*) Cerpen Latrino Lele
Namaku Robin, anak sulung dari tiga bersaudara. Aku dipercayakan kedua orang tuaku untuk kuliah di tanah Jawa, tepatnya di Jakarta. Kota yang dijuluki metropolitan itu.
Aku sangat bersyukur meskipun keadaan ekonomi keluarga pas-pasan orang tuaku mampu membiayai kuliahku. Mereka telah menaruh harapan yang besar di pundakku. Agar kelak aku pulang ke kampung dengan membawa ijazah. Sebagai bukti bahwa aku kuliah dan menjadi guru.
Cita-cita luhur yang telah lama aku impikan. Bagiku profesi sebagai guru bukan sesuatu hal yang mudah. Ia butuh perjuangan dan kerja keras. Guru ibarat pelita yang dalam kerapuhannya, tetap tegar dan selalu siap menerangi insan-insan yang berada dalam tabir kegelapan. Sehingga ia menjadi manusia yang mampu menggunakan akal budinya di setiap perkataan dan tindakannya.
Di Jakarta aku kuliah di sebuah universitas ternama dan mengambil parodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku sudah jatuh cinta pada Bahasa dan sastra Indonesia sejak SMA. Banyak tokoh-tokoh Sastrawan Indonesia yang menjadi idolaku terlebih khusus karya-karya mereka yang luar biasa. Karya-karya yang mampu membawa aku kepada dunia yang lebih luas. Dunia yang penuh inspirasi dan motivasi. Dunia yang begitu indah yang tak pernah aku temui di dunia nyata. Itu adalah beberapa alasan mengapa aku begitu mencintai karya sastra. Karena itu aku memutuskan untuk tes di parodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dan syukur kepada Tuhan aku lulus kala itu.
Sekarang aku sudah memasuki semester tujuh sehingga membuatku sedikit sibuk mencari sumber untuk menulis skripsi. Kelak akhirnya aku akan menjadi guru di kampungku. Dan ingin membangun kampungku yang tergolong masih sangat tertinggal itu. Aku ingin dari kampungku lahirlah banyak cendikiawan-cendikiawan yang hebat. Ini sebuah impian luar biasa yang sedang aku perjuangkan saat ini. Tidak dimungkiri kerinduan yang menggebu-gebu di hatiku terhadap kampung halamanku terlebih ayah, ibu, dan kedua adiku Tino dan Rila.
Karena memang sudah hampir empat tahun aku tidak pulang kampung halaman. Aku sudah berkomitmen untuk menyelesaikan kuliahku baru aku pulang membawa kejutan akan kesuksesanku. Meskipun sering telepon juga video call di waktu senggang benar-benar tidak dapat membayar tuntas rasa rinduku kepada mereka semua. Rindu itu terlalu berat seperti kata Dilan. Rindu akan hangatnya seduhan kopi buatan ibu yang diracik penuh cinta. Kopi yang diracik dengan takaran pas membuatku rindu. Rindu akan petuah ayah yang melahirkan banyak inspirasi di batok kepalaku. Itulah ayahku Ia begitu pandai dalam hal memberi petuah kepada kami anaknya. Aku sendiri sangat terpukau dengan semua kata-kata bijaknya. Juga rindu akan canda dan tingkah lucu dari kedua adiku tercinta Tino dan Rila. Aku sangat merindukan mereka semua.
****
Malam ini belum terlalu larut. Senja baru saja pergi meninggalkan rona akan keindahan yang masih membekas di wajah-wajah penikmatnya. Lampu-lampu jalan juga baru saja dinyalakan. Tetangga kosku masih asyik mendengar irama lagu dangdut Melayu kesukaannya. Di jalan masih ramai orang lalu-lalang pulang dari tempat kerjanya kepada rangkulan hangat keluarga tercinta. Setelah seharian berpisah dari keluarga, pergi hanya untuk mengais rezeki. Tiada hari tanpa kerja merupakan prinsip orang-orang di Kota ini. Prinsip ini telah menyatu menjadi satu dengan jiwa mereka. Yah… karena memang manusia dari kodratnya demikian, maka kita kenal dengan namanya Homo Faber.
Mereka mengakui bahwa memang hidup ini keras kalau tidak kerja maka tidak makan. Dan aku sendiri mengakuinya. Aku bisa melihat dari kebiasaan orang tuaku di kampung. Dan itulah sepenggal kalimat yang selalu aku dengar dari mereka. Aku yakin mereka berani memberi petuah demikian karena berangkat dari pengalaman hidupnya. Hidup yang penuh liku dan tantangan.
Sementara itu di dalam kamar kos nomor 3 di jalan Anggrek antara aku kopi dan rokok masih menyatu dalam sensual kenikmatan yang tiada duanya. Aroma kopi hitam khas kampungku yang dikirim ibuku beberapa minggu lalu dengan perpaduan rokok sempurna memberiku sejuta ide.
Di setiap tegukan ketika aku menyeruputi kopi hitam dan menyembul asap rokok seolah segala ide itu datang dan merekah di kepalaku. Ini sudah menjadi kebiasaanku kala hendak merangkai sajak, menulis puisi juga menulis cerpen. Bagiku kopi hitam dan rokok sempurna adalah kawan terbaik untuk menemaniku berimajinasi. Dan malam ini, aku sendiri masih sibuk untuk menyelesaikan puisiku. Puisi bagiku telah menjadi wadah paling tenteram untuk aku mencurahkan segala rasa. Suka maupun duka hidupku. Aku sendiri begitu menikmati dengan kebiasaanku itu.
Setiap larik-larik puisi yang lahir dari perasaan paling dalam memberiku kepuasan tersendiri. Ketika aku sedang terhanyut dalam imajinasi liar merangkai kata, tiba-tiba handphone aku berdering. Membuat aku terperanjat dari ruang imajinasi yakni sebuah ruang khusus di kosku yang akan kamu temukan satu kursi, satu meja dan beberapa buku bacaan. Aku sendiri yang membaptis itu menjadi ruang imajinasi. Setelah mendengar nada dering telepon lagu Ambon dari Doddy yang sengaja aku pasang. Aku pun meraih handphone tersebut.
“Halo selamat malam, sapaku singkat. Iya halo selamat malam juga, apakah benar ini dengan pak Robin? suara lembut nan ayu dibalik handphone yang menyahut itu hampir membuatku terperangah. Suara yang begitu asing bagiku tetapi aku candu dibuatnya. Iya benar, ini dengan saya sendiri. Memangnya ini dengan siapa dan ada apa? Jawabku singkat dan balik bertanya. Ini dengan ibu Cika sekretaris di perusahaan Rajja DC. Selamat yah… pak Robin terpilih sebagai satpam paling disiplin dan teladan di perusahaan kita, sehingga pak Robin berhak mendapat bonus yang besar dari perusahaan. Proficiat pak, ibu Cika mengakhiri pembicaraannya.”
Aku pun terdiam tanpa sadar bulir-bulir jernih di pelupuk mataku jatuh berderai membasahi pipi. Aku menangis terharu atas penghargaan yang aku peroleh.
“Syukur kepada Tuhan, terima kasih ibu,” jawabku dengan nada sedikit parau.
Aku sangat bersyukur mendapat bonus yang begitu besar. Dengan uang yang ada aku bisa gunakan untuk membiayai kuliahku juga memenuhi segala kebutuhan selama hidup di kota Metropolitan ini. Dan bisa menyisihkan yang lain di tabunganku. Terima kasih Tuhan, gumamku dalam hati.
****
Dulu ketika aku dipercayakan kedua orang tuaku untuk kuliah di Jakarta. Sebenarnya aku tidak begitu setuju dengan usulan mereka. Karena mengingat biaya kuliah juga biaya hidup yang terlampau besar bagi keluarga seperti kami. Tentunya keluarga kami dengan kondisi ekonomi yang biasa-biasa saja sangat tidak layak untuk memperoleh kesempatan itu. Aku cemas orang tuaku akan kewalahan dalam membiayaiku kuliah. Namun dorongan mereka untukku tetap lanjut kuliah dan meraih mimpi besarku lebih kuat. Aku pun hanya menurutinya. Dan merasa gembira karena aku bisa mewujudkan impian besarku.
Selama kuliah di Jakarta aku sudah berkomitmen untuk tidak selalu menjadi benalu bagi kedua orang tuaku di kampung. Mungkin kuliah sambil kerja merupakan pilihan yang tepat untuk bisa membantu ekonomi keluarga. Karena itu sejak memasuki semester tiga aku mencari kerja sampingan. Dan syukurlah aku diterima sebagai Satpam di perusahaan Rajja DC. Dengan bermodalkan badan kekar dan postur tubuh yang tinggi. Gajinya juga lumayan untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
Dengan gaji yang ada tiap bulannya setidaknya dapat memenuhi segala kebutuhanku. Aku juga dapat membiayai kuliahku separuh dan selebihnya uang orang tuaku yang mereka kirim. Dan syukurlah aku pandai dalam membagi waktuku dengan baik.
****
Malam ini aku sangat berterima kasih kepada Tuhan atas rahmat rezeki yang aku peroleh. Aku yakin Tuhan telah mendengar doa-doaku yang selalu aku rapalkan kala sunyi senyap sebelum menerawang mimpi indah. Aku yakin mendapatkan bonus yang besar dari perusahaan Rajja DC itu berkat karya Tuhan yang luar biasa dalam hidupku. Ia mendengar doaku.
Untuk itu segala kebutuhanku setiap hari juga biaya kuliahku di dua semester terakhir aku tidak lagi merepotkan kedua orang tuaku. Aku menggunakan uangku sendiri. Uang hasil jerih payahku sendiri. Hal ini membuat aku semakin rajin bekerja juga belajar dan fokus menyelesaikan skripsi di waktu senggang.
****
Tidak terasa waktu seolah berjalan begitu cepat. Mungkin karena aku terlalu sibuk seharian. Sehingga aku lupa memperhatikan waktu yang berjalan begitu cepat tersebut. Sekarang aku wisuda dan memperoleh IPK Cum laude untuk parodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Ini sungguh merupakan prestasi luar biasa bagiku. Aku akhirnya memperoleh ijazah sebagai bukti perjuanganku selama ini. Aku telah membayangkan wajah girang dan tangisan haru kedua orang tuaku di kampung atas keberhasilanku.
Tepat seminggu setelah acara wisuda aku pulang kampung. Aku disambut oleh kedua orang tuaku juga adikku Tino dan Rila dengan pelukan hangat. Tangisan haru pecah di malam ini. Semua rindu kami terbayar tuntas. Kami sekarang dapat berkumpul bersama lagi. Malam ini kami bersama menikmati seduhan kopi hitam buatan ibuku yang diracik penuh cinta. Aku bercerita banyak hal mengenai hidupku di Jakarta sampai larut malam.
Kedua orang tuaku begitu antusias untuk mendengar ceritaku terlebih kedua adiku Tino dan Rila yang tak pernah habis bahan untuk ditanyakan. Malam itu menjadi malam yang indah bagi keluarga kami. Kemudian aku membagikan oleh-oleh yang sempat aku beli di kota Metropolitan kepada mereka semua. Aku merasa sangat bahagia atas rencana Tuhan yang sungguh indah ini. Dia mendengar segala doa-doaku sehingga perjuanganku tidak sia-sia. Aku pun akhirnya diterima menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri yang ada di kampungku. Dan sekarang aku memasuki babak yang baru. Memiliki motivasi yang besar untuk membangun kampungku dengan melahirkan generasi-generasi yang cerdas.
Ruang Imajinasi, 15 Juli 2020
*Identitas Penulis.
Nama Latrino Lele. Asal Bokogo, Wolowea Timur. Sekarang kuliah di STFK Ledalero dan menetap di Biara Scalabrinian, Maumere. Penyuka kopi khas kampungku.