(Renungan Hari Minggu)
Oleh: Pastor Hiro Nitsae, Pr
Salah satu kritik bagi diri adalah berkaitan dengan mencintai diri sendiri. Seperti apakah dan atau sejauh apakah kita mencintai diri kita? Sedalam apakah kita mengenal diri kita?
Tiap kita tentu dalam pengambilan keputusan dengan risiko pada tindakan tidak bisa tidak lepas dari sebuah kepentingan. Tetapi bukan berarti bahwa kepentingan itu berada pada taraf mengabaikan kepedulian pada sesama.
Di sinilah kadang kita terjebak dengan kepentingan diri kita sendiri. Semisal: kita mencintai seseorang hanya untuk kepuasan diri kita. Atau muncul gengsi karena status sosial, merasa diri paling sok dan hebat karena beranggapan terlahir duluan ke dunia dan sederetan sikap egoistik yang terlahir dari mencintai untuk dan semata kepentingan diri. Akhirnya muncul juga tekanan pada mereka yang dianggap lemah dalam relasi sosial karena kita merasa bahwa kita tidak bisa tertandingi/ditandingi. Dalam bahasa kitab Keluaran dikatakan bahwa kadang yang menjadi korban tekanan dan ancaman adalah mereka yang disebut sebagai janda, orang asing dan anak-anak. Secara sosial mereka dianggap sebagai pribadi yang gampang diabaikan. Inilah juga yang untuk saat-saat sekarang kenyataan di lapangan berbeda dengan apa yang semata-mata tertulis di atas kertas. Keberpihakan kita seolah pada yang mempunyai segala sesuatu tetapi akhirnya kita mengabaikan kemanusiaan.
Konsep cinta terkadang untuk segelintir orang hanya menjadi judul besar bagi target mereka tetapi menjadi sebuah jebakan tersembunyi untuk keegoisan sepihak dari pihak tertentu. Cinta sejatinya tidak sebatas menerima. Cinta itu seyogyanya adalah memberi. Cinta itu adalah pengorbanan. Cinta itu juga adalah tentang totalitas. Mencintai dengan segenap hati, segenap jiwa dan akal budi. Cinta tidak bicara soal pemuasan kebutuhan materil semata.
Kenyataan saat ini, kita baru akan mengatakan seseorang sungguh mencintai kita kalau dia mampu memberi sesuatu pada kita. Jika tidak maka tidaklah sebagai cinta. Konsep cinta bagi kita akhirnya direduksi pada hal-hal yang materia semata. Jika demikian maka bertanyalah kembali pada dirimu: seperti apakah takaran cinta kita pada sesama?
Pastor Hiro bertugas di Paroki Kristus Raja Keuskupan Agung Kupang