Oleh: Ardy Abba
Gebrakan Kejaksaan Negeri Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur memang harus diacungkan jempol. Hingga kini, kejaksaan yang dipimpin Robert Jimmy Lambila itu masih rajin “membabat” para kepala desa nakal di Kabupaten TTU.
Bayangkan, sejak tahun 2017 lalu, Kejari TTU sudah berhasil menjerat sedikitnya 8 kepala desa dalam kasus penyelewengan dana desa.
Dari total tersebut, 5 di antarannya sudah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana desa oleh Pengadilan Tipikor Kupang. Sedangkan 3 lainnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan masih dalam proses menuju meja hijau.
Total kerugian negara dari 8 kasus korupsi dana desa itu ditaksasi mencapai Rp 6.455.000.000 (enam miliar empat ratus lima puluh lima juta rupiah).
Lagi-lagi, Kejari TTU layak diberi apresiasi karena gebrakannya terus dijalankan di tengah angka kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang masih menjadi momok.
Berharap Kejaksaan di daerah lain di provinsi itu bisa mengikuti jejak Kejari TTU. Sebab, dana desa yang digelontorkan ke desa-desa tentu saja bermimpi mulia, yakni hadir untuk mengentas kemiskinan masyarakat.
BACA JUGA: Di Tengah Gempuran Dana ke Desa, Mengapa Anas Undik Tetap Miskin?
Sayangnya, gelontoran dana desa masih banyak yang tidak tepat sasaran. Dalam banyak kasus, program kerakyatan kades terpilih hanya disasarkan pada keluarga, kelompok dan pendukungnya.
Dampaknya, deretan kisah pilu warga miskin masih menjadi cerita klasik di NTT. Hidup di tengah kekurangan dan keterbatasan masih menjadi teman setia. Kemiskinan seolah tidak rela pergi.
Ribuan potret betapa cengkraman kemiskinan mematikan masa depan keluarga miskin. Kemiskinan masih menjadi fenomena yang membentang hampir seluruh daerah di NTT hingga kini.
Data Badan Pusat Statistik, misalnya, merilis persentase penduduk miskin Provinsi NTT pada Maret 2020 sebesar 20,90 persen.
Kondisi ini meningkat 0,28 persen poin jika dibanding pada bulan September 2019 dan menurun 0,19 persen poin terhadap Maret 2019.
Kemudian, jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 1.153,76 ribu orang. Meningkat 24,3 ribu orang dibanding September 2019 dan meningkat 7,44 ribu orang dari Maret 2019.
Data tersebut tentu saja tidak berbanding lurus dengan cita-cita pemerintah.
Pemerintah mengklaim banyak program pengentasan kemiskinan yang sudah digelontorkan ke tengah masyarakat.
Sebut saja, misalnya, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan lain-lain.
Selain itu, ada juga dana desa yang diproyeksi oleh pemerintah bisa meretas kemiskinan.
Namun gempuran banyak dana dari berbagai program yang masuk ke desa ini tidak banyak membawa perubahan. Persentasi angka kemiskinan di NTT masih bertengger aman, bahkan cenderung meningkat.
Satu soal yang menjadi alasannya sudah ditemukan. Kejari TTU sudah menunjukkannya bahwa ternyata korupsi sudah merajalela di level desa. Itu sebabnya, masyarakat miskin tetap miskin, sedangkan bos-bos di desa tambah gendut.
Korupsi dana desa sebenarnya tidak hanya terjadi di NTT, dalam skala nasional juga demikian. Data Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, menyebut sejak 2015 hingga 2020, terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa.
Data ini menunjukan bahwa praktik korupsi marak dilakukan oleh perangkat desa setelah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pihak swasta.
Presiden Joko Widodo pun menyinggung soal penyelewengan dana desa.
Dilansir DetikNews, Jokowi menyebut ada 900-an lebih dari total 7.400 kepala desa di Indonesia yang ditangkap polisi karena perkara itu.
Menurut Presiden, dalam penyaluran dana desa, seharusnya masyarakat diajak bermusyawarah. Keterlibatan masyarakat soal penyaluran dana desa dinilainya sangat penting.
Kita kembali ke NTT. Kejari TTU sudah memulai membuka jejak baik. Pengelolaan dana desa di kabupaten itu sebenarnya menjadi kaca yang bisa dilihat oleh aparat penegak hukum lainnya, sehingga cita-cita di balik penyaluran dana desa di NTT dapat terwujud. Semoga!