Oleh: Ardy Abba
Wajah pendidikan di Manggarai, NTT sedang dirundung duka. Jantung kemajuan yang namanya pendidikan itu sedang dirongrong ulah oknum.
Akibatnya, pendidikan yang merupakan ujung tombak untuk menciptakan perkembangan dan kemajuan di Manggarai saat ini sedang diguncang rasa duka. Ada pasalnya.
Gebrakan penegakan hukum Kejaksaan Negeri Manggarai menjadi titik awal kehebohan, bagaimana dugaan tindakan korupsi ternyata bertumbuh subur di lembaga pendidikan.
Pada 1 Juli 2021 lalu, Kejari Manggarai mulai menunjukan geliat pemberantasan korupsi di lembaga pendidikan. Publik pun terkejut.
Apalagi berita media mainstream berseliweran setelah Kejari Manggarai melakukan penggeledahan di Kantor Dinas Pendidikan setempat.
Tim satuan khusus pemberantasan korupsi Kejari Manggarai menggeledah untuk mencari dokumen barang bukti terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi Dana Bos SMP Negeri 1 Reok, Kecamatan Reok tahun 2017 sampai 2020.
Dalam aksi tersebut Kejari Manggarai menyeret tersangka Kepala SMP Negeri I Reok HN (59) sebagai penanggung jawab dan pengguna dana BOS dan MA (43), bendahara dana BOS. Dalam kasus dugaan korupsi tersebut negara ditaksasi mengalami kerugian sebesar Rp839 juta.
Walaupun belum ada keputusan hukum tetap di balik kasus dugaan korupsi dana Bos tersebut, namun hal ini sebenarnya sebuah sinyal elemen bagaimana korupsi telah lama menampar wajah pendidikan di Manggarai.
Korupsi merupakan ancaman yang serius. Tragisnya lagi, korupsi telah masuk ke setiap relung kehidupan, termasuk lembaga pendidikan yang seharusnya sebagai wadah membentuk moral force.
BACA JUGA: Gerakan Kejari Manggarai: Antara Lawan “Tumor Ganas” Korupsi dan Sikap Apatis Masyarakat
Gebrakan kejaksaan yang dipimpin Bayu Sugiri itu memang perlu didukung. Apalagi upaya itu dilakukan di tengah mindset publik yang telah lama tertanam, bahwa model-model korupsi di lembaga pendidikan memang sulit dihentikan. Mengapa? Karena berbeda dengan korupsi di lembaga lain yang kebanyakan modusnya ialah, penyelewengan anggaran atau dalam bentuk penggelembungan anggaran.
Tidak jarang orang menyebut korupsi di lembaga pendidikan semu, dan sejatinya mengandung potensi bahaya lebih tinggi.
Jika korupsi anggaran hanya merugikan negara dalam bentuk uang, korupsi di lembaga pendidikan merugikan secara ekonomi dan non-ekonomi seperti merusak mental dan masa depan siswa.
Publik mesti perlahan belajar terkait modus korupsi dana Bos. Sebut saja, misalnya, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Juknis Penggunaan Dana Bos Reguler mengatur terkait honor pendidik dan tenaga pendidikan.
Pasal 13 mengatur pembayaran honor digunakan paling banyak 50% (lima puluh persen) dari keseluruhan jumlah alokasi Dana Bos Reguler yang diterima oleh sekolah.
Pembayaran honor tersebut diberikan kepada guru dengan persyaratan: berstatus bukan aparatur sipil negara; tercatat pada Dapodik; memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan; dan belum mendapatkan tunjangan profesi guru.
Mari kita cek di sekolah kita masing-masing, apakah pelaksanaannya sesuai Juknis atau tidak. Atau malah menyimpang. Ini hanya satu dari sekian modus penyelewengan dana Bos di lembaga pendidikan.
Ke Mana Komite?
Kasus dugaan korupsi SMP Negeri 1 Reok yang saat ini ditangani Kejari Manggarai sebenarnya mulai membuka tabir gelap korupsi di lembaga pendidikan. Tentu aparat penegak hukum tidak bisa berjalan sendiri tanpa keterlibatan semua pihak.
Ketua Transparency International Delia Ferreira mengatakan, “People’s indifference is the best breeding ground for corruption to grow”. (Ketidakpedulian masyarakat adalah tempat berkembang biak terbaik bagi tumbuhnya korupsi).
Delia Ferreira ada benarnya. Salah satu pihak yang diharapkan dalam mengontrol sekolah adalah komite. Kita mesti sepakat bahwa peran komite lebih tinggi untuk memberikan pertimbangan dalam penggunaan dana Bos.
Peran komite sekolah sebagai pemberi pertimbangan (advisory), sebagai pendukung (supporting), sebagai pengontrol (controlling) dan sebagai penghubung (mediator) dalam pengelolaan dana Bos.
Komite sekolah sebenarnya berperan tidak saja memiliki tanggung jawab etis saja, tetapi merupakan amanah peraturan.
Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 Pasal 3 ayat (1) disebutkan, komite sekolah juga bertugas memberikan pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan terkait; 1). Kebijakan dan program sekolah; 2). Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah/Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RAPBS/RKAS); 3). Kriteria kinerja sekolah; 4). Kriteria fasilitas pendidikan di sekolah; dan 5). kriteria kerja sama sekolah dengan pihak lain. Termasuk juga pengawasan kinerja sekolah, serta menindaklanjuti keluhan, saran, kritik, dan aspirasi dari peserta didik, orangtua/wali, dan masyarakat.
Lantas apakah tugas komite sekolah di Manggarai berjalan sesuai amanah Permendikbud tersebut? Atau malah apatis dan bahkan terlibat konspirasi dengan pihak pengelola dana Bos. Ini tidak sedang menuduh, tetapi sebagai bahan permenungan saja.