Betun, Vox NTT- Pemerintah Kabupaten Malaka memberikan 12 mobil mewah bermerek Toyota Rush kepada 12 lembaga agama.
Mobil tersebut disumbangkan kepada 10 Gereja Paroki Katolik, 1 Gereja GMIT dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Malaka.
Ini merupakan bantuan hibah mobil operasional dari Pemerintah Kabupaten Malaka. Anggarannya diperkirakan mencapai 4,2 Miliar rupiah.
Acara penyerahan sejumlah mobil tersebut berlangsung di Aula Kantor Bupati Malaka di Betun, Senin (03/08/2020).
Baca: Pemkab Malaka Beri Mobil Mewah untuk 12 Lembaga Agama
Mobil hibah tersebut diserahkan langsung Bupati Malaka, Stefanus Bria Seran dan diterima oleh masing – masing lembaga agama.
Terkait kebijakan ini, Dosen Agama Katolik Universitas Bhayangkara Jakarta Benyamin Mali pun angkat bicara.
Seharusnya, kata dia, tanpa perlu diingatkan Pemkab Malaka dalam hal ini Bupati Stefanus Bria Seran (SBS) memanfaatkan uang Rp 4,2 Miliar itu untuk kegiatan-kegiatan yang dapat mengangkat taraf ekonomi rakyat Malaka yang diklaim masih miskin.
Atau, lanjut warga Malaka yang berdomisi di Jakarta itu, dialokasikan untuk proyek-proyek yang membebaskan rakyat akar rumput.
Misalnya, pembangunan untuk menjawabi kelangkaan sumber air bersih dan membangun tanggul penahan banjir.
Bisa juga mengadakan sarana-sarana tangkap ikan bagi para nelayan. Hal itu agar tidak dihanyutkan gelombang lalu mati konyol seperti yang baru saja terjadi di Abudenok. Kemudian, dialokasikan ke program lain yang tepat sasar bagi kepentingan rakyat banyak.
“Bukan mengadakan dan menghibahkan mobil untuk pemimpin-pemimpin agama,” ujar Benyamin saat diwawancarai VoxNtt.com, Selasa (04/08/2020).
Ia juga mengungkapkan pernyataan yang kerap dilontarkan Bupati SBS. “Saya belum mau membangun gedung-gedung perkantoran, termasuk rumah jabatan Bupati. Bagaimana mungkin saya tinggal di rumah mewah sementara rakyat saya sendiri masih miskin?” ujar Benyamin meniru pernyataan Bupati SBS.
Menurut Benyamin, pernyataan Bupati SBS itu mengandung makna ‘politik pembangunan Malaka’. Artinya keberpihakan terhadap rakyat miskin (option for the poor) menjadi pilihan politis SBS. Politik dasar Bupati SBS adalah politik pemihakan kepada rakyat miskin.
“Di sini saya melihat inkonsistensi sikap Bupati SBS dengan politik pembangunannya sendiri yang pro rakyat miskin,” kritik Benyamin.
Siapa Sesungguhnya Rakyat Itu?
Dalam kesempatan tersebut, Benyamin menjelaskan terkait konsep rakyat dalam gaya kepemimpinan.
Menurut dia, politik pemihakan terhadap rakyat miskin (preferential option for the poor) mengharuskan semua pihak untuk memahami apa sesungguhnya makna kata ‘rakyat’ itu.
Dikatakan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan ‘rakyat’ sebagai (a) penduduk suatu negara; (b) orang kebanyakan, orang biasa; (c) anak buah, bawahan.
Dalam arti penduduk, rakyat berarti semua orang yang berada, berdiam, bekerja mencari nafkah di suatu wilayah negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu.
Namun ‘rakyat’ dalam arti ‘orang kebanyakan’, tidak bisa dikenakan pada orang-orang kaya raya atau para petinggi negara yang tidak mengalami kesulitan apa pun dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya.
“Memang benar, bahwa mereka (lembaga agama) juga adalah ‘rakyat’ dalam arti penduduk. Namun dari sudut pandang ekonomi, ekonomi para orang kaya dan pejabat negara itu jelas jauh berbeda dari ekonomi rakyat, ekonomi orang kebanyakan (the common people),” pungkas Benyamin.
Tidak hanya dari KBBI rujukan Benyamin untuk mendefinisikan kata ‘rakyat’. Menurut Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, jelas dia, makna kata “rakyat” ini dalam konteks debat tentang kemungkinan amandemen terhadap Pasal 33 UUD NKRI 1945 tentang perekonomian rakyat.
Ditambah lagi menurut Sri-Edi, ‘rakyat’ adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik. Rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah the common people. Rakyat adalah orang banyak.
Pengertian rakyat berkaitan dengan kepentingan publik, yang berbeda dengan kepentingan orang-seorang.
Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut public interest atau public wants, yang berbeda dengan private interest dan private wants.
Benyamin menambahkan, sudah lama pula orang mempertentangkan antara individual privacy dan public needs, yang berdimensi domain publik.
Ini analog dengan pengertian bahwa social preference berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari individual preferences.
Kata dia, istilah ‘rakyat’ memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat ‘publik’ itu.
”Mereka yang tidak mampu mengerti paham kebersamaan (mutuality) dan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah ‘rakyat’ itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium vox populi vox dei, di mana rakyat lebih dekat dengan arti masyarakat atau umat, bukan dalam arti penduduk yang 265-an juta. Rakyat atau the people adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular),” jelas Benyamin.
Ia juga mempertanyakan, apakah ke-12 lembaga agama tersebut benar-benar mengalami kemiskinan material, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk membeli mobil untuk memperlancar pelaksanaan tugas pelayanannya.
“Saya yakin seyakin-yakinnya tidak, khususnya untuk 10 paroki penerima hibah itu,” tandasnya.
Selanjutnya, ia kembali mempertanyakan, apakah ke-12 lembaga agama itu adalah rakyat yang dalam garis pemikiran politik pembangunan Bupati SBS harus mendapat perhatian Pemda Malaka, dibela kelangsungan eksistensinya agar tidak mati direnggut kemiskinan?
Menurut Benyamin, tentu jawabannya tidak! Lembaga-lembaga itu memang melayani umat yang sekaligus adalah juga rakyat Malaka. Namun mereka bukan rakyat itu an sich yang menjadi kelompok sasar politik pembangunan seorang SBS.
Ada Motif Tersirat
Benyamin menduga pemberian mobil mewah kepada 12 lembaga agama di Malaka ada motif tersirat.
“Ya, motifnya sudah jelas, yaitu membantu para pemimpin dari lembaga-lembaga agama itu untuk melaksanakan tugas pelayanannya kepada umat dengan lebih lancar, lebih bemartabat, lebih sukses. Ini motif yang tersurat,” tandas Benyamin.
Meski begitu, ia menyatakan motif tersurat ini dikalahkan oleh motif tersirat.
“Di bawah kolong langit dunia modern dewasa ini, tidak ada makan siang gratis (no free lunch!). Selalu ada udang di balik batu. Pepatah Latin mengatakan do ut des (Saya memberi agar saya diberi!),” sindir Benyamin.
Benyamin pun memberikan contoh lain sesuai kultur Adat-istiadat di Kabupaten Malaka.
Dalam masyarakat Malaka, kata dia, ‘Tanasak’ yang berisi ‘bawaan pihak laki-laki’ ketika meminang seorang gadis, ketika dikembalikan kepada pihak laki-laki tidak dibiarkan kosong, tetapi selalu terisi dengan ‘hadiah-hadiah’ pemberian pihak perempuan.
Perasaan ‘tidak enak hati’ selalu merupakan pendorong yang sangat kuat untuk ‘balas-membalas’.
“Demikian juga dalam hal politik,” ungkap Benyamin.
Benyamin Mali juga mempertanyakan soal waktu dan momentum pemberian mobil tersebut.
“Mengapa hibah ini baru diserahkan sekarang ketika sedang gencar-gencarnya pasangan Bupati dan Wakil Bupati penantang petahana menyosialisasikan diri kepada keluarga di hampir semua pelosok Malaka? Kenapa ditunda-tunda hingga sekarang, padahal anggaran untuk pembelian mobil ini berasal dari APBD Malaka, tinggal dikeluarkan, bukan masih harus ditunggu dari dunia antaberantah?” ujarnya.
Menurut dia, hal itu adalah gaya politik klasik yang masih relevan. Namun dia yakin, masyarakat Malaka sudah cerdas dalam memilih calon pemimpinnya.
Dia juga mengkritisi para pemuka agama yang menurutnya sudah surut kewibawaannya karena pengaruh dunia modern.
Kata dia, rakyat semakin cerdas untuk menilai makna dan motif di balik hibah mobil itu.
Dalam dunia politik dan ekonomi, tokoh agama tidak lagi menjadi tokoh referensi utama dan satu-satunya. Apalagi dengan berbagai kasus yang menimpa para pemimpin agama akhir-akhir ini.
Rakyat atau umat semakin mandiri dalam berpikir dan bertindak. Apalagi dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup umat sehari-hari, bukan pemimpin agama yang akan memenuhinya, tetapi masing-masing pribadi harus berjuang sendiri.
Benyamin pun berharap agar masyarakat Malaka cerdas dalam memilih calon pemimpinnya nanti. Hal itu berdasarkan bisikan suara hati masing-masing, bukan karena bisikan pihak lain.
Pemkab Malaka Luar Biasa
Meski mengkritik kebijakan itu, namun dalam komentarnya masih memuji Pemkab Malaka.
Ia menilai niat baik Pemkab Malaka dalam memberi mobil mewah kepada lembaga agama luar biasa, mengingat untuk memperlancar pelayanan untuk umat beragama di kabupaten itu.
“Kita berpikir positif sajalah bahwa para petinggi Malaka, baik eksekutif maupun legislatif, mempunyai niat baik untuk membantu para pejabat agama di 12 lembaga agama itu agar dapat melayani umatnya dengan lebih sungguh, efisien dan efektif,” kata Benyamin.
Benyamin berkata, niat baik itu tentu saja tidak melabrak dan menyalahi semua aturan dan prosedur hukum. Hal itu agar hibah ini minimal terlepas dari apa pun persoalan hukum di kemudian hari.
“Bahwa di kemudian hari, hibah ini berpotensi menimbulkan masalah hukum, itu bukan urusan dan tanggung jawab kita sebagai masyarakat. Mau bicara banyak juga tak ada lagi dampaknya, bahkan tak lagi bermanfaat. Transaksi sudah terjadi. Mobil sudah diserah-terimakan,” ujarnya.
Penulis: Frido Umrisu Raebesi
Editor: Ardy Abba