*Oleh: Stefan Bandar
Kampungku terletak di sebuah lembah di pedalaman negeri timur. Aku mengenalnya sebagai surga yang penuh ketenangan dan kesegaran. Di sekelilingi kampungku berdiri gunung-gemunung yang tinggi menjulang dengan pepohonan lebat yang membawa udara bersih dan segar.
Di sana kami tidak pernah kekurangan air sebab mata air muncul di mana-mana. Sawah-sawah tidak pernah kekeringan meskipun panas yang berkepanjangan. Saat malam tiba, terkadang kampungku sangat menakutkan. Suara-suara hewan liar yang biasanya meraung sepanjang malam menambah seremnya kampungku.
Hubungan antara warga diwarnai dengan rasa kekeluargaan yang tinggi. Meskipun terdiri dari banyak kepala keluarga yang datang dari tempat yang berbeda, namun kehidupan warga sangat tenteram dan damai.
Sebagian besar warga bekerja sebagai petani, mengolah alam yang ada dengan cara-cara yang berbeda tetapi mendapatkan hasil yang melimpah. Seluruh perkara dan masalah diselesaikan dengan cara adat oleh ketua kampung. Kehidupan gotong royong juga sangat terasa khususnya ketika tiba musim menanam dan mengetam padi.
Demikianlah tentang kampungku sepuluh tahun silam, sebelum aku beranjak ke kota demi melanjutkan pendidikan. Semenjak saat itu, aku tidak lagi pergi ke sana ataupun sekedar mendapatkan informasi tentang keadaan di sana. Apalagi setahun setelah kepergianku, kedua orang tuaku pindah ke kota. Mereka meninggalkan negeri timur dan memutuskan untuk tinggal di Jakarta. Memang ibuku berasal dari Jakarta dan anak satu-satunya dari nenek dan kakekku.
Setelah lama tidak mendengar kabar tentang kampungku, timbul keinginan dalam diriku untuk kembali ke sana dan merasakan kehidupan di sana. Aku ingin kembali merasakan udara segar, mendengar suara hewan-hewan liar saat malam hari, dan merasakan air segar yang diambil langsung dari sumbernya. Aku ingat, di belakang rumahku terdapat sebuah mata air yang cukup besar. Aku ingin kembali membasuh kulitku di sana.
Hingga suatu saat, kesempatan untuk kembali ke kampung halaman datang juga. Aku mendapatkan tugas dari kantorku untuk menganalisis lingkungan di negeri timur. Aku dipercayakan untuk menganalisis potensi alam yang ada di sana.
Kebahagiaku menjadi sempurnah ketika kudapati lokasi penelitianku terletak di kampung halamanku. Tentu saja aku tidak menceritakan hal ini kepada kedua orang tuaku sebab jika mereka mengetahui hal ini, mungkin mereka akan melarangku.
Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku berangkat dengan beberapa temanku. Aku memimpin mereka menuju lokasi penelitian. Aku sedikit kaget bercampur bahagia ketika melihat perubahan di sana. Jalan-jalan telah diaspal, gedung-gedung pencakar langit pun berdiri kokoh di samping kiri kanan jalan. Beberapa jembatan besar telah dibangun. Tiang-tiang listrik berdiri di sepanjang jalan. Rupanya kampungku telah maju, gumanku.
Namun ada juga pemandangan lain yang menggangguku hingga membuat aku bertanya-tanya. Tidak ada lagi air yang mengalir di sungai seperti halnya dulu sebelum aku meninggalkan kampungku. Tidak lagi kujumpai binatang-binatang liar di sepanjang jalan, bahkan burung-burungpun tidak ada lagi.
Apa yang terjadi di sini? Bagaimana keadaan kampungku sekarang? Bagaimana dengan mata air yang dulu selalu mengalir tiada henti? Kemana hewan-hewan liar yang ada di sini? Bertubi-tubi pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benakku.
Suatu hari tanpa sengaja aku bertemu dengan salah satu warga kampung yang masih kuingat. Pak Ryan, demikian kami biasa memanggilnya. Rupanya ia masih mengenal aku.
“Kamu Wulan, anak tunggal si Burham? Wah, rupanya kamu sudah besar dan semakin cantik. Bagaimana kabar ayah dan ibumu di sana?” tanyanya dengan nada suara yang gemetar. “Mereka baik-baik saja.” Jawabku singkat. “Apa yang terjadi dengan kampung kita ini?” tanyaku lagi. Sesaat keheningan menguasai kami. Ia menatapku tajam. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke lubang tambang yang berada tepat di depan kami.
“Apakah kamu tidak tahu apa yang terjadi setelah kepergianmu? Apakah ayah dan ibumu tidak pernah menceritakannya kepadamu?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala. Kemudian ia mengajakku duduk di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Aku segera mengikuti langkahnya.
“Saat itu tepatnya sebulan setelah kepergianmu, ayahmu terpilih menjadi ketua kampung. Namun setelah beberapa minggu ayahmu menjabat sebagai ketua kampung, tiba-tiba kampung kita ini didatangi beberapa pria berdasi. Mereka mengumpulkan warga di rumahmu dan membagi beberapa bahan makanan kepada kami semua. Ada yang mendapat beras, telur, mie instan dan ada juga bantuan dalam bentuk uang. Semua warga merasa senang.,” katanya dengan nada tertahan.
“Setelah hari itu, mereka mendatangi kampung kita sekali dalam seminggu. Tujuan kedatangan mereka adalah menggali emas yang ada di kampung kita sekaligus membangun kampung kita menjadi lebih baik. Mereka juga mengutarakan keuntungan yang warga peroleh dari hal ini. Mereka berusaha menyakinkan warga agar merestui tujuan kedatangan mereka.” Ia menghentikan pembicaraannya.
“Lalu warga menyetujui tawaran mereka?” tanyaku penasaran. “Sebagian besar warga setuju sebab mereka telah menerima beberapa juta uang dari pria-pria yang datang itu. Mereka mendukung program-program yang diberikan. Bahkan mereka menyorakan agar segera dilaksanakan penambangan emas di kampung kita ini.
Ya, warga kita tidak tahu apa yang ada di balik semuanya itu. Warga tidak tahu apa yang akan terjadi setelah proses tambang itu. Mereka sudah mabuk dengan uang tunai dan bantuan lainnya yang telah mereka dapatkan
Warga kampung yang sangat menolak hal ini adalah ayahmu, ibumu dan aku. Kami mencoba membujuk warga agar tidak tergoda dengan tawaran dari pejabat yang datang. Namun usaha kami sia-sia saja. Bahkan aku, ayahmu, dan ibumu diusir dari kampung kita ini.” Ia kembali menghentikan pembicaraannya. Air matanya tiba-tiba berjatuhan membasahi pipinya.
“Ayah dan ibu diusir? Tapi kenapa?” entah mengapa tiba-tiba air mataku mulai berjatuhan. “Kami bertiga diusir secara paksa. Rumah kita dibakar warga. Bahkan ayahmu pergi hanya dengan pakaian yang dikenakan pada badannya. Sejak saat itu tidak ada lagi kedamaian di kampung kita ini. Semua orang hanya memikirkan uang dan bantuan lainnya yang datang dari pemerintah serentak mengabaikan kebersamaan kita,” katanya sambil mengusap air matanya yang berjatuhan.
“Lalu apa yang terjadi setelah itu dengan kampung kita?” kataku penasaran.
“Setelah kepergian kami, warga kampung mulai menggali tanahnya demi mendapatkan emas. Mereka memotong pohon-pohon besar di kampung ini. Awalnya mereka diberi upah yang cukup tinggi hingga akhirnya mereka menyerahkan secara sah seluruh tanah kepada pemerintah. Sebulan setelah itu rumah mereka digusur, bahkan mereka diusir dari kampung ini.
Beberapa dari antara mereka masih bekerja di sini namun dibayar dengan upah yang sangat kecil. Warga mulai menyadari bahwa mereka telah ditipu,” katanya dengan nada tertahan. Lalu ia berdiri dan berlangkah ke depan sembari melihat bekas lubang tambang yang ada di hadapannya.
“Sejak warga menyetujui pertambangan di kampung kita ini, sebenarnya mereka telah membunuh kehidupan mereka sendiri. Mereka telah memutuskan rantai kesejahteraan yang telah kita jaga bersama. Benar, warga telah dibodohi oleh janji-janji manis itu yang pada akhirnya menghancurkan kampung kita ini,” katanya lagi. Beberapa saat kemudian keheningan menguasai kami. “Sampaikan salamku kepada ayah dan ibumu,” katanya lagi lalu pergi dan menghilang dari hadapanku.
Iya, akan kusampaikan salammu pada ayah dan ibu. Akan kuceritakan desa kita yang telah hilang, akan kuceritakan kampung kita yang telah sirnah, dan akan kukisahkan tanah kita yang tinggal kenang di atas lubang yang masih menganga.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero