Mbay, Vox NTT-Marsel Ladho, Kepala Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa Kabupaten Nagekeo, menyampaikan pernyataan kontroversial terkait kisruh pembangunan waduk Lambo.
Bermula dari aksi suku Kawa yang menyegel kantor desa pada 23 September 2021 lalu, sang Kades mengancam akan mempersoalkan area persawahan yang selama ini digunakan masyarakat suku Kawa karena berada di atas tanah adat masyarakat Labo.
“Karena mereka olah sawah kan di ulayat Lambo. Kami tidak akan omong waduk lagi tapi kami akan omong soal ulayat. Karena omong soal waduk itu cukup orang Kawa dan suku Nakarobho,” kata Marsel Ladho ketika dihubungi VoxNtt.com pekan lalu.
Ladho mengatakan, rencana mempersoalkan kembali status tanah sawah masyarakat Kawa di tanah ulayat Lambo karena tidak terima poin ke tujuh pada surat pernyataan sikap masyarakat Kawa, di mana dirinya didesak untuk mundur dari jabatannya.
BACA JUGA: Pembangunan Waduk Lambo: Berkontrak di Atas Gejolak
Pernyataan kontroversial Marsel Ladho itu disampaikan sebagai buntut dari konflik kepemilikan tanah antara masyarakat adat suku Kawa, suku Lele dan suku Labo dengan para pihak yang bertanggung jawab terhadap pembangunan waduk Lambo.
Kisruh mencuat setelah warga tiga Suku menyadari kalau nama mereka tidak tercantum sebagai pemilik lahan di lokus calon waduk Lambo.
Padahal sejak rencana pembangunan waduk Lambo mulai digaungkan kembali pada 2016, mereka menjadi masyarakat adat yang turut berkontribusi memberikan tanah dan surat pernyataan dukungan agar waduk Lambo dapat segera dibangun.
Namun, sebagai kepala desa, Ladho dituding tidak mampu mengakomodasi hak masyarakat adat dan bahkan juga dituding ikut bermain memanipulasi data kepemilikan lahan.
Ketiga suku kemudian membuat 7 item pernyataan sikap yang pada poin ketujuhnya mendesak kepala desa untuk mundur dari jabatannya.
Ladho berkilah, urusan identifikasi dan pengadaan lahan merupakan wewenang penuh badan pertanahan nasional bukan wewenang Pemerintah Desa Labolewa.
“Jalur yang pas itu adalah ya kalau SK pengadaan tanah kan SK Gubernur, yang tentunya melalui BPN ya BPN Provinsi perpanjangan tangannya ke BPN Nagekeo. Kalau memang demo ya harusnya ke BPN Nagekeo bukan ke kepala desa,” kata Ladho.
Aksi protes atas perjuangan masyarakat itu kemudian direspons oleh Kepala Desa Labolewa dengan mempolisikan empat orang yang diduga menjadi otak di balik penyegelan kantor desa Labolewa pada 23 September 2021 lalu.
Mereka yang dipolisikan kades Ladho yakni Wilhelmus Napa, Urbanus Papu, Hengky Kota dan Vinsensius Penga.
Informasi terbaru, saat ini Kades Labolewa sudah tidak mempersoalkan lagi masalah penyegelan itu. Laporan polisi kepada empat orang tersebut juga dikabarkan telah ditarik oleh sang Kades.
Sementara, Dominikus B. Insantuan, Kepala Badan Pertanahan Nasional Nagekeo saat dikonfirmasikan VoxNtt.com, Minggu (04/10/2021), memastikan tidak ada data yang dimanipulasi oleh BPN terkait identifikasi dan pengukuran lahan.
Dalam urusan identifikasi lahan, kata dia, pendataan status dan kepemilikan tanah di lokasi waduk Lambo, BPN tetap berpatok pada data penunjukan lokasi berdasarkan peta sebelumnya.
“Kalau nama mereka tidak ada, berarti tanah mereka tidak masuk dalam area waduk,” bebernya.
Selama proses pendataan, BPN Nagekeo telah mengikuti semua prosedur dalam mendata bidang-bidang tanah dan pemiliknya.
Hasil dari identifikasi, pengukuran dan inventarisasi itu kemudian dipajang di kantor desa, kantor camat dan di kantor BPN Nagekeo selama 14 hari.
Tujuannya ialah bila masih ada pihak-pihak yang keberatan dengan hasil identifikasi, pengukuran dan diinventarisasi tanah di lokasi waduk, BPN Nagekeo memberikan waktu selama 14 hari kepada para pihak tersebut untuk segera berunding dan hasilnya dibuat dalam bentuk berita acara agar dapat ditindaklanjuti oleh BPN Nagekeo.
Penulis: Patrick Romeo Djawa
Editor: Ardy Abba