Oleh: Ardy Abba
Huru-hara akibat pandemi Covid-19 masih saja terjadi. Cengkeraman virus asal Wuhan China itu terus merongrong ruang gerak kesehatan masyarakat kita.
Angka pasien positif pun terus melaju. Rasa kepanikan hingga kini masuk pada fase genting. Sayangnya, ulah manusia di Kabupaten Timor Tengah Utara malah menambah deretan benih-benih beban kesehatan akibat Covid-19.
Manusia tidak bertanggung jawab membuang begitu saja limbah medis di kawasan hutan Tatub, Desa Tublopo, Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten TTU.
Terpantau VoxNtt.com, Rabu (30/06/2021), di kawasan hutan yang selama ini dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah tersebut limbah medis berserakan. Itu antara lain masker, sarung tangan, botol infus, serta dus bekas obat-obatan.
BACA JUGA: Limbah Medis Berserakan di Hutan Tatub, Bupati TTU Segera Panggil Kadinkes
Padahal kita pasti tahu bahwa sampah atau limbah yang dihasilkan dari setiap para dokter baik di rumah sakit, puskesmas dan poliklinik usai digunakan bakal menghasilkan biohazard.
Biohazard sendiri adalah organisme, atau zat yang berasal dari organisma, yang menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia. Hal ini dapat mencakup limbah medis, sampel virus, mikroorganisma atau racun yang dapat berdampak pada kesehatan manusia dan hewan.
Bupati TTU Juandi David saat dikonfirmasi VoxNtt.com mengakui untuk penanganan limbah medis hingga saat ini belum tertata baik.
Bupati Juandi pun berjanji akan segera memanggil Kepala Dinas Kesehatan untuk membicarakan terkait pengelolaan limbah medis.
Pemanggilan tersebut, kata dia, agar ke depan pengelolaan limbah medis harus lebih diperhatikan, sehingga tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
“Seperti yang kita lihat hampir semua puskesmas buang sembarang saja (limbah medis), untuk itu nanti tata caranya untuk tempat pembuangan, pemusnahannya bagaimana akan kita bicarakan dalam 1 atau 2 hari ini,” tuturnya.
Bupati Juandi seharusnya tidak menganggap pembuangan limbah medis di hutan Tatub bukan sesuatu yang genting. Apalagi terlarut lama dalam urusan internal birokrasi, semisal memanggil dan berdiskusi dengan Kepala Dinas Kesehatan TTU.
Mestinya sebagai bupati, dia harus gerak cepat dalam mengatasi limbah medis agar tidak menambah deretan pemicu gangguan kesehatan masyarakat. Apalagi secara umum, limbah medis masuk kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Bupati Juandi mesti sigap merumuskan kebijakan agar sampah medis tersebut dibuang pada tempat khusus seperti insinerator atau mesin pembakar limbah medis dan non medis.
Bila perlu Bupati Juandi mesti menjadi pelopor untuk mendorong persoalan limbah medis di hutan Tatub ke ranah hukum, agar pelakunya bisa dijerat.
Jika demikian langkahnya, maka publik mesti beramai-ramai mengacungkan jempol kepada Bupati Juandi.
Apalagi, para pelaku pembuangan B3 secara sembarangan bisa diberi sanksi pidana dengan berpijak pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di sana diatur bahwa jika yang dibuang tersebut adalah obat-obatan kedaluwarsa dan kemasan obat-obatan yang merupakan limbah berbahaya, maka bisa terkena pidana.
Pada Pasal 60 UU Nomor 32 Tahun 2009 ini, misalnya, menyebut setiap orang yang melakukan dumping (pembuangan) limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Setelah menyodorkan beberapa dampak dan rujukan hukum, selanjutnya publik tentu saja menunggu sikap bupati. Apakah dia tegas menegakan aturan, atau malah “menari-nari” di atas urusan internal birokasi yang berbelit-belit. Semuanya ada di tangan Bupati Juandi.