Betun, Vox NTT-Pergolakan akibat jajak pendapat di Timor-Timur menyisahkan banyak kisah pilu.
Hanya karena beda pilihan politik dan ideologi saat itu, satu kesatuan suku dipisahkan secara politik. Tak hanya itu, tragedi itu juga banyak menelan korban jiwa dan harta benda.
Tahun 1999 Bulan Oktober
Masih jelas dalam ingatan saya saat itu. Tempat tinggal kami memang terletak tepat di daerah batas Provinsi (Timor-Timur) dengan NTT, Indonesia saat itu.
Bapak saya seorang guru SLTP di sebuah desa terpencil di kabupaten Timor Tengah Utara. Desa Manamas namanya. Di desa ini, ada sebuah SLTP milik yayasan katolik bernama SMPK St. Gregorius Agung. Di sekolah inilah, saya dididik dan berhasil tamat di tahun 2007 silam.
Desa Manamas adalah sebuah desa yang diapit bukit Faunoem dan Humusu. Desa itu juga adalah desa yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste distrik Oecussi saat ini.
Masyarakat desa itu didominasi oleh suku Bobo yang berinduk di daerah Oecussi secara struktur adat istiadat masyarakat suku dawan (meto).
Secara hukum adat, desa Manamas ini ada kaitan erat dengan masyarakat Oecussi khususnya wilayah Kutet, Naimeko dan Bobkase.
Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya kesamaan bahasa (dawan), budaya, motif kain adat dan kebiasaan adat lainnya.
Jadi secara budaya, orang luar (Jawa) tidak bisa bedakan mana orang Manamas (Indonesia) dan mana orang Oecussi (Timor Leste).
Pecah perang saudara di tanah bekas jajahan Portugis itu membuat ribuan warga Timor – Timur terpaksa harus mengungsi keluar ke Provinsi NTT.
Daerah batas menjadi camp pengungsi yang padat pada saat itu. Tak terkecuali di desa Manamas.
Pada bulan September sampai Oktober, jika malam tiba, kami sering mendengar dentuman senjata yang kami sendiri tidak tahu dari mana dan ke mana arahnya.
Sungguh ketakutan yang luar biasa saat itu. Tapi di lain sisi, sebagai anak kecil yang masih doyan bermain bersama sebaya, kami sedikitnya terhibur dengan banyaknya anak-anak pengungsi yang ikut bermain.
Tahun 2000
Timor Leste berhasil memproklamirkan Kemerdekaannya. Warga Timor Leste yang saat pergolakan sempat ikut mengungsi ke Indonesia, sebagian besar pulang ke tanah airnya.
Mulai saat itu, Indonesia dan Timor Leste secara resmi pisah ranjang. Tapal batas Indonesia dijaga oleh aparat TNI, demikian pun sebaliknya.
Pertengahan Tahun 2000
Pasukan TNI yang terjun pertama di daratan Timor Barat adalah adalah Yonif 310/ Kujang Siliwangi Jawa Barat. Saat itulah pertama kali saya melihat langsung tentara berseragam dan bersenjata lengkap.
Sebelumnya, sering saya lihat di TV tetangga, saat para TNI mengawal demo akbar reformasi 1998.
Jujur, sebuah ketakutan yang luar biasa saat itu. Maklum media elektronik belum secanggih hari ini. Tentara kita hanya bisa lihat di Televisi. Itupun jarang, karena di desa Manamas hanya ada satu keluarga yang memiliki TV.
Dalam pikiran saya saat itu, mungkinkah akan ada perang lagi?
Hanya saat itu di sekolah saya, SDK Yaperna Manamas, guru-guru mengumumkan bahwa TNI datang untuk menjaga kita, karena situasi batas yang masih genting saat itu.
”Jangan takut. Mereka ini adalah tentara Indonesia dan mereka datang untuk menjaga kita,” kata Kepala sekolah saya saat itu memberi pemgumuman. Namanya Alexander Kau, bapak dari teman kecil saya.
Mulai saat itu, rasa takut itu perlahan hilang dan berubah menjadi senang akan kehadiran TNI.
Menjadi Intel Cilik
Singkat cerita, karir menjadi intel cilik bermula ketika 5 anggota TNI datang ke rumah kami. Mereka datang hendak meminta anak anjing untuk dipelihara di pos jaga.
”Minta satu pak guru. Yang jantan ya. Buat piara di pos dan temani patroli batas,” pinta Danpos, yang belakangan diketahui namanya adalah Serka Komarudi.
Bapak akhirnya dengan senang hati memberi seekor anjing jantan dan mereka namai Komando. Mulai saat itu hampir tiap hari mereka ke rumah. Ya, kadang sekadar untuk bercerita bersama bapak yang isi ceritanya saya tidak paham.
Karena sering ke rumah akhirnya saya pun lambat laun menjadi akrab dengan mereka.
Saat itulah ada rasa jatuh cinta pada kesatuan ini. Mulai saat itu juga Pos TNI adalah rumah kedua saya.
Saya dilatih menjadi intel dan pengintai. Saat itu umur saya sekitar 10 tahun. Julukan untuk saya adalah TBO (Tenaga Bantu Operasi) cilik.
Tugas saya memantau pergerakan orang-orang desa yang dicurigai sebagai penampung warga Timor Leste.
Pasalnya, tiap hari minggu, warga Timor Leste datang ke Manamas untuk membeli BBM dan sembako. Saat itu Timor Leste sangat kesulitan untuk mendapatkan BBM dan sembako. Jalan keluarnya adalah menyebrang secara ilegal ke Indonesia, lalu pulang dengan membawa sembako dan BBM.
Mengapa Harus Saya?
Mayoritas pasukan TNI Yonif 310/Siliwangi adalah orang Jawa yang tidak bisa bedakan mana orang Indonesia dan mana orang Timor Leste.
Seperti yang saya uraikan di atas, bahwa ada kesamaan bahasa, kain motif adat dan tekstur fisik. Hanya orang Manamas saja yang bisa bedakan itu.
Modus mereka adalah jika besok hari pasar di Manamas, maka sore ini masyarakat Timor Leste sudah datang dan menginap di keluarganya yang ada di Manamas. TNI Yonif 310 saat itu susah membedakan.
Tugas saya sebagai intel salah satunya untuk membedakan mereka. Misalnya ada target yang diketahui menampung orang Timor Leste, anggota Pos jaga memerintahkan saya mendekat ke rumah tersebut.
Di sana saya bermain bersama anak-anak sekitar, sambil memantau pergerakan mereka. Saya tahu betul, mana yang orang Indonesia dan mana yang bukan orang Indonesia.
Jika hari sudah senja, saya langsung berlari ke Pos yang terletak di batas kampung. Di sana saya melapor, lalu pulang ke rumah, mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Malam harinya, para anggota TNI melakukan penyergapan.
Setiap pergantian pasukan, selalu Danposnya memberikan arahan untuk Danpos baru bahwa di Manamas ada intel cilik yang hanya kita anggota satuan yang tahu. Dan itu adalah saya sendiri.
Yonif 310 Siliwangi selama 8 bulan bertugas di Manamas, lalu diganti Yon Kostrad 413 Kodam IV Jawa Tengah.
Setelah itu ada Yonif 641 Tanjung Pura Kaltim lalu diganti Yonif 407 Padma Kusuma.
Nah saat paling berkesan adalah bersama Yonif 407 saat itu. Banyak anggotanya yang masih aktif berkomunikasi dengan saya hingga saat ini. Setelah itu ada Yonif 611,ada Yon Armed 11 Yon Armed 12 dan Yon Armed 13.
Penulis: Frido Umrisu Raebesi
Editor: Irvan K