Vox NTT- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengkaji Rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang hingga kini masih menjadi pro kontra khalayak.
Usai melakukan kajian, Komnas HAM kemudian merekomendasikan Presiden Joko Widodo dan DPR untuk menghentikan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Rekomendasi penghentian pembahasan tersebut sebagai upaya untuk memberikan penghormatan hingga pemenuhan HAM bagi masyarakat.
“Komnas HAM RI merekomendasikan agar Presiden RI dan DPR RI mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga dalam konferensi pers virtual sebagaimana dilansir Kompascom, Kamis (13/08/2020).
Berikut 10 kesimpulan dari kajian yang dilakukan Komnas HAM pada RUU Cipta Kerja.
1. Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Aturan ini masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
2. Terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior.
Di mana dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.
3. RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Sehingga berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
Hal itu tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.
4. Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya. Sehingga, apabila RUU Cipta Kerja disahkan, seakan-akan ada Undang-undang superior.
Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum.
5. Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.
6. Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi.
Hal ini di antaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan Amdal bagi kegiatan usaha, hingga berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu.
7. Relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi atau lembaga yang mengawasi kebijakan tata ruang dan wilayah, sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup.
8. Pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah melalui perubahan UU Nomor 2 Tahun 2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
9. Pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi).
Hal ini di antaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20 persen dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 tahun.
10. Politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif, karena lebih menjamin kepentingan sekelompok orang atau kelompok pelaku usaha atau korporasi. Sehingga mencederai hak atas persamaan di depan hukum. (VoN)