Kupang, Vox NTT- Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) St. Agustinus Fisip Undana Kupang mengandeng Bimas Katolik Kementerian Agama RI menggelar workshop selama dua hari, 16-17 September 2021.
Workshop yang digelar di Aula Paroki Asumpta Kupang tersebut dihadiri 30 mahasiswa. Workshop dibuka secara langsung oleh Pastor Pembina Keuskupan Agung Kupang Romo Hiro Nitsae.
“20 orang dari KMK Fisip, 5 orang dari Poltek sisanya 5 orang dari KMK IP Undana,” ungkap Ketua Umum KMK St. Agustinus Fisip Undana Eliasandro Martins Najong, Kamis (16/09/2021).
Materi workshop, kata dia, disampaikan mulai jam 9 hingga jam 3 sore. Dalam sehari diisi dengan tiga materi.
Menurut Sandro, sapaan Eliasandro Martins Najong, workshop sangat penting bagi mahasiswa katolik.
Kegiatan ini dipandang sebagai bentuk internalisasi nilai moderasi agama Katolik di kalangan mahasiswa.
“Bagus sekali karena untuk membangun konsepsi mahasiswa bisa hidup secara toleransi, aman dan damai baik di kampus maupun di masyarakat,” ujar Sandro.
Ia menegaskan, situasi sekarang ini dihadapkan dengan berbagai tantangan keagamaan. Apalagi ada ancaman dari aliran-aliran tertentu untuk mengubah ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila.
“Maka melakukan kegiatan ini ke depan kita bisa hidup secara damai dan harmoni,” imbuhnya.
Sementara itu, penanggung jawab umum sekaligus Dosen Pembina KMK Fisip Undana Herman Utang mengatakan, ada banyak target yang ingin digapai dalam kegiatan workshop tersebut.
“Kita lihat paling jauh kenapa internalisasi agama katolik itu perlu. Persoalannya ada banyak dikotomi, ada banyak warisan-warisan yang mengalami pergeseran karena arus globalisasi. Seperti mengalami masalah stagnan,” kata Herman.
Menurut dia, orang muda khususnya mahasiswa sangat muda dibelokan karena internalisasi tidak ditanamkan dengan baik.
Sebab itu, pihaknya mendorong mahasiswa untuk belajar internalisasi nilai bukan hanya di kampus. Hal ini bertujuan agar para mahasiswa militan dengan perkembangan-perkembangan baru.
“Tujuan dekatnya adalah menangkis radikalisme. Paling tidak mereka lebih kritis untuk menerima. Kita anggap sebagai alat bantu untuk menanamkan nilai-nilai kasih,” imbuhnya.
Herman menambahkan, pemateri yang hadir dalam kegiatan tersebut berasal dari gereja dan akademisi.
Pihaknya ingin agar perspektif agama katolik melihat moderasi, baik mahasiswa maupun dosen-dosen katolik.
“Arah kita coba melihat bagaimana moderasi itu ditanamkan supaya bagaimana pendidikan agama itu tidak monolog tetapi dialog,” katanya.
Target lebih luasnya, lanjut dia, merencanakan kegiatan ke depannya bisa menghimpun lebih banyak lagi mahasiswa tidak hanya di kalangan katolik tetapi juga agama agama lain.
“Mesti keluar karena perjumpaan perjumpaan di masyarakat itu memicu banyaknya perbedaan,” pungkasnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba