Kupang, Vox NTT-Maraknya fenomena ‘kawin tangkap’ yang terjadi di Sumba akhir-akhir ini memicu beragam reaksi publik.
Ada yang menilai aksi itu sebagai tradisi, namun ada pula yang menilai sebagai budaya kekerasan yang harus dihentikan.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, riset yang dilakukan Dony Kleden tentang Perkawinan Adat Suku Wewewa, Sumba Barat Daya, NTT mengungkapkan macam-macam perkawinan dalam budaya setempat. Riset ini dipublikasi pada Jurnal Studi Budaya Nusantara, volume 1, tahun 2017.
Dony mengungkapkan, perkawinan antara laki-laki dan perempuan, selalu hadir karena adanya kebutuhan untuk saling menyayangi, mencintai dan memberikan diri satu sama lain.
Perkawinan bagi orang Sumba, khususnya di Suku Wewewa, kata Dony, dalam arti tertentu, dapat dibaca sebagai suatu upaya resiprositas antar suku, antara si pemberi perempuan dan si penerima atau “pembeli” perempuan.
Ada beberapa jenis perkawinan yang ia temukan dalam riset tersebut.
Pertama, Perkawinan Normal
Dalam perkawinan normal, Dony menemukan tahap-tahap perkawinan yang lazim dipraktekan orang Sumba.
Tahap pertama disebut “Tahap ketuk pintu (tunda binna)”. Tahap ini juga biasa disebut sebagai tahap perkenalan.
Simbol adat yang dibawa pihak laki-laki yakni sebuah parang dan seekor kuda sebagai tanda akan adanya perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Pihak perempuan akan membalasnya dengan sepasang kain dan sarung.
Pada Tahap ini keluarga laki-laki dan keluarga perempuan bermusyawarah menentukan tanggal yang disepakati untuk melakukan tahap berikutnya serta jumlah belis yang akan dibawa.
Tahap kedua adalah masuk minta (kette katonga). Tujuannya untuk mengikat atau meresmikan hubungan antara pria dan wanita. Hal ini bermakna, gadis telah dipinang (diikat) dan
melarang orang lain melamarnya/meminangnya lagi. Baik laki- laki maupun perempuan diikat dan dilarang untuk memilih orang lain lagi sebagai calon suami atau calon istri.
Tahap terakhir disebut dengan tahap pindah (dikki). Perempuan yang dipinang akan pindah ke suku suaminya. Pihak pria akan membawa hewan yang telah disepakati, parang, tombak dan
mamoli, sedangkan pihak keluarga perempuan akan membalasnya dengan memberikan beberapa pasang kain sarung dan seekor babi.
Pihak perempuan juga akan memberikan barang bawaan berupa peralatan rumah tangga, tempat tidur, lemari, kursi, meja, piring, sendok, gelas dan lain-lain serta dibekali dengan seekor babi besar yang masih hidup (wawi moripa) dan seekor babi yang sudah mati (wawi mate), kuda tunggang (dara pakalete), dan gelang (lele).
Perkawinan Wenda Mawine
Wenda Mawine merupakan satu jenis perkawinan yang terjadi tetapi tidak atas dasar cinta, melainkan kesepakatan orang tua laki dan perempuan, tanpa sepengetahuan perempuan.
Motif di balik pernikahan jenis ini bermacam- macam, misalnya karena masalah ekonomi dan pengaruh.
Terkait dengan masalah ekonomi ini biasanya kerena ada utang piutang, dan seringkali sosok perempuan menjadi tebusan. Atau juga karena alasan kekerabatan. Supaya hubungan kekerabatan yang sudah ada itu tidak menjadi putus, maka perlu ada perkawinan antar dua kebisu (klan).
Cara atau strategi yang biasa digunakan dalam perkawinan jenis ini adalah, perempuan biasanya disuruh ke pasar atau ke tempat umum lainnya dan di sana sudah disiapkan beberapa
orang laki- laki untuk menangkap atau “meculiknya‟ dan langsung dinaikkan di atas kuda tunggangan dan dibawa lari ke rumah lelaki calonnya itu.
Dijelaskan Dony, perempuan tersebut kaget dan teriak minta tolong. Tetapi karena semuanya ini adalah suatu strategi yang sudah diketahui, maka tidak ada yang kaget dan berusaha untuk melepaskannya.
Setelah perempuan yang “diculik‟ itu sampai di rumah calon suami yang dia sendiri belum tahu, ada proses lanjutan di mana, keluarga dari pihak laki-laki datang dan “mencari‟ anak mereka yang baru diculik itu. Kehadiran mereka ini pun juga adalah bagian dari startegi itu sendiri.
Proses selanjutnya setelah strategi ini berhasil adalah pembicaraan tentang kapan perkawinan secara adat dan bagaimana pembelisannya. Perempuan dalam jenis pernikahan ini hanya pasrah mengikuti kehendak orang tua dan keluarga besarnya.
Perkawinan Ailana Kalaki Lede
Ailana Kalaki Lede sebenarnya suatu ritual adat untuk melegalkan perkawinan sedarah yang oleh masyarakat Sumba pada umumnya dan suku Wewewa pada khususnya, merupakan
perkawinan yang salah dan tidak diakui dalam hukum adat perkawinan yang sebenarnya.
Perkawinan bentuk ini dikatakan salah, karena kedua calon mempelai sama-sama berasal dari kabissu (klan, suku) yang sama.
Tetapi perkawinan ini hanya bisa dilaksanakan saat marapu mengizinkan. Tetapi bagaimana bisa tahu itu kehendak marapu?
Masyarakat adat setempat biasanya menggelar ritual urata.
Rato adat (imam adat) melihat kehendak marapu itu di hati babi atau pada usus ayam. Jika rato berdasarkan interpretasi dan pengelihatannya, tidak dikehendaki, maka terpaksa ailana kalaki lede dibatalkan. Demikianpun hubungan antara laki-laki dan perempuan yang hendak menikah ikut dibatalkan.
Perkawinan Angu
Angu biasa diartikan dengan “kawin masuk‟. Artinya, karena laki-laki belum sanggup membayar belis yang diminta oleh pihak perempuan, maka untuk sementara ia harus menjadi
bagian dari keluarga perempuan dan mengabdi pada keluarga dan orang tua perempuan sampai ia melunasi atau mampu membayar belis yang dimintakan oleh pihak perempuan.
Menurut temuan Dony, angu bisa berlangsung lama, bisa juga berlangsung singkat tergantung kemampuan laki-laki dan keluarga besarnya.
Perkawinan Kako Ndona
Kako ndona adalah sebuah jenis pernikahan di mana perempuan “lari ikut‟ atau datang sendiri ke rumah laki- laki, entah karena alasan apa, tetapi biasanya karena orang tua perempuan tidak menyetujuinya.
Rasa cinta yang begitu mendalam antara seorang laki-laki dan perempuan, seringkali membuat jenis pernikahan ini terjadi.
Dijelaskan Dony, perkawinan jenis ini memang lebih rumit urusannya, karena di sana ada harga diri yang dipertaruhkan. Dalam kaca mata orang Sumba, kalau seorang perempuan “lari ikut” laki- laki atau datang sendiri ke rumah laki-laki, maka itu sama dengan merendahkan keluarganya sendiri.
Tetapi kalau proses komprominya berjalan dengan baik, maka, proses selanjutnya menjadi seperti biasa. (VoN).