*Cerpen
Oleh: Marselus Natar
Setelah melalui masa-masa retret selama tujuh hari, tibalah waktunya untuk melanjutkan sebuah agenda rohani lanjutan. Rangkaian agenda rohani dimaksud merupakan syarat mutlak untuk mengikuti pembaruan kaul kebiaraan.
Tahun ini, aku mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan untuk ketiga kalinya. Adapun agenda rohani lanjutan tersebut hanya berlangsung tiga hari sebagaimana tradisi yang dipelihara dan dijaga dalam kehidupan membiara.
Kegiatan tersebut lazim disebut dengan istilah triduum. Istilah ini barangkali diadopsi dari istilah triduum dalam
konteks Paskah yakni tiga hari menjelang paskah (Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Suci).
Entahlah, aku tidak mau mengambil pusing terkait apa dan bagaimana frasa triduum itu. Aku lebih memikirkan ihwal proses di balik kegiatan tersebut.
Apakah aku sungguh-sungguh setia, tekun dan sabar di dalam berproses sehingga menguburkan kebiasaan buruk seperti suka bersungut-sungut, protes, ngeyel dan lain sebagainya yang bercokol dalam darah-dagingku. Inilah perang terbesar dan paling pelik yang sering kuhadapi dalam perziarahan hidup ini.
Engkau bisa lolos dari seribu satu musuh dalam sekejap dengan caramu sendiri, namun dapatkah dalam sekejap dengan caramu sendiri, untuk merdeka dan lolos dari musuh yang adalah dagingmu sendiri?
Matahari bersinar terang di balik rimbun pohon-pohon gelodok di samping jendela kamar. Mesin kendaraan tua, bermerek Mitsubishi L300 telah dipanaskan beberapa menit yang lalu.
Segala perlengkapan mandi, pakaian, benda-benda rohani, peralatan dapur, peralatan makan minum, segera aku masukan ke dalam mobil. Beberapa menit kemudian, aku pun beranjak menuju tempat triduum, dengan jarak tempuh sekitar tujuh puluh lima menit jauhnya.
Mitsubishi L300 itu kerap kali mengeluarkan bunyi yang tidak enak didengar, tersengal-sengal seperti orang yang terkena asma atau tuberkulosis. Jam menunjukkan pukul lima belas ketika aku sampai di tempat tujuan kegiatan.
Di sini, pepohonan, burung-burung, segala jenis binatang melata, rusa, monyet, semak belukar, sungai, bebatuan bagai hidup berdampingan, penuh kerukunan, kedamaian, cinta dan kasih.
Mereka tidak mengenal teori sosiologi, kewarganegaraan, antropologi, teologi, moral dan lain sebagainya, yang barangkali menunjang sikap dan perilaku mereka dalam berkehidupan.
Aku melihat, sesekali burung-burung tekukur bertengger di tanduk rusa, burung-burung pipit hinggap di pundak beberapa monyet, ular-ular berenang di samping katak dalam sebuah kubangan kecil.
Sementara gemercik aliran air sungai Kerit bagai melodi. Aku seolah-olah sedang berada di dunia mimpi, atau semacam sebuah kedahsyatan imajinasi dalam ruang kepala.
Tetapi sesungguhnya, aku sedang berhadapan dengan fakta, tentang realitas kehidupan segala makhluk di sebuah lembah sepanjang bantaran sungai Kerit.
Suatu petang, pada hari pertama kegiatan triduum tersebut, aku meluangkan waktu untuk mengamati dan menyaksikan secara dekat ihwal panorama alam, dengan menyusur bantaran sungai Kerit, menjamah segala sesuatu yang terjangkau tangan.
Setelah menyusur bantaran sungai Kerit selama hampir enam puluh menit, aku lalu memilih untuk istirahat sejenak di atas sebuah batu berukuran besar yang berada di tepi sungai Kerit. Karena sedikit lelah, aku lalu memutuskan untuk membaringkan tubuhku di atas batu tersebut.
Sedangkan angin berhembus
sepoi-sepoi, butir-butir embun yang jatuh dari dedaunan bagai membasuh sekujur tubuhku, gemercik air, cuitan burung-burung, serta aneka suara-suara lainnya bagai nyanyian pengantar tidur.
Tidak lama berselang, aku tiba-tiba tertidur di atas batu tersebut. Dalam tidurku, aku bermimpi menyaksikan seekor monyet raksasa, berbadan besar seperti para misionaris Eropa, sedang berdiri di atas sebuah batu bundar.
Kedua tangannya masing-masing memegang secarik kertas berukuran sedang, lebih kecil dari ukuran kertas folio. Sambil berdiri, ia mulai berbicara, dengan volume suara yang terdengar keras dan berwibawa.
Satu dua kalimat awal pembicaraannya, terdengar seperti pengantar sebuah kotbah. Sembari mendengarkan pembicaraannya, aku melayangkan pandanganku pada situasi dan keadaan sekitar.
Betapa aku tertegun, menyaksikan pepohonan merunduk bagai padi. Tidak lama berselang, aku menyaksikan seekor ular piton berukuran besar, seukuran paha manusia dewasa, berada persis di hadapan monyet raksasa tersebut.
Sedangkan di samping monyet raksasa itu, berdiri seekor burung gagak hitam, jari-jari kakinya menggenggam sebuah batu berbentuk lancip.
“Inilah hukuman yang telah diwariskan moyang kita, dalam ajaran agama kita, dalam tradisi dan adat-istiadat kita, bahwa setiap kita yang dengan tahu dan mau berusaha merusak relasi di antara kita, hendaklah diberikan sanksi berupa pemotongan salah satu dari anggota tubuhnya. Bukan bermaksud membinasakan nyawanya, tetapi biarlah ia merasakan hal setimpal sesuai dengan perbuatannya. Kita mengutamakan kehidupan yang harmonis, rukun,damai, penuh cinta dan kasih. Tetapi mengapa dikau menodai kesakralan apa yang kita perjuangkan untuk diutamakan?”
Suara yang keluar dari mulut monyet raksasa itu bagai berkarisma, sehingga tiada terdengar suara apa pun. Sungai Kerit bagai berhenti mengalir, desau angin pun nyaris tak terdengar.
Monyet raksasa itu kemudian mengambil batu berbentuk lancip yang sebelumnya berada dalam genggaman burung gagak hitam, lantas memotong ekor ular piton tersebut hingga putus.
Setelah seremonial pemotongan ekor ular piton tersebut, sekali lagi monyet raksasa itu memberikan semacam renungan singkat, “Yang berkuasa atas langit dan bumi pun menghendaki kerukunan, kedamaian, cinta dan kasih dalam kehidupan kita, Ia juga marah, jika apa yang dikehendaki-Nya jauh dari apa yang diharapkan. Sanksi yang telah kuberikan kepadamu adalah tanda cinta dan kasih kami kepadamu, agar engkau kembali pada kebenaran. Tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita, oleh agama kita, dalam adat-istiadat kita, mutlak diberlakukan agar tidak kering di bawah terik matahari, tidak hilang dalam terpaan angin, tidak karat dalam genggaman waktu. Aturan mesti ditegakkan agar tidak diinjak-injak oleh kesombongan, keangkuhan, kearoganan, kebebalan, kekuasaan dan kewenangan.”
Kata-kata yang terucap dari mulut monyet raksasa itu sangat berwibawa. Beberapa waktu berselang, monyet raksasa itu lalu meninggalkan tempat itu. Situasi dan keadaan alam sekitar pun kembali normal. Burung-burung bercuitan di atas reranting bagai bersahutan.
Tidak pelak, segala jenis hewan lainnya bersuara sesuai dengan bunyi yang menjadi kekhasan masing-masing, gemercik aliran air sungai Kerit pun terdengar keras, lalu terjagalah aku dari tidur yang panjang itu.