Jakarta, VoxNtt.com-Setelah setahun pandemi Covid-19 berlalu, warga keturunan Asia di Amerika kini semakin waspada akan berbagai serangan yang ditunjukan kepada mereka.
Melansir tirto.id, belum lama ini terjadi penembakan di Atlanta, Georgia yang merenggut delapan korban jiwa, enam di antaranya berdarah Asia. Sebelumnya, di Oakland, California, pria asal Hongkong berusia 75 tahun juga meninggal dunia setelah diserang dan dibegal saat jalan pagi.
Sementara pada Februari lalu, di kota San Fransisko, seorang imigran 84 tahun asal Thailand didorong sampai tersungkur hingga menghembuskan napas terakhir.
Dari berbagai kasus kekerasan, warga bertampang Asia Timur selalu menjadi sasaran amukan. Seperti dilansir tirto.id, kekerasan terhadap warga keturunan Asia itu bermula dari asumsi liar bahwa mereka pantas disalahkan atas penyebaran Covid-19. Anak sekolah, jurnalis sampai dokter pun mengalami beragam bentuk persekusi: mereka dilecehkan, dimaki-maki, dipukul, ditendang, diludahi.
Perlakuan rasis ini pun berdampak pada keberlangsungan bisnis kuliner sampai salon kuku di kawasan pecinan dan kompleks pasar Asia, yang harus bertahan dari pengucilan oleh klien. Mereka pun mengalami kerugian ekonomi karena pemasukan merosot drastis.
Sejak awal pandemi hingga sekarang, kelompok advokasi Stop AAPI (Asian American Pacific Islander) Hate sudah menerima sekiranya 3.800 aduan insiden kebencian terhadap warga Amerika keturunan Asia. Hampir 70 persennya adalah pelecehan verbal, sedangkan serangan fisik mencakup 11 persen.
Pihak advokasi memperingatkan, statistik tersebut hanyalah sepotong kecil penindasan yang dialami warga Amerika keturunan Asia, tetapi sudah cukup membuktikan betapa rentannya keseharian etnis minoritas tersebut selama pandemi.
Di Balik Perang Dagang
Situasi pandemi yang mencekam dan penuh ketidakpastian ini tidak bisa dipisahkan dari retorika politis pucuk kepemimpinan AS kala itu, Donald Trump, yang gemar menyudutkan otoritas Cina atas penyebaran virus ke penjuru dunia. Sejak Maret 2020, Trump sudah mulai mempopulerkan Covid-19 sebagai “virus Cina”, istilah yang dianggapnya “sama sekali tak rasis” karena “asalnya memang dari Cina”.
Di lain kesempatan, Trump mengejeknya dengan nama “kung flu”. Sampai menjelang akhir jabatan, Trump masih menyerukan, “Ini salah Cina”. Politisi konservatif di sekeliling Trump, seperti Menlu Mike Pompeo dan sejumlah figur Republikan, ikut-ikutan bikin gerah suasana dengan pemakaian istilah “virus Wuhan” .
Padahal, sudah diperingatkan oleh Cecillia Wang dari American Civil Liberties Union, labelisasi demikian bisa berdampak pada aksi mengambinghitamkan yang berbahaya dan meluasnya kebebalan.
“Dengan menyebarkan fitnah ini, para pejabat telah mengobarkan rasisme serta tindakan pelecehan dan kekerasan secara terbuka terhadap masyarakat Amerika keturunan Asia,” tulis Wang.
Merujuk panduan WHO 2015 untuk penamaan penyakit menular baru, lokasi geografis merupakan kategori yang perlu dihindari agar tidak menyinggung etnis atau komunitas regional tertentu.
Russell Jeung, dosen Kajian Asia-Amerika di San Francisco State University dan salah satu pendiri Stop AAPI Hate, mengiyakan korelasi antara komentar-komentar Trump terkait virus Cina, ujaran kebencian di linimasa media sosial dan kekerasan terhadap komunitas keturunan Asia.
“[Retorika] ini memberikan izin pada orang-orang untuk menyerang kami. Serangan beruntun yang sekarang dilancarkan kepada para lansia adalah bagian dari dampak retorika tersebut di masyarakat luas,” ujar Jeung kepada majalah Time Februari kemarin.
Insiden penembakan di Atlanta, sekretaris pers Jen Psaki di Gedung Putih menegaskan, “retorika merusak yang dikumandangkan pemerintah sebelumnya” seperti sebutan virus Wuhan dan lainnya menyebabkan persepsi tidak akurat dan tidak adil pada warga Amerika keturunan Asia, sekaligus telah meningkatkan berbagai ancaman terhadap mereka.
Tudingan dari administrasi Trump terhadap otoritas Cina atas penyebaran Covid-19, kemudian usaha mereka untuk mereproduksi mitos “virus Cina” dan istilah merendahkan lainnya, tidak muncul secara tiba-tiba. Apabila dilihat dari konteks perang dagang AS-Cina, ekspresi-ekspresi rasis tersebut tak lain merupakan cerminan atau ekstensi dari langkah agresif Washington untuk menekan Cina dan memudarkan citranya di panggung dunia. Melansir pandangan profesor antropologi di University of British Columbia, Hugh Gusterson, labelisasi “virus Cina” dari Trump sejalan dengan kebijakannya memusuhi Cina selama ini.
Kegusaran Trump terkait relasi dagang dengan Cina sudah terlacak sejak kampanye pilpres 2016. Trump berkoar-koar, betapa praktik dagang Cina merugikan pekerja Amerika. Dalam salah satu orasi, ia pernah mengecam kebijakan dagang Cina, “Tak bisa kita biarkan Cina memperkosa negara kita dan itulah yang sekarang mereka lakukan. Ini adalah pencurian terbesar dalam sejarah dunia.”
Dalam kampanye pilpres 2016, Trump berjanji akan memberlakukan tarif buat produk-produk Cina, agar defisit perdagangan AS-Cina bisa diperkecil. Dilansir dari dokumen rencana kerja sama dagang dengan Cina, terungkap, strategi yang ditawarkan Trump cenderung konfrontatif dan bersifat menghukum: mulai dari menyatakan Cina sebagai tukang manipulasi mata uang sampai mengecam Cina atas pencurian hak intelektual dan praktik-praktik dagang tidak adil.
Perang dagang resmi dimulai pada Juli 2018, ketika Amerika memberlakukan tarif 25 persen pada produk Cina, yang dibalas dengan langkah serupa oleh Beijing. Sampai akhir 2019, Amerika sudah menetapkan tarif kepada produk-produk Cina dengan total nilai USD 360 miliar. Di pihak Cina, tarif diterapkan pada komoditas Amerika yang nilainya mencapai USD 110 miliar.
Meskipun kesepakatan dagang tahap pertama terwujud pada awal 2020, ini masih berkecamuk sampai sekarang dan menyisakan masalah: Cina kesulitan membeli komoditas Amerika sesuai janjinya karena terkendala pandemi, sementara Amerika masih membebani tarif untuk produk Cina.
Belum lagi, perang dagang ini dinilai menimbulkan kerugian bagi ekonomi domestik, mengingat tarif sebenarnya dibebankan kepada pihak importir dari masing-masing negara.
Dalam hubungan yang serba tidak mengenakkan inilah dan selama pandemi Covid-19 berlangsung, sentimen anti-Cina digaungkan oleh administrasi Trump, yang kini berujung pada meningkatnya kejahatan kebencian terhadap etnis Cina di Amerika. (Sumber: tirto.id)