Soe, VoxNtt.com-Sejak dua tahun terakhir, 2018 hingga 2020 telah terjadi 263 kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Demikian data yang diungkap Sanggar Suara Perempuan (SSP) Kabupaten TTS, sebuah yayasan yang konsen terhadap persoalan perempuan dan anak di TTS.
SSP juga menyebut, dari 263 kasus tersebut, paling tinggi ialah kekerasan seksual terhadap perempuam, yakni 139 kasus.
Direktris SSP TTS, Rambu Atanau Mella, dalam siaran pers memperingati Hari Perempuam Internasional, Senin (08/03/2020) kepada awak media merincikan lebih lanjut, dari 263 kasus kekerasan tersebut; Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), 79 kasus, penganiaayaan 29 kasus, perdagangan orang 2 (dua) kasus, kekerasan psikis 15 kasus dan anak hilang 1 (satu) kasus .
“Hingga Februari 2021 terdapat 16 kasus yang sudah didampingi oleh Sanggar Suara Perempuan. Sedangkan masih banyak yang tidak sempat dilaporkan atau bahkan takut dilaporkan oleh perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan,” kata Rambu Atanau Mella.
Baca: Tampar Wanita Mabuk, Remaja di Ngada Berpotensi Bebas dengan Restorative Justice
Direktris SSP ini, juga menyebut masa pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung satu tahun ini, menjadi tantangan tersendiri, dimana menyulitkan akses pengaduan dan layanan bagi perempuan dan anak
korban kekerasan.
Beragam penyebab terjadinya kekerasan yang dialami oleh perempuan dan di antaranya persoalan ekonomi, sosial budaya patriarkhi yang melahirkan relasi kuasa, lemahnya peraturan perundang-undangan dan belum ada aturan yang mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual.
Mirisnya, kata Rambu, kekerasan seksual terus meningkat secara signifikan dan melebihi angka
kekerasan dalam rumah tangga, dimana sebelumnya KDRT merupakan kasus tertinggi.
“Dalam tiga tahun terakhir, kekerasan seksual menempati urutan tertinggi. Kendati demikian, perjuangan menggoalkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, sampai saat ini belum berhasil oleh karena berbagai alasan yang tidak masuk akal oleh pemerintah pusat, baik lembaga eksekutif maupun legislatif,” tandasnya.
Merespon persoalan ini, Sanggar Suara Perempuan tetap kosisten dan terus bertekad serta tidak akan pernah menyerah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, untuk dapat meminimalisir kekerasan yang akan terjadi.
“Sebagai yayasan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, maka di momen Hari Perempuan Internasional (HPI) 2021 ini, melakukan berbagai rangkaian kegiatan kampanye publik, baik melalui media cetak maupun elektronik,” jelas istri dari mantan Bupati TTS, Paul VR Mella ini.
Harapan-harapan SSP di Hari Perempuan Internasional ini yakni : Pertama, media lebih menaruh kepedulian terhadap persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama dalam melihat perempuan sebagai korban.
Kedua, media merupakan sarana untuk mengedukasi masyarakat, dan diharapkan informasi/opini yang disampaikan lebih sensitif gender agar dapat memengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat.
Ketiga, Media dapat menjadi saluran informasi tentang kesetaraan gender dalam berbagai bidang dan upaya-upaya perlindungan bagi perempuan dan anak perempuan, yang rentan atau berpotensi sebagai korban
Keempat; media diharapkan dapat membuka diri untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan anak
kepada Pemerintah Daerah, sampai Pemerintah Pusat (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
“Segera menetapkan dan mensahkan RUU PKS menjadi sebuah Undang-Undang. Ini mengingat kekerasan seksual terus meningkat. Pemerintah juga agar bisa mengimplementasikan peraturan perundang-undangan yang sudah ada seperti UU RI, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, MoU, peraturan-peraturan sejenis yang terkait dengan upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak,” tutupnya.
Thema Perayaan Hari Perempuan Internasional 2021 adalah “Choose for Challenge” (Memilih untuk Menantang). Sedangkan tema perayaan HPI di TTS, SSP mengusung tema “Jangan Pernah Menyerah dalam Perjuangan Meraih Keadilan Relasi antara Laki-laki dan Perempuan dalam Segala Bidang”.
Penulis: Long
Editor: Boni J