(Refleksi Hari Guru)
Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd,
Kepala Sekolah SMPK Frateran Ndao
“Orang hebat bisa menghasilkan beberapa karya bermutu, tetapi guru yang bermutu dapat menghasilkan orang-orang hebat”
“Seorang guru itu adalah orang yang berani mengajar dengan tidak berhenti belajar”
Setiap tanggal 25 November, diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hal ini ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.
Selain itu, tanggal 25 November 1945 juga ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sedangkan hari guru sedunia diperingati setiap tanggal 5 Oktober sejak tahun 1994, resmi didirikan oleh UNESCO.
Tujuan diperingatinya hari guru ini adalah untuk memberikan dukungan kepada para guru di seluruh dunia dan meyakinkan mereka bahwa keberlangsungan generasi pada masa depan ditentukan oleh guru. Inilah tugas mulia para guru, yakni sebagai pembangun cendikia manusia muda.
Oleh karena itu, tugas guru menjadi sangat penting, sebagai garda terdepan, dalam memanusiakan manusia muda, generasi penerus bangsa.
Lebih dari itu, jika direnungkan secara mendalam, sesungguhnya para guru merupakan “co-creator” Allah, dalam menunjukkan “cahaya terang” atau pengetahuan dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan.
Inilah makna kata GuRu yang dalam bahasa Sansekerta secara etimologis berasal dari dua suku kata yaitu Gu artinya darkness (kegelapan), dan Ru, yang artinya Light (cahaya, terang).
Sangat menarik ternyata kata GuRu tersusun dari dua suku kata yang bermakna berlawanan yaitu gelap versus cahaya/terang/bersinar, kemuraman versus keceriaan/kemahardikaan.
Oleh karena itu, manusia secara alamiah pada mulanya adalah “Gu”, yaitu tidak berpengetahuan atau gelap.
Dalam posisi ini, sering disebut masih belum meniliki arah atau orientasi. Setelah mengalami proses pendidikan ia menjadi “Ru” atau bercahaya, terang, bersinar, karena di sinari oleh pengetahuan yang dimilikinya, yang ia terima dari para pendidik atau GuRu.
Menurut Sudira (2012:2) proses transformasi dari “Gu” ke “Ru” atau gelap (awidya) menuju terang (widya) berjalan secara terus menerus tanpa henti sebagai proses long life education. Widya dalam hal ini dapat juga berarti pengetahuan.
Dan salah satu tugas GuRu sebagai profesi adalah mendidik, selain mengajar dan melatih. Maka, dalam arti inilah tugas GuRu merupakan sebuah panggilan dari Allah, guna membebaskan manusia muda dari kebodohan, kemuraman (gelap, awidya) menjadi pandai, pengetahuan, keceriaan (terang, widya). melalui proses pendidikan dan pengajaran.
Oleh karena itu, para GuRu harus bisa memaknai nama yang melekat pada dirinya. Artinya GuRu sendiri harus lebih dahulu memiliki terang, pengetahuan (widya) atau memiliki kompetensi, skills serta profesional, sehingga bisa memancarkan terang (widya) kepada peserta didik melalui proses mendidik dan mengajar.
Dengan demikian, kiranya dapat melahirkan gernerasi muda yang berkualitas, baik intelektual, spiritual, sosial, emosional serta berbudi pekerti luhur. Itulah alasannya juga, mengapa profesi guru disebut sebagai profesi yang mulia, sebab Allah yang meciptakan manusia “GuRu” sebagai makhluk yang mulia.
Oleh karena itu, maknai panggilan menjadi GuRu, sebagai panggilan dari Allah untuk dan atas nama Allah guna memanusiakan manusia muda ciptaan-Nya, agar lebih manusiawi, lebih beriman, beradab, berbudaya dan berkualitas.
Jika demikian, maka GuRu bisa disebut sebagai seorang imam, nabi dan raja. Sebagai imam, seorang GuRu dengan teladan dan kebiasaannya yang baik, positif, dapat menunjukan sikap beriman yang baik, yang diwujudkan lewat perbuatan mendidik dan mengajar yang baik.
Dan benar. Sebagai nabi, seorang GuRu haruslah berilmu, berpengetahuan serta berwawasan luas, sehingga dapat mendidik dan mengajar peserta didik dengan baik dan benar.
Dan sebagai raja, seorang GuRu, harus dapat memimpin dan menjadi panutan bagi peseta didik, orang tua, masyarakat melalui keteladanan hidup, melalui sikap, melalui perilaku, melalui tutur kata yang sopan dan tindakan yang santun.
Inilah tentunya yang dikehendaki oleh Allah dari ciptaan-Nya, baik sebagai GuRu maupun sebagai peserta didik. Baik GuRu maupun peserta didik, dalam seluruh proses kegiatan, mendidik dan mengajar muaranya adalah cita-cita hidup yang satu dan sama dari semua manusia yakni mulia bersama Allah di surga atau keselamatan hidup di akhirat.
Maka baik GuRu, maupun peserta didik, harus bersama-sama mengusahakan yang terbaik, sebagai GuRu mendidik dan mengajar dan sebagai peserta didik belajar.
Maka dari itu, dengan memperingati hari GuRu, baik GuRu sendiri, maupun mereka yang pernah merasakan didikan dan ajaran sang GuRu, selalu terkenang akan makna dan jasa-jasanya, sehingga menjadikanmu seperti sekarang ini.
Dan dalam pendidikan dan pengajaran oleh sang GuRu, tidak jarang mereka yang pernah menjadi murid, pasti mengalami perasaan sakit, pahit getirnya menjadi murid, akibat “kesalahan-kesalahan”, kecil sang
GuRu sebagai manusia. Namun, jauh dilubuk hati sang GuRu, saya berpendapat tidak ada niat yang buruk dari sang GuRu untuk “memangsa” anak didiknya, tetapi tujuannya hanya satu, yakni menjadikan anak didiknya berhasil dalam pendidikan, tetapi sekali lagi mungkin cara sang GuRu dalam mendidik dan mengajar yang keliru.
No pain, no gain…jadikan pengalaman disakiti itu, sebagai onak dan duri dalam menapaki masa depan seorang murid. Mudah-mudahan, seperti dalam pepatah bahasa Indonesia “bersakit-sakit dahulu, bersenang–senang kemudian”…itulah perjuangan hidup…
Dan segenap GuRu, jadikan momentum peringatan hari GuRu, untuk koreksi dan introspeksi diri, sejauhmana sepak terjang para GuRu dalam menghayati makna GuRu sebagai profesi yang mulia.
Profesi yang mulia, jangan sampai dinodai oleh GuRu sendiri, hanya karena tidak mampu mengelola diri atau manajemen diri. Oleh karena itu, maknai hari GuRu sebagai kesempatan untuk berbenah diri, mengembalikan Roh GuRu yang sebenarnya yakni pribadi yang patut di Gugu dan ditiRu, dalam hal hal yang baik dan benar, serta terpuji.
Dan tentunya makna GuRu itu melekat, bahkan terinternalisasi dalam pribadi GuRu itu sendiri, yakni selain membawa “Gu” kepada “Ru”, bagi peserta didiknya, tetapi juga membawa pesan untuk diGugu dan ditiRu.
Kata Gugu bermakna bahwa seorang GuRu haruslah seorang yang patut untuk dipercayai, dihormati, dihargai karena sikap, perilaku, tutur kata dan tindakannya yang sangat terpuji, sesuai kode etik GuRu.
Hal ini tersurat juga dalam syair lagu “Hymne GuRu”. Lebih jauh, bahwa diGugu berarti seorang GuRu dalam menjalankan profesinya sebagai GuRu haruslah profesional, bukan amatir, dalam arti harus menguasai dan memiliki empat kompetensi yang dipersyaratkan, yakni kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
Jika GuRu menguasai kompetensi minimal ini, yakinlah bahwa GuRu bisa dipercayai oleh peserta didiknya, orangtua dan masyarakat. Jika GuRu bisa dipercayai, maka GuRu akan menjadi GuRu yang diidolakan, disukai, oleh peserta didik, bagaikan sebuah “Novel, Komik dan Buku Hidup” yang bisa dibaca, ditiRu, dan diteladani oleh peserta didik, orangtua dan masyarakat. Dan dalam seluruh ritme dan irama kehidupan seorang GuRu, baik di sekolah maupun dimasyarakat, haruslah berlandaskan pada kode etik GuRu.
Dieja lebih jauh, bahwa dengan memperingati hari GuRu mau menunjukkan penghargaan terhadap GuRu. Peringatan hari GuRu tidak hanya terjadi di indonesia, melainkan di belahan dunia lain, pada tanggal yang berbeda-beda bergantung pada negaranya. Di beberapa negara, hari GuRu merupakan hari libur sekolah.
Akhirnya, saya mengajak insan-insan GuRu, mari kita jadikan hari GuRu ini, sebagai peristiwa METANOIA atau pertobatan, dengan menanggalkan manusia lama dengan cara mendidik dan mengajar yang lama, yang kurang variasi dan membosankan peserta didik serta mari kita kenakan manusia GuRu yang baru, dengan cara mendidik dan mengajar yang baru dengan penuh kreasi, inovasi dan menggairahkan peserta didik.
Dan semoga dengan gagasan “merdeka belajar”, para GuRu harusnya semakin berkreatif, dan berinovasi dalam pembelajaran. Guna mewujudkan itu, maka program GuRu penggerak, menjadi nilai tambah.
Artinya semua GuRu harus menjadi inspirasi bagi rekan sejawat, dalam membelajarkan peserta didik. Jika itu yang terjadi, maka makna hari GuRu dapat menjadi metamorfosis serta starting point, perubahan mentalitas GuRu. So, “jangan pernah takut untuk menjadi guru yang berubah, tetapi takutlah kalau guru tidak berubah….”
SELAMAT HARI GURU, JADILAH GURU YANG PATUT DIGUGU DAN DITIRU, OLEH PESERTA DIDIKMU DAN MASYARAKAT SEKOLAH, SERTA JADILAH INSPIRASI, JADILAH “RU” DI KALA “GU” BAGI PESETA DIDIK.