Homo Viator
Kudengar ronta abad yang berdetak
Saat jejakku terperangkap ke persimpangan usia
Warkat yang kau kirim
Ke segala alamat telah kubaca di jelang berangkat
Padahal telah kupahat keputusan ini dengan palu
Di kalbu
“aku tak biarkan ziarahku ini terperangkap
Di jejaring rayumu”
Sebab lelah kutulis ziarah ini pada setiap halaman keputusan
Dengan nama yang sama pada nisan-nisan kematian
Tempat terakhir ziarah yang akan ku kunjungi
Sebab telah kulupakan siksamu sepanjang luka
Kini kurindukan kesetiaan pada secercah lilin
Yang menunggu dalam putih dan semacamnya
Jika dalam keyakinan pun masih kau pendam keraguan
Sering-seringlah membaca puisi yang kutulis tanpa curiga itu
Dari setiap perjalanan homo viator
Puella
Rahasia ini menyimpan kedutan tak tentu pada nadiku; terperangkap erat
Pada retina matanya yang biru. Duka tumbuh tujuh kali tujuh kali tepat pada setiap waktu
Yang terkelupas pada batang hari. Riwayat penciptaan dari rusuk laki-laki, seperti sebuah mitos
Turun temurun yang tak lagi dipercaya sebagai kebenaran. Dari setiap headline surat kabar
Tanah air selalu menyebut-nyebut namanya. Malaikat pun tahu, mereka tak dihargai sebagai
Ciptaan yang setara dengan laki-laki. Sebab membacanya saja tanah ikut retak.
Membiarkannya saja keringat penuh debu. Kaki masih lalu,mulut masih jambu.
Tubuh ini tak boleh kau berhalalkan sebab ruah telah dihembuskan pada hari pertama
Dan rusuk telah dibagikan untuk hari-hari berikut
Hargai mereka. Sebab selalu ada jumpa padamu, lebih nikmat dari anggur
Lebih merdu dari lagu. Jalan masih panjang; sebelum kau memakau pada mata birunya
Menghitung kenangan dari rahim yang melahirkanmu. Sebab kau perlu tahu: Tuhan masih
Menunggu kita yang tak pernah lebih seru dariNya.
Inne
Masih kekal benar kudengar suara ringkih manja
Kala pagi semakin sahid merendam rindu di sudut kamar
Juga tetap merdu suara yang memanjakan langit penuh harap
Sedang waktu tua tumbuh melintas dan musim telah mengetuk tanya
Di senja usia; aku masih mengadah
Tiba-tiba pasrah menikam mata di pelukan
Pusaran damai
Akankah kupertahankan juga amis rindu yang semakin tajam
Sedang cuaca menggodaku menyibak tingkap
Kenangan anggur manis dari asi yang selalu kukunjungi setiap waktu
Ketika di usia belia?
Arca-arca semakin lapuk saat kereta mengajakku mengunyah jarak
Dari balik lampin tempat pertama kali aku membaca dunia
Lewat nyanyian merdu: Nina bobo
Dan putih kasih di pangkuan manisnya inne
Senja di Pangkuan Ibu Kota
Setelah kepulangan menghitung sisa-sisa kenangan
Dengan penuh teka-teki masa depan dan halusinasi
Berkeliaran antara cinta dan cita
Setapak langkah menapak dialun-alun ibu kota
Semburat lembayung memerciki warna cuaca hidup yang baru
Seperti aneka cuaca yang membenam lalu hilang dibalik senja ibu kota
Semuanya telah ditelan bersama hembusan angin malam dan diporak-porandakan
Oleh mata angin kehidupan
Tadi mentari bersinar cerah; tapi kini menjelma dengan libidonya yang tinggi
Memancarkan sinarnya yang kian memanas dan bergeming pada merobeknya moralitas
Semua orang saling berkutat bating; dibanting depresi dan jeritan kelam terdengar di mana-mana
Ronai wajah indah berseri setelah ditikam duka paling keji di pangkuan ibu kota
Di Depan Makam
Hujan masih beku; belum juga api mampu dipadamkan kabut
Sedang ratapan masih membekas sedang langit masih jauh
Dan laut masih menunggu
Di jeda pergimu, matahari mengupas geliat lalu kau hilang menyelam ke liang lahat
Kebisuan tercipta diantara malam yang temaram
Dan kenangan yang mungkin akan kaugenapi pada barisan lain
Dan diceritakan seperti bidadari
Maka setangkai kamboja yang kau tinggalkan
Di kaki jendela kematianmu
Di sudut tenggelam matahari
Kami kenang sebagai setangkup harap
“Aku akan datang saat harum kamboja
Ranum di hidungku dan cahaya lilin terang di rumahku.”
Di situ telah kau ajarkan kami
Bahwa untuk merayakan sebuah pertemuan
Tak seharusnya kita berhadap-hadapan muka
*Sonny Kelen sekarang tinggal di Unit Gabriel Ledalero Maumere-NTT
[1] Homo Viator dalam bahasa Latin yang berarti manusia peziarah
[2] Sebutan untuk perempuan dalam Bahasa Latin
[3] Panggilan untuk ibu dalam bahasa Lamaholot; Flores Timur-NTT