Cerpen
Oleh: Flaviana Abes
“Marissa……..anakku, bangun nak… Ibu belum rela,” Tangis bu Dewi lirih dan sontak memecahkan kesunyian malam yang terbawa derunya angin malam. Tepat pukul 09.20 Wita, tim pencarian dari warga kampung dan beberapa anggota Linmas berakhir di dalam sebuah hutan rimba. Ya, hutan yang tak pernah ada jejak kaki warga di sana. Rasa penasaran dan lelah selama dua malam pencarian, kini terjawab sudah. Tak ada satu pun yang bisa membendung isak tangis kepedihan melihat kematian yang tragis dari Marissa, begitu pun denganku. Tubuh kecil dan cantik itu sekarang hanyalah raga yang tak bernyawa.
Marissa gadis cilik yang periang dan murah hati adalah sahabat terbaikku. Usia kami tidak terpaut jauh, hanya berbeda beberapa bulan saja. Kini kami sama-sama duduk di kelas V SD. Sebagai anak kampung, kami sudah terbiasa menikmati permainan yang disediakan oleh alam. Banyak hal yang bisa kami jadikan permainan. Sungai dan danau adalah tempat kami bermain seusai sekolah. Menelusuri petak sawah atau bermain keliling kampung. Bahkan masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu kering, hingga gua tempat berlindung babi hutan pun kami terobosi dan tak pernah luput dari incaran kami.
Sangat melekat di ingatanku, siang itu pukul 13.25 sepulang sekolah, aku dipanggil oleh Marissa untuk bermain. Aku pun menuruti dan keluar dari rumah. Ternyata kedua sahabatku yang lain, Alfredo dan Chen sudah menunggu kami di ujung jalan. Kami berempat boleh dikatakan sahabat karib karena setiap hari selalu bermain bersama. Kami menghentikan langkah kaki di sebuah sungai, tempat biasa kami bercanda ria. Itu tepatnya dua hari yang lalu, tempat di mana kami merancang ide gila ini hingga kejadian tragis ini pun terjadi.
Di bawah teriknya sinar mentari sambil duduk santai di pinggir sungai, kami menikmati kicauan burung yang mewarnai suasana siang ini. “Tan…di hutan sebelah barat itu pasti ada sesuatu deh..makanya tak ada seorang pun yang berani ke sana…” Alfredo memulai percakapan dengan penuh semangat. “Eh kamu Do…jangan bicara begitu, orangtua kita kan sudah melarang untuk tidak ke sana dan juga semua warga kampung di sini bahkan tidak pernah ke sana”. Jawabku dengan sedikit kesal. “Ah kamunya saja yang penakut. Itu semua cerita bohong. Tahu tidak, di hutan itu banyak buah-buahan yang enak. Orangtua kita sengaja melarang kita ke sana agar kita tidak memetik buah-buahan di sana. Yang pastinya buah-buahan itu sangat enak dan sudah matang pula” mata Alfredo mulai berseri-seri membayangkan cerita bualannya yang entah kenapa terlintas begitu saja di pikirannya. “Kalau begitu ayo kita ke sana” Chen yang sedari tadi hanya menyimak, entah kenapa ikut bersemangat dan perlahan bangkit dari tempat duduknya. Alfredo pun tersenyum dengan penuh kemenangan. “Intan kita pulang saja, yuk. Aku takut nanti di marahi bapak sama ibu. Kata bapak di hutan itu ada kepala singa yang bisa menerkam anak kecil seperti kita” Marissa mulai bergidik membayangkan apa yang terjadi. “Hahaha… Ris, kamu tahu tidak. Itu hanyalah cerita dongeng di waktu malam supaya kamu cepat tidur dan tidak bergadang. Di hutan itu hanya ada pohon dan burung-burung liar. Sama seperti hutan lainnya yang biasa kita masuki. Di sana juga buah-buahannya sangat lezat” Alfredo mulai lagi mengarang bebas.
Aku yang entah kenapa mulai mengikuti jalan pikiran Alfredo, perlahan menggandeng Marissa “ayo Ris… siapa tahu apa yang dikatakan oleh Alfredo itu benar. Lagi pula di musim panas begini enaknya makan buah-buahan segar” sekarang aku yang merayu Marissa. Kali ini dya pun menyerah. “Baiklah. Tapi kalau orangtua kita nanti bertanya, apa yang akan kita jawab?” Marissa menatapku. Chen yang sudah sedari tadi berdiri pun menjawab “jangan takut, bilang saja kita bermain di tempat biasa. Pulangnya kita masing-masing membawa seikat kayu. Beres kan?” Kami akhirnya mengangguk setuju dan berdiri.
Hutan Jati, begitu hutan ini disebut. Entah alasan apa sehingga diberi nama seperti itu atau mungkin karena banyak pohon jati yang ada di dalam hutan itu. Sebenarnya kami banyak hutang penjelasan pada orangtua kami karena sampai hari ini belum ada yang menjelaskan kenapa sampai tak seorangpun boleh masuk ke dalam hutan itu. Hutan itu menjadi hutan terlarang. Ada rasa penasaran yang menghinggapi diri kami untuk menjawab itu semua.
Hari itu kami mulai penelusuran kami dengan menyusuri sungai kecil sebelum benar-benar masuk ke dalam hutan Jati. Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Hawa dingin pun menyesap menerobos kulitku. Padahal terik matahari pun menyisakan peluh di keningku. Tanpa mempedulikannya, aku mengikuti langkah sahabat-sahabatku yang berada di depanku seolah-olah berkejaran dengan angin. Buah yang lezat dan matang sudah terbayang di pelupuk mata.
Kami pun tiba di sebuah jalan setapak kecil sebelum masuk hutan. Alfredo merogoh sesuatu di balik baju kaus oblongnya yang terlihat kusam. Sebuah parang yang tampaknya sudah di asah oleh pemiliknya. Sepertinya sangat tajam. Sangat terlatih, Alfredo mulai membabat rimbunan daun dan semak untuk membuka jalan bagi kami. “Aku mau potong dulu semaknya, kalian bertiga duduk dulu sambil beristirahat” perintahnya. Tanpa protes, kami pun menuruti ucapan Alfredo karena memang kami lelah. Entah sudah berapa jam kami lewati. Alfredo masih sibuk dengan semak-semak yang sepertinya tidak akan habis di babat. “Do, kalau kamu sudah selesai, ayo kita jalan lagi” ajak Chen yang sepertinya masih dengan semangat yang sama.
Tanpa aba-aba, kami pun berjalan lagi. Seperti sebelumnya, aku berada paling ujung. Belum lima langkah, aku seperti mendengar suara orang berjalan di balik semak. “Hei tunggu. sepertinya ada yang mengikuti kita. Aku mendengar suara orang berjalan” aku mulai meringis ketakutan. Mereka pun serempak berhenti. Chen mulai beroceh lagi “Intan, yang kamu dengar tadi itu adalah langkah kaki kita semua. Jangan takut. Ayo jalan lagi”
Dengan sedikit rasa penasaran, aku mengikuti langkah kaki mereka. Hanya bayangan buah-buahan segar mampu mengobarkan semangat kami. Langkah kaki kami pun terus dan terus melaju. Cucuran keringat sudah membasahi baju kami. Sesekali dahan kayu kering mengenai badan kami dan meninggalkan goresan kecil. Aku tersadar dan mendongakkan kepalaku ke atas. Warna langit tak lagi sama. Awan biru yang tadinya kulihat berganti hitam dan meredup. Aku semakin takut.
Alfredo tak henti-hentinya memainkan jemarinya memangkas semak belukar. Kami berjalan dan berjalan lagi. Sudah tak ada lagi petunjuk, suasana gelap semakin mencekam. Kami perlahan duduk dan menatap satu sama lain. “Tan, sudah malam. Gelap sekali, aku takut” Marissa mulai menitikkan air matanya. Meskipun tak bisa kupungkiri aku juga mengalami perasaan yang sama. “Tenang, Sa. Sebentar lagi kita pulang.” Aku meyakinkan Marissa meskipun aku juga tak yakin dengan ucapanku sendiri. Terjebak di dalam hutan rimba terlarang dan di bawah langit nan gelap. Tak tampak cahaya apapun. Itu berarti matahari sudah kembali ke peraduannya. Kami tertunduk lesu. Langkah kami terhenti, sudah tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Aku bisa merasakan bunyi perutku bergemuruh. Lapar.
Aku menatap sekelilingku. Sunyi dan sepi. Pandangan menyilaukan dari sisi lain membuat kami terkejut. Tiba-tiba saja kami sudah berada di hamparan padang yang sangat luas. Di tengah padang itu, ada sebuah pohon besar yang berbuah lebat. Buahnya berwarna merah berkilauan. Seumur hidup aku belum pernah melihat pohon dengan buah sebanyak ini. Aku pun bahkan tidak tahu sebenarnya itu pohon apa. Alfredo tertawa bangga” Betul kan yang aku bilang? Buah itu kelihatannya sangat enak. Sekarang kita bisa menikmati buah-buahan ini sepuas-puasnya” katanya membuka keheningan kami. “Do, ayo kita pulang. Aku takut sekali di sini” Marissa tak kuasa menahan rasa takutnya. “Ah tanggung. ayo kita cicipi dulu buah itu. Sekarang buah itu sudah ada di depan mata. Sayang kalau kita lewatkan. Kita sudah susah payah masuk ke sini. “Alfredo agak kesal mendengar tangisan Marissa. Chen hanya diam saja. Entah apa yang berada di pikirannya sekarang. Tapi wajahnya menyiratkan rasa takut yang sama. Perlahan kami beranjak menuju pohon buah yang sangat lebat itu yang berada sekitar sepuluh meter di depan kami berada. Langkah kami terhenti. Tiba-tiba di depan pohon itu ada sebuah kubangan kerbau. “Eh, lihat ada kerbau. Tadi kan tidak ada apa-apa. Hanya pohon buah itu yang terlihat” Chen tak bisa membendung rasa penasarannya. Kami hanya saling berpandangan. Kerbau itu melenguh panjang sehingga suaranya masuk ke kerongkongan bersaamaan dengan bunyi perut yang keroncongan minta diisi.
Kami berjalan beriringan. Marissa berada di urutan paling depan. Aku menggenggam tangan Marissa. Erat sekali. Meskipun sangat gelap, tetapi cahaya dari buah itu bisa menerangi kami. Buah itu sangat berkilau indah. Kami harus melewati kubangan dan kerbau itu sebelum sampai ke pohon buah yang berkilau tadi. Sedikit tertatih kami berjalan sambil berpegangan tangan. Sekitar beberapa langkah, aku bisa melihat lumpur hitam tempat kerbau berada. Mau tidak mau kami harus melewati tempat itu.
Tentunya, Marissa yang menginjakkan kaki pertama di kubangan kerbau itu. Tiba-tiba ada sebuah kekuatan yang menarik Marissa masuk ke lumpur tadi. Ia berteriak. Kekuatan itu menyambar seperti kilat. Dalam hitungan detik saja setengah badannya pun sudah masuk ke dalam lumpur. Tangisanku tak bisa ku bendung lagi. Perlahan namun pasti, kini tubuh Marissa yang kecil sudah tertanam di dalam lumpur. Lenyap. Kami bertiga bergerak mundur dan menangis. “Ini semua gara-gara kau Alfredo. Sekarang Marissa hilang dan sebentar lagi kita bertiga akan mengalami nasib yang sama” aku sudah tidak tahan lagi menumpahkan semua kekesalanku pada Alfredo. Perutku terasa kosong. Rasa lapar dan haus bercampur menjadi satu. Perasaan kehilangan Marissa pun sudah menjadi beban. Apalagi suasana yang mencekam dan dingin yang menusuk. Dalam hati, aku terus mendaraskan doa semoga ada keajaiban yang bisa menyelamatkan kami.
Tubuhku menggigil kedinginan di tambah perut yang semakin kesakitan. Waktu terus berlalu dan aku berdoa pasrah. Hanya air mata yang terus menemani di saat malam mulai mencekam. Dari kejauhan, kami mendengar keributan. Perlahan Suara itu semakin mendekat. Suara gong terekam jelas oleh gendang telingaku. Yah, mereka semakin dekat dan memanggil nama kami. “Intan, Chen, Alfredo, Marisa…..kalian di mana??” Teriakan itu sangat lantang, yang kukenal dari suaranya adalah pak desa. Chen pun berdiri dan berteriak dengan sisa tenaganya” kami di sini”. Mereka tiba-tiba sudah berada di depan kami. Cahaya lampu obor menerangi malam yang pekat. Seketika tatapanku beradu dengan mata ayahku. Perlahan ia berhamburan memeluk tubuhku yang kini terasa dingin. “Intan… Kenapa kamu masuk ke hutan ini nak, ayah kan sudah melarang. Anakku, untunglah kamu tidak kenapa-kenapa”. Aku hanya membalasnya dengan Isak tangis karena tak mampu menjelaskan apapun.
Tiba-tiba ibu Marisa mengamuk, “anakku… Di mana Marisa? Intan, di mana Marisa??” Ibu Marisa mulai terisak. Aku menggelengkan kepala. Hanya isak tangis yang sedari tadi aku lakukan. “Chen, Alfredo, kalian ke sini dengan Marisa juga kan? mana anakku?” Suara ibu Marissa semakin berat dan bergetar. Ia pun mulai merasakan tanda-tanda kehilangan. “Tenang bu..tenang” ayah Marisa berusaha menenangkan istrinya yang sudah terduduk lesu.
Pak desa yang sedari tadi menyimak, mulai mendekati Alfredo, “Do,,,apa yang terjadi nak?” Kata pak Desa perlahan. Alfredo pun mulai menceritakan semuanya tanpa ada yang dia tutupi. Sampai akhirnya semua mata tertuju ke arah kubangan yang ditunjuk oleh Alfredo. Meski nyatanya kubangan, kerbau dan pohon buah itu sudah lenyap. Ada yang berdecak keheranan. Salah seorang tua adat mendekat maju dan memandangi tempat itu. “Hanya ada satu cara untuk menemukan Marisa. Kita harus melakukan ritual adat (1) Teing Hang di sini. Karena arwah di sini sepertinya marah karena anak-anak kita mengganggu ketenangan mereka”. Mereka semua mengangguk setuju. “Kapan kita buat acara Teing Hang itu, kek?” Tanya ayah Marisa getir. “Tidak malam ini. Besok malam atau lusa. Karena siang bukan waktu yang tepat memanggil arwah para penjaga tempat ini” tambah tua adat itu dengan tegas. Pak Desa melirik jam tangannya, “pukul 24.50 sekarang. Sebaiknya kita pulang dan kita lanjutkan pencarian besok malam”. Kami semua pun pulang dengan perasaan hampa tanpa membawa Marisa bersama kami. Aku sedih sekali. Apalagi kedua orangtuanya.
Keesokannya, saat matahari terbenam, beberapa tua adat, pak desa, orangtua Marisa dan beberapa warga lainnya sudah berada di tempat di mana Marisa menghilang. Aku, Alfredo dan Chen juga ikut berada di sana. Sebenarnya beberapa warga melarang kami ikut ke dalam hutan, akan tetapi menurut tua adat yang memimpin acara itu nanti, kehadiran kami sangat diperlukan. Entah untuk apa, aku sendiri pun bingung.
Pukul 19.00 tepat ritual Teing Hang pun di langsungkan dengan dipimpin oleh tua adat. Semua yang hadir duduk melingkar. (2) Manuk lalong bakok menjadi sarana utama dalam ritual ini. Sambil memegang ayam tersebut, tua adat pun mulai memanggil roh yang mendiami hutan tersebut dengan bahasa adat yang tak sedikit pun ku mengerti. Di bawah cahaya lampu obor, suasana tegang dan mencekam semakin terasa.
Tak terasa dua jam berlalu. Belum tampak tanda-tanda kehadiran Marisa. Tua adat tadi menghela napas panjang. Seketika ibu Marisa menangis dan memukul dadanya sendiri. Seperti mimpi, ia kehilangan putri semata wayangnya. Aku semakin diliputi rasa bersalah. Kalau saja hari itu aku juga menolak ajakan Alfredo, ini semua tidak akan terjadi.
“Bagaimana kek?”, Pa desa mulai membuka suara. “Hmm…berat, sangat berat. Mereka sangat marah karena berpuluh-puluh tahun lamanya mereka hidup tenang. Sayangnya, Marisa sudah dimandikan dan menjadi anggota mereka”, setengah berbisik tua adat itu berbicara agar tidak didengar oleh orangtua Marissa. Pa desa merasa terkejut mendengar ucapan tua adat tersebut. “Lalu bagaimana, kek?”katanya. “Malam ini mereka tidak ingin diganggu. Besok malam adalah malam penentu apakah Marissa kembali atau tidak”, tua adat itu berbicara lantang. Hening dan suasana merinding. Kami kembali pulang. Lagi, tanpa Marissa.
Keesokan malamnya, rombongan sudah bersiap untuk menuju tempat yang sama. Anggotanya sama seperti tadi malam. Sesampainya di tempat tujuan, kami duduk melingkari api unggun yang sudah disiapkan. Semua yang hadir menggunakan pakaian putih dan (3) kain Songke tak terkecuali aku. Beberapa ibu memainkan gendang dan gong secara bersamaan. Tua adat itu kembali memimpin ritual sambil memegang manuk lalong bakok di tangannya. Kali ini ia mengucapkan beberapa istilah adat dengan sangat cepat. Sesekali dia menyanyikan beberapa (4) go’et adat untuk memanggil arwah penunggu tempat itu. Seketika, ia memerintahkan untuk menyembelih ayam tersebut dan darahnya dibiarkan di tanah tempat menghilangnya Marissa. Lalu ayam itu dibakar dan setelah itu diberikan kembali kepada tua adat tersebut. Setelah melakukan (5) toto urat, ia berkata akan ada pertanda baik. Beberapa bagian dari ayam tersebut pun dibakar kembali yaitu hati dan beberapa potongan isinya. Kemudian di bagi ke dalam tiga piring yang sudah di siapkan beserta segenggam nasi masing-masing di setiap piring. Tua adat itu pun menyusun tiga piring tersebut dan juga tiga gelas air minum di hadapannya. Ia pun mempersilakan mereka untuk makan.
Satu jam lebih berlalu. Tiba-tiba seorang dari yang hadir menoleh kearah barat dan melihat sesuatu di balik semak-semak. Dia berdiri dan meminta beberapa orang untuk mememaninya melihat apa yang ada di semak tersebut. Alangkah terkejutnya mereka melihat sosok tubuh kecil yang kaku terbaring di sana. Ia berteriak memanggil semua yang hadir di situ. Sontak semua berdiri menuju ke sana. Tangisan histeris dari kedua orangtua Marissa tak bisa terbendung lagi. Sangat menyayat hati kami semua. Aku memegang tangan ayahku. Bisa kulihat dengan jelas wajah Marrisa yang putih pucat dan tak bergerak. “Nak…kenapa kau meninggalkan ibu dengan cara seperti ini”, ibu Marissa mengelus wajah anaknya yang tak akan pernah lagi menyahut ucapannya. Semua yang hadir ikut menangis sedih. Pilu sekali menyaksikan sahabatku pergi untuk selama-lamanya.
Tua adat itu kembali ke tempat semula kami melingkar. Dia memohon pamit dan berterima kasih karena sudah mengembalikan Marissa yang meskipun hanyalah raganya. Tubuh Marrisa pun dibungkus dengan kain songke. Beberapa warga menggotong tubuh Marissa kembali ke kampung. Kami semua pun pulang dengan hati yang sedih. Mulai hari itu, aku berjanji tak akan pernah masuk ke dalam hutan terlarang itu lagi.
(1)Teing Hang : Ritual adat di Manggarai untuk memberi makan kepada arwah nenek moyang yang sudah meninggal
(2) Manuk lalong bakok : (Bahasa Manggarai) Ayam jantan putih
(3) Kain songke : Kain tenun khas daerah Manggarai
(4) Go’et : istilah adat dalam Bahasa Manggarai
(5) Toto urat : salah satu bagian dari ritual Teing Hang, bertujuan untuk melihat urat ayam yang disembelih dengan tujuan untuk mendapatkan petunjuk.
Tentang Penulis:
Flaviana Abes atau biasa disapa Avi, lahir di Pagal, 4 september 1991. Sekarang menetap di Lempang Paji, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur. Mengabdi di SMKN 2 Elar, mengampuh mata pelajaran Bahasa Inggris sekaligus Bahasa Indonesia.