Borong, Vox NTT- Kasus kematian akibat bunuh diri di Manggarai dan Manggarai Timur (Matim) marak terjadi akhir-akhir ini.
Yayasan Mariamoe Peduli (YMP), misalnya, mencatat setidaknya ada 26 kasus pada tahun 2019. Sedangkan, hingga pertengahan tahun 2020 ini sudah ada 9 kasus kematian akibat bunuh diri.
Praktisi psikolog pada YMP, Albina Redempta Umen, mengatakan ada banyak faktor penyumbang untuk kematian tidak wajar ini.
Faktor pemberitaan media massa, kata dia, berada di posisi pertama. Masih ada media massa yang menarasikan secara rinci tentang kronologis peristiwa bunuh diri.
“Misalnya menulis bagaimana ia melakukan bunuh diri. Jadi dalam menulis hendaknya memperhatikan norma-norma. Jangan menulis seperti memberikan tutorial bagi pembaca untuk melakukan bunuh diri,” pinta Albina saat diwawancarai VoxNtt.com, Minggu (02/08/2020).
Menurut dia, sinyal rincian peristiwa kasus bunuh diri dalam pemberitaan media massa bisa menjadi referensi bagi orang lain. Misalnya, media massa menarasikan lebih detail cara dan benda yang dipakai dalam melancarkan aksi bunuh diri.
“Jadi semacam tutorial yang terekam di memori pembaca,” imbuhnya.
Bahkan, Albina meminta agar kasus bunuh diri tidak perlu diberitakan media massa.
“Sebenarnya tulis berita tentang bunuh diri tidak perlu, sudah ada beberapa wartawan, sudah sepakat dengan kami dalam suatu rapat, karena menulis berita tentang bunuh diri sebenarnya tidak ada yang istimewa,” pungkas Albina.
Baca Juga: Siswa SMAN 1 Poco Ranaka Tewas, Diduga Gantung Diri
Terkecuali, lanjut dia, berita tersebut bersifat edukasi. Artinya, berita bisa memberikan pemahaman kepada orang lain untuk tidak melakukan hal yang tidak wajar tersebut.
Faktor lain di balik insiden bunuh diri, menurut Albina ialah pola asuh orangtua yang salah. Ada upaya pembiaran dan manja terhadap anak.
Orangtua tidak memberikan edukasi yang baik kepada anak-anak. Lalu, anak tidak dibiasakan untuk memberikan rasa tanggung jawab dan mandiri.
“Jadi, ketika orang mengahadapi suatu masalah, karena tidak pernah diajarkan bertanggung jawab, ketika mengahadapi masalah yang kecil, mereka menganggap sangat besar, padahal kecil. Sudah, karena tidak terbiasa lebih baik mati saja,” jelas Albina.
Menurut dia, orang bunuh diri hingga meninggal sebenarnya bukan keinginan. Tetapi korban hanya ingin keluar dari masalah. Akibatnya, pada fase tertentu bisa saja mengambil keputusan untuk mengakhiri masalah yang dihadapinya dengan cara bunuh diri.
Selain itu, kata Albina, komunikasi yang tidak efektif atau buruk antara orangtua dengan anak juga turut menyumbangkan orang bunuh diri. Dalam hal ini orangtua tidak bisa menjadi teman yang baik bagi anaknya.
Ketika anak menghadapi suatu masalah, maka ia cenderung terpendam. Anak mungkin saja merasa takut jika masalahnya diberitahukan, orangtua malah naik pitam atau tindakan lainnya.
“Jadi anak hanya bisa memendam dan menganalisa sendiri masalah yang di hadapinya,” kata Albina.
Faktor lain orang melakukan aksi bunuh diri, tambah Albina, ialah ada konsep negatif dari anak itu sendiri.
Anak tidak percaya diri dengan pembawaan dirinya sendiri.
“Seperti misalnya laki-laki yang mirip seperti perempuan, berbeda dengan teman yang lain, akhirnya teman sebayanya membuli dia,” jelas Albina mencontohkan.
Terkadang lingkungan sekolah, masyarakat, dan teman sebayanya menjadi faktor pendukung seorang anak bisa melakukan aksi bunuh diri. Apalagi jika dia memendam beberapa konsep cemoohan dari warga sekitar atau teman sebayanya, maka bisa saja anak itu memutuskan untuk melakukan aksi bunuh diri.
“Seperti beberapa kata-kata yang ia dengar, contoh, kata bodoh dari guru, banci misalnya dari teman dan lain-lain dari lingkungan,” jelas Albina.
Konsep negatif lain bisa saja muncul dipicu oleh karena menemukan teman yang tidak sportif dan tidak saling mendukung dalam menghadapi masalah.
Teman tidak lagi menjadi tempat yang tepat untuk menuangkan masalah. Ketika berbagi cerita tentang masalah malah dianggap sebagai lelucon, bahkan diolok-olok.
Albina menambahkan, faktor penyumbang lain yakni daerah terpapar bunuh diri.
Dilihat dari geografis, seperti dipengaruhi oleh kesamaan budaya, tempat tinggal dan nasib yang sama.
“Merasa seperti dia bisa, saya pun bisa, ini ada pengaruh psikoligis di sana,” terang Albina.
Mengapa Korban Kerap Anak Muda?
Belakangan ini, dari data yang diperoleh, korban kasus bunuh diri kerap atau paling dominan menyasar ke anak-anak muda atau remaja.
Albina pun menyodorkan alasannya. Menurut dia, hal itu terjadi karena anak muda masih labil. Dia sedang berada pada masa transisi antara anak-anak dan dewasa.
Pada masa ini, orang sedang dalam upaya menemukan jati dirinya.
“Masa di mana mereka mau tahu membuktikan dirinya, jadi ketika ada hal-hal yang ada dalam pikiran mereka itu, tidak terpenuhi, di sini biasa terjadi kegagalan psikologis anak,” jelas Albina.
Solusi
Selain menjabarkan faktor orang melakukan bunuh diri, Albina juga menawarkan solusi di balik maraknya kasus bunuh diri di Manggarai dan Manggarai Timur.
Ia pun meminta para awak media massa agar dalam memberitakan kasus bunuh diri hendaknya memperhatikan norma-norma. Awak media massa jangan memberitakan secara rinci di balik peristiwa bunuh diri.
Albina juga berharap agar orangtua lebih peka terhadap masalah yang dihadapi anak-anaknya. Ketika anak sedang bermasalah, diharapkan orangtua tidak langsung menjastifikasi bahwa anak yang salah.
“Mestinya orangtua lihat dulu kenapa mesti terjadi serperti itu,” pinta Albina.
Kemudian solusi lain yaitu lingkungan sekolah. Sekolah dalam hal ini, mulai dari guru dan anak sejawat harus diedukasi dengan menyiapkan ruang untuk berkomunikasi tentang masalah yang dihadapi.
Albina meminta agar semua guru harus menjadi konselor dan teman untuk siswa. Guru harus punya pengatuhan konseling yang baik.
“Jadi, ketika ada anak yang bermasalah, guru harus mendaji teman yang baik, teman curhat, sehingga anak bisa keluar dari masalahnya,” imbuh Albina.
Kemudian, antara teman dan teman diharapkan harus ada ruang untuk berkomunikasi tentang masalah yang dihadapi.
“Jadi, anak diberikan pengetahuan edukasi terhadap anak tertentu untuk mengatisipasi hal-hal yang sesintif seperti ini,” katanya.
KR: L. Jehatu
Editor: Ardy Abba