Kupang, Vox NTT-Dalam rangka menyambut puncak dies natalis ke-39 yang jatuh pada tanggal 24 September 2021, Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang menggelar kegiatan ilmiah dalam bentuk webinar.
Kegiatan yang digelar selama dua hari ini akan menghadirkan para pemikir dari berbagai Fakultas.
Pada Rabu (22/09/2021), webinar hari pertama dilangsungkan di Aula Kantor Yayasan Unwira, Gedung Rektorat Lantai 3, Penfui.
Webinar dimoderatori oleh Dekan FISIP Unwira Marianus Kleden, dengan mengusung tema, “Webinar Urun Rembuk dalam Pembangunan Bangsa di Masa Pandemi: Unwira Dulu, Sekarang dan Yang akan Datang”
Wakil Rektor I Unwira Yosep Lay Nurak, dalam opening statement untuk membuka kegiatan webinar menegaskan, kegiatan webinar tersebut diselenggarakan dalam rangka merayakan dies natalis Unwira ke- 39.
Webinar juga merupakan rangkain kegiatan menyongsong dies natalis ke-40 Unwira pada tahun 2022 mendatang.
“Unwira menghadirkan pemikir-pemikir Unwira untuk urun rembuk sebagai refleksi atas perjalanan panjang Unwira selama 39 tahun ini,” kata Yosep.
Kegiatan ini sekaligus juga untuk memberi kontribusi dalam pembangunan terutama pada masa di bawah tekanan pandemi Covid-19.
“Sebagai lembaga Pendidikan Tinggi, Unwira juga membutuhkan kritik dari berbagai pihak, baik itu mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, masyarakat, alumni, maupun user,” ujarnya
Karena itu, kata dia, webinar juga menghadirkan Bupati Lembata mewakili unsur-unsur masyarakat, alumni dan user.
Menurut Yosep, hasil webinar dapat menjadi masukan bagi Unwira dalam meningkatkan kualitas dan merekonstruksi perannya dalam pembangunan bangsa.
Sebagai informasi Webinar yang akan berlangsung selama dua hari, yaitu tanggal 22 dan 23 September 2021 ini menghadirkan beberapa pembicara.
Untuk hari pertama, pembicara yang tampil mempresentasikan pemikiran mereka adalah P. Dr. Philipus Tule, SVD, Rm. Dr. Oktovianus Naif, Pr. Dr. M.E. Perseveranda, SE.,M.Si, dan pembicara ke-4 adalah Ir. Rani Hendrikus, MT dan ditutup dengan materi dari Pembicara ke- 5, Yoseph Andreas Gual, S.Sos.,MA.
Dalam beberapa sesi, para peserta terlihat antusias bertanya dan memberi tanggapan atas materi-materi yang disampaikan para pembicara.
Dr. Okto Naif yang berbicara dari perspektif filsafat terkait bagaimana frustrasinya manusia menghadapi pandemi Covid-19.
Pastor Okto mencoba memberi sebuah tesis filosofis dengan mengemukakan bahwa filsafat bisa memberi jalan keluar terkait pandemi.
Caranya menurut dia, adalah dengan mengubah cara pandang terhadap pandemi dan penderitaan yang diakibatkan olehnya.
Ada tiga pendekatan untuk membaca penderitaan termasuk derita akibat pandemi Covid-19.
Pertama, sebut Pastor Okto, adalah jalan anastesis, yaitu berjuang untuk mengabaikan hal yang tidak penting.
Kedua adalah destruksi estetika, yaitu mencoba untuk melawan penderitaan dengan cara seni.
Kata dia, manusia bisa melawan pandemi tidak dengan amarah dan kekuatan, tetapi dengan estetika atau perasaan seni.
“Misalnya dengan melihat kegiatan cuci tangan itu sebuah seni. Memakai masker itu sebuah seni. Dan jaga jarak itu sebuah seni bertindak. Sehingga, tanpa konfrontasi, Covid justru dilawan dengan seni. Termasuk semua aturan pandemi dimaknai sebagai sesuatu yang estetis atau seni,” katanya.
Pembicara berikutnya, Dr. Perseveranda mencoba menyoroti masalah kemiskinan di NTT.
Ia mengemukakan ide tentang strategi penanggulangan kemiskinan di NTT.
Menurutnya, kemiskinan di NTT harus ditangani dengan serius.
Ukuran kemiskinan itu bisa dilihat dari pemenuhan kebutuhan pokok, di mana untuk NTT ukuran nominalnya adalah Rp403 ribu per bulan.
Pendapatan per kapita per orang itu wajib dilampaui agar tidak miskin. Jika di bawah angka tersebut maka tentu saja kategori miskin.
Sehingga menurut Perseveranda, orang miskin di NTT adalah mereka yang butuh perhatian pemerintah, gereja dan semua pihak.
“Kalau kita tidak bisa memberi makan kepada 100 orang, maka kita cukup memberi makan kepada satu orang,” demikian kata Bunda Teresa dari Kalkuta, sebagai disampaikan kembali oleh Perseveranda.
Di NTT, lanjut dia, jika menggunakan persentase kemiskinan maka wilayah TTS, Sumba Raya dan Sabu Raijua, menyumbang angka kemiskinan tertinggi.
Menurut Perseveranda, strategi penanggulangan kemiskinan yang harus digunakan adalah penguatan sistem jaminan sosial nasional, pengutan fungsi pendampingan dalam melaksanakan program bantuan sosial, pengembangan integrasi dan digitalisasi bantuan sosial, penguatan sistem perlindungan sosial, dan peningkatan kesejahteraan sosial bagi kelompok rentan.
Pemateri lain, Ir. Hani Hendrikus dalam pemaparannya tentang bencana dari perspektif ilmu teknik, menegaskan sebuah tesis menarik bahwa: “bencana adalah laboratorium terbuka untuk belajar banyak hal. Dan tidak ada bencana yang sia-sia dalam peradaban manusia”.
Yang ingin ditekankan di sini, kata Hendrikus, adalah bahwa selalu ada kekuatan super yang muncul di tengah ancaman.
Pembicara terakhir, Yoseph Andreas Gual membahas sebuah konsep menarik tentang komuniksi krisis.
Menurut Gual, ke depannya, dengan belajar dari pandemi Covid-19, Unwira sebagai lembaga Perguruan Tinggi sangat membutuhkan unit khusus yaitu Divisi Humas yang bisa menangani komunikasi krisis.
Sebab, krisis adalah situasi yang tidak terduga. Sebab itu, harus ada manajemen isu agar semua pihak bisa dikendalikan dengan manajemen isu yang baik dan tepat.
Menurut Gual, yang juga Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unwira ini, jika setiap isu tidak direspons secara baik maka akan masuk ke level krisis.
Artinya, belajar dari berbagai situasi krisis, isu yang tidak di-manage secara baik akan berpotensi berkembang menjadi krisis. Dan jika situais krisis ini tidak segera diatasi, maka otomatis akan menggangu kinerja dan reputasi perusahaan.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba