjangan mengingat lokasi tambang dan pabrik ini dekat dengan pemukiman warga,” katanya.
Ia menjelaskan, polusi seperti debu yang dihasilkan oleh kegiatan industri semen juga membawa dampak besar bagi daerah-daerah sekitar.
“Pemerintah tidak bisa menyederhanakan solusi terhadap masalah lingkungan dengan adanya dana reklamasi atau ASR (Abandonment and Site Restoration) karena dalam prakteknya dana tersebut tidak akan pernah cukup untuk memulihkan kerusakan lingkungan yang terjadi karena dasar perhitungannya yang tidak jelas dan cenderung asal-asalan,” katanya.
Selain itu, jelasnya, wilayah yang akan ditambang merupakan satu-satunya ekoregion perbukitan karst di Pulau Fores yang telah disahkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018 tentang penetapan wilayah ekoregion Indonesia.
“Wilayah karst ini menjadi regulator air yang menyediakan suplai air bersih bagi daerah sekitarnya yang memberikan penghidupan bagi ribuan komunitas di belahan barat pulau Flores, khususnya dari Reo di Kabupaten Manggarai hingga Riung di kabupaten Ngada,” katanya.
“Itu berarti, masalah ini tidak hanya soal warga yang jual tanah, tapi efek yang jauh lebih besar. Karena kawasan ini memiliki fungsi yang sangat vital maka seharusnya dijadikan kawasan lindung ekologis dan tidak diperkenankan untuk dirusak termasuk dengan mengizinkan beroperasinya pertambangan,” katanya.
Ia menambahkan, daripada mendorong industrik ekstraktif, pemerintah mesti memaksimalkan upaya pemberdayaan untuk masyarakat, terutama di bidang-bidang yang mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk pemenuhan infrastruktur-infrastruktur dasar, seperti pertanian dan air bersih.
Deo juga mengungkap soal data surplus kapasitas produksi semen sekitar 30% atau sekitar 40 juta ton selama 4 tahun terakhir sejak tahun 2016.
“Di tengah fakta soal surplus ini, tambang dan pabrik ini sebenarnya untuk siapa? Kalau diklaim untuk ekspor, apakah kemudian harus mengorbankan keselamatan dan ruang hidup?” katanya. (VoN).