Oleh: Kristoanus Pratama Putra Halley
Implementasi dari upaya menghidupi kebebasan beragama atau berkeyakinan kerapkali menampilkan wajah yang tidak selalu bersahabat dengan upaya memperjuangkan dan menghidupi kesetaraan gender.
Terlihat bahwa sebagian dari ekspresi keagamaan mengandung konsep dan ajaran yang memberikan legitimasi secara penuh terhadap ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan serta diskriminasi dalam tataran gender.
Tampaknya bahwa kaum perempuan seringkali rentan menjadi korban pelanggaran HAM, secara khusus berkaitan dengan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Perempuan yang menjadi obyek diskriminasi dan korban pelanggaran HAM ditemukan dalam masyarakat di berbagai tempat tanpa adanya perbedaan kelompok, kelas dan golongan, menganut berbagai agama atau keyakinan tertentu baik teistik maupun nonteistik serta menganut agama mayoritas maupun minoritas.
Dalam relitas bangsa Indonesia praksis kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia belum seutuhnya dihidupi.
Hal ini tampak dalam berbagai problem radikalisme agama yang masih masif terjadi di Indonesia. Di samping itu tampak bahwa adanya iklim penyimpangan dalam rupa ketimpangan gender dalam praksis kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.
Secara khusus berkaitan dengan keterlibatan atau peran serta perempuan dalam menghidupi hak kebesan beragama atau berkeyakinan sebagai bentuk hak milik individu. Terdapat berbagai penyimpangan dalam praksis manifestasi kebebasan beragama atau berkeyakinan kaum perempuan di Indonesia.
Catatan Komnas Ham Indonesia dan HRWG (Human Raights Working Grup) menampilkan adanya bentuk diskriminasi dan rentannya kekerasaan gender yang dialami oleh kaum perempuan yang berbeda dari kaum laki-laki saat berada dalam kelompok agama minoritas (Haris Prabowo, tirto.id, 2018).
Tendensi budaya patriarki yang dominan dan cukup mencolok dalam kehidupan berbudaya di beberapa daerah pun memberi pengaruh yang kuat bagi bertumbuhnya praktik ketimpangan dalam kesetaraan gender.
Bertolak dari hal ini gerakan feminisme di Indonesia menjadi gagasan sekaligus wujud nyata yang diharapkan mampu mengatasi berbagai praktik ketimpangan gender terhadap kaum perempuan dalam menghidupi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Gerakan kebangkitan perempuan ini menjadi wujud kesadaran setiap orang secara umum dan kaum perempuan secara khusus terhadap pentingnya harkat dan martabat seorang perempuan dalam kehidupannya sebagai manusia.
Wawasan sosial yang berakar dalam pengalaman diskriminasi kaum perempuan hendaknyan menjadi gerakan yang mampu meretas “cacat” dalam penegakan HAM perempuan di Indonesia, secara lebih khusus dalam menghidupi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.
Feminisme: Gerakan Kebangkitan Kaum Perempuan
Isu besar bebarapa dekade terakhir bahkan hingga saat ini ialah mengenai gender atau isu tentang perempuan. Dikatakan bahwa milenium ketiga merupakan milenium kaum perempuan. Di mana kaum perempuan bangkit dan memperjuangkan kesetaraannya di tengah dunia (Guido Tisera, 2004).
Gerakan kebangkitan perempuan (feminisme) menjadi wujud nyata dari usaha perempuan dalam memperjuangkan persamaan hak dan kewajibanya di tengah kehidupan bermasyarakat.
Bentuk feminisme yang dihidupi merupakan sebuah sisih tilik atas kehidupan yang mewarnai harapan, tekad serta tindakan kaum perempuan.
Sebagaimana konsep feminisme Wolski Conn menggambarkan feminisme sebagai suatu rencana aksi praktis yang mengantar setiap orang untuk ambil bagian dalam ideologi feminis sebagai agen perubahan.
Titik persoalan akan gerakan kebangkitan perempuan ini bertolak dari klaim-klaim terbuka maupun yang tidak kentara tentang kendali besar kaum laki-laki atas diri perempuan dengan landasan bahwa secara kodrati kaum laki-laki lebih unggul dari keum perempuan (Anna M. Clifford, 2002: 29).
Feminisme secara gamblang menolak determinasi biolagis sebagai alasan penentu perubahan tertentu entah sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan.
Yang terpenting di sini ialah bagaimana menumbuhkan kesadaran universal (universae conscious) dan kritis terhadap berbagai sikap dan nilai budaya yang ada dalam masyarakat.
Batasan-batasan gender yang ada dalam lingkungan masyarakat terikat secara budaya atau kultural.
Dalam artian bahwa batasan-batasan ini mencerminkan akan berbagai aneka keyakinan tentang sikap dan peran yang ditetapkan dan dianggap sesuai untuk kaum laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat.
Berbagai permasalahan yang muncul sering kali mengintimidasi hak dan kebebasan perempuan dalam keberadaannya di tengah masyarakat.
Semisal berbagai permasalahan kekerasan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh kaum lelaki, peran serta kaum perempuan yang kurang dalam urusan pemerintahan atau politik dalam negara, perbudakan terhadap kaum perempuan atau sistem budaya patriarki yang terlalu menekan dan mengekang kaum perempuan, masalah pelecehan dan kekrasan terhadap tenaga kerja wanita dan problem kebebabasan kaum perempuan dalam beragama atau berkeyakinan.
Tidak dapat dimungkiri bahwa berbagai negara di dunia dan negara Indoneisia sendiri tidak terlepas dari problem-problem seperti ini yang secara fakta masih terus bertumbuh dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, gerakan emansipasi wanita dalam hal ini kebangkitan perempuan (feminisme) menjadi suatu kekuatan untuk meretas sekat ketimpangan terhadap harkat dan martabat seorang perempuan.
Usaha dan perjungan untuk menghidupi harkat dan martabat kaum perempuan nampak dalam berbagai gerakan feminisme yang lahir dan berakar pada relitas historis yang terjadi.
Semisal berbagai beberapa gerakan emansipasi wanita yang muncul di Indonesia seperti Darma Wanita, Darma Pertiwi dan berbagai gerakan perempuan lainnya.
Di sini kaum perempuan dengan aksi praktis berusaha untuk membangun harapan perubahan dalam menghidupi harkat dan martabatnya sebagai pribadi yang ada dan bereksistensi secara sama dengan ciptaan lainnya di tengah dunia.
Diskriminasi terhadap Perempuan: Konsep Menara Gading sebagai Problem dalam Masyarakat
Diskriminasi terhadap kaum perempuan menjadi hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Hal ini didukung oleh konsep yang keliru terhadap peran serta perempuan dalam kehidupan yang lebih dipandang rendah dari pada peran kaum laki-laki.
Konsep-konsep lama yang mereduksi status dan peran serta perempuan dalam lingkungan sosial dan budaya menjadi corak diskriminasi yang masih ada dan berdiri kokoh dalam lingkungan masyarakat.
Permasalahan diskriminasi terhadap kaum perempuan berkembang dalam tataran yang lebih jauh sebagai permasalahan yang melanggar kebebasan internal kaum perempuan.
Hal ini berkaitan dengan konsep menara gading kultur gender yang lebih luas dan berkembang sehingga sampai pada taraf tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Tindakan kekerasan sebagai bagian implementasi lanjut dari tindakan diskriminasi terhadap kaum perempuan diartikan sebagai setiap tindakan kekerasan berdasarkan gender yang mengakibatkan atau diperkirakan mengakibatkan penderitaan dalam aspek fisik, seksual atau aspek psikologis terhadap perempuan. Termaksud di dalamnya ialah bentuk ancaman-ancaman verbal tindakan kekerasan dan pengambilan kebebasan secara sewenang-wenang baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan publik (Bahia G. Tahzib-Lie, 2014).
Sorotan atama yang hendak diangakat dalam bahasan ini ialah masalah diskriminasi perempuan dalam kebebasan untuk beragama atau berkeyakinan.
Tampak bahwa masalah-masalah yang terjadi terhadap perempuan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi sorotan sebelah mata saja dalam penanganannya.
Setiap kebijakan tentang kesamaan HAM dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan nyatanya belum seutuhnya menyentuh substansi permasalahan diskriminasi kaum perempuan.
Berbagai peraturan yang muncul dalam lingkungan budaya, masyarakat dan negara lewat mekanisme instrument nasional pun memeberi efek yang kurang konstruktif dalam perlindungan terhadap martabat kaum perempuan (Smita Notosusanto dan Kristi Poerwandari, 1997: 16).
Di Indonesia sendiri problem ini masih kental terjadi dan kerap menjadi polemik yang terus dibicarakan tanpa menemukan titik akhir yang pasti.
Hal ini disebabkan oleh berbagai konsep yang masih bertentangan antara agama, negara dan budaya.
Perempuan dan Praksis Kebebasan Beragama di Indonesia
Kebebasan beragama atau berkeyakinan (freedom of religion or beliefe) merupakan salah satu bagaian urgen dari Hak Asasi Manusia (HAM). Di mana prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinan memberikan jaminan perlindungan bagi semua manusia untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu (Otto Gusti, Media Indonesia, 2019).
Manusia memiliki kebebasan ini secara individu yang tidak boleh mendapat unsur intervensi dari pihak manapun termaksud negara sendiri.
Hal ini memberi arti bahwa hak kebebasan beragama atau berkeyakinan merupakan hak milik individu sendiri yang bersifat privat.
Dalam konteks Indonesia kebebasan beragama atau berkeyakinan diatur dalam perundang-perundangan negara.
Kebebasan umat beragama dijamin bagi setiap warga negara, sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2) dan secara terperinci lagi dalam pasal 28 E ayat (1) sampai (3).
Di sini sangat tampak bahwa adanya suatu bentuk usaha yang menjadi landasan dasar penegakan terhadap hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, jika ditinjau dari dasar hukum yang berlaku di Indonesia.
Kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagaimana prinsipnya berlaku untuk semua manusia secara universal di semua negara dalam payung HAM.
Kebebasan beragama dalam tatarannya menjadi hak privat yang perlu dihargai dan dijunjung oleh setiap orang termaksud negara sendiri.
Penegakan dalam upaya mewujudkan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia dalam kaitannya dengan peran serta perempuan di dalamnya perlu mendapat perhatian yang serius.
Sebab negara-negara di dunia termaksud Indonesia sendiri telah menerima kewajiban secara utuh untuk melakukan due diligence dalam mencegah, menginvestigasi dan menghukum serta menerapkan perlindungan terhadap korban dalam hal ini kaum perempuan (Bdk. Bahia G. Tahzib-Lie).
Praksis menghidupi kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia dalam kaitanya dengan kesetaraan gender perlu mendapat perhatian dari pihak agama dan negara sendiri.
Karena secara aktual masih ada ketimpangan terhadap penerapan kebijakan negara yang berlaku dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Praktik diskriminasi terhadap kebebasan beragama atau berekeyakinan masih menjadi problem yang terjadi dalam tubuh bangsa Indonesia.
Hal ini tentu menjadi wujud ketimpangan dalam penegakan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Di samping itu tindakan diskriminasi yang terjadi memeberi signum akan lemahnya penghargaan terhadap harkat dan martabat seorang perempuan.
Nyatanya bahwa negara dan agama sendiri belum sepenuhnya menjamin jalanya hak kebebasan beragama atau berkeyakinan kaum perempuan.
Sebab negara semacam memberi peluang terhadap tendensi intimidasi terhadap HAM kaum perempuan dengan berbagai hukum dan kebijakan yang tidak menyentuh substansi hak-hak kaum perempuan.
Terdapat sejumlah problem yang bersinggungan secara langsung dengan kaum perempuan dalam menghidupi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Problem kekerasan dan diskriminasi yang terjadi seperti larangan mengenakan jilbab di sekolah dan tempat kerja, problem sunat perempuan dalam budaya tertentu serta kasus penodaan agama oleh kaum perempuan yang lebih mencorong sebagai korban.
Salah satu contoh yang dapat diangkat ialah mengenai problem diskrimansi dalam penyelesain kasus penodaan agama yang di alami oleh perempuan Tionghoa di wilayah Tanjungbalai.
Dalam keterangan kasus dinyatakan bahwa terdakwa dikenakan kasus pidana 1,6 tahun karena mempertanyakan suara dari masjid yang begitu besar tak seperti biasanya. Komnas perempuan, bertolak dari masalah ini melihat bahwa adanya tendensi diskriminasi yang diterapkan kepada perempuan agama minoritas yang ditindak pidana untuk kasus penodaan agama (Mega Purnama sari, Kompas.com, 2020).
Tentunya permasalahan yang diangkat menjadi wakil dari berbagai permasalahan yang sudah terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan secara langsung menjadi gambaran dari wajah kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.
Secara lebih spesifik menjurus pada penghargaan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan kaum perempuan.
Feminisme: Meretas Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Kebebasan Beragama di Indonesia
Feminisme menjadi wujud kebangkitan kaum perempuan dalam upaya menegakan pembaharuan terhadap penghargaan akan harkat dan martabat seorang perempuan.
Namun secara lebih komprehensif feminisme menyangkut serangkaian gerakan sosial, politik dan ideologi dalam upaya perubahan terhadap kesetaraan gender yang berlaku dalam aspek politik, sosial, budaya dan agama.
Dalam tataran ini gerakan kebangkitan perempuan menjadi gagasan yang real dalam wujud tindakan praktis yang dapat dihidupi.
Berkaitan dengan problem diskriminasi terhadap perempuan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, feminisme menjadi jalan bagi kaum perempuan untuk tidak henti-hentinya menyurakan hak dan kebebasan kaum perempuan dalam beragama dan berkeyakinana.
Kaum perempuan memliki hak yang penuh secara privat untuk memperoleh perlindungan dan jaminan terhadap HAM secara khusus terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sudah menjadi kewajiban negara dan seluruh masyarakatnya untuk mendukung hadirnya feminisme yang memberi warna konstruktif dalam memperjuangkan terwujudnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan secara adil dan merata di Indonesia.
Tugas negara sebagai due diligence tetap menunjukan peran penting sebagai landasan bagi perlindungan terhadap tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Negara membuka kesadaran terhadap setiap masyarkatnya untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang perempuan.
Harus adanya penegakan kesetaraan gender dalam tubuh bengsa Indonesia sendiri, yang harus dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat dan negara.
Feminisme yang bertumbuh di Indonesia semestinya dipandang oleh seganap masyarakat Indonesia sebagai pendorong bertumbuhnya peran serta perempuan dalam kehidupan masyarakat, agama dan negara.
Sebab feminisme sendiri berjalan seturut tiga pilar yang menjadi landasan pembatasan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan yakni kesehatan publik, moral publik dan keamanan publik serta memberi warna konstruktif terhadap partisipasi kaum perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Feminisme dalam Praksis Beragama: Kesadaran Kolektif Segenap Masyarakat Indonesia
Feminisme menjadi gerakan kebangkitan kaum perempuan yang membuka kesadaran negara dan agama sendiri untuk memberi perhatian yang seimbang terhadap jaminan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan kaum perempuan.
Tidak hanya bermuara pada tataran menyurakan penegakan keadilan terhadap hak-hak kaum perempuan, namun feminisme menjadi gerakan praksis sebagai usaha untuk menghidupi harkat dan martabat seorang perempuan. Feminisme memberi tatanan baru bagi kaum perempuan untuk sadar dan bertindak secara baik dalam memanifestasikan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mereka meliki sebagai hak privat dan tentunya dengan harapan besar bahwa implementasi terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dimiliki tidak bertentangan secara langsung dengan manifistasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Kesadaran untuk memperjuangkan martabat seorang perempuan dalam praksis beragama dan berkeyakinan hendaknya menjadi kesadaran kolektif semua masyarakat Indonesia.
Negara dan segenap masyarakat semestinya memberi ruang yang tampan bagi kaum perempuan untuk mengekspresikan kebebasannya dalam mengaktulisasikan hak untuk beragama dan berkeyakinan dalam masyarakat. Sejauh ekspresi yang ditampilkan masih dalam zona efektif dan tidak menyinggung keamanan dan keutuhan suatu bangsa, maka negara sudah seharusnya memberi dukungan penuh bagi kaum perempuan untuk menghidupi dan mengekspresikan kebebsan mereka.
Dengan ini peran serta kaum perempuan dalam menghidupi hak kebebsan beragama memberi tanda yang mampu melahirkan semangat bagi segenap komponen masyarakat untuk ambil bagian dalam gerakan cinta kemanusian yang tidak memandang perbedaan gender.
Dan lebih dari itu menjadi bentuk kesadaran bersama dan semangat yang menjiwai segenap masyarakat Indonesia untuk sampai pada tujuan bonum commune sebagai suatu negara yang adil dan sejahtera.
Penulis tinggal di Ledalero, Nita-Maumere