Oleh: Alfaro Manhitu
Hati Nurani yang hidup akan membuat seseorang sadar telah berbuat kesalahan dan semangat untuk memperbaikinya sehingga kesalahan tidak akan terulang lagi (Andy F. Noya).
Dewasa ini polemik-polemik seputar kasus korupsi juga koruptor masih dan tetap hangat diperbincangkan. Manusia-manusia yang saling mementingkan masing-masing kehidupannya sendiri yang seolah sudah hilang rasa kepekaan pada kehidupaan orang-orang disekitarnya.
Masa bodoh dengan nasib orang-orang di sekitarnya. Korupsi adalah salah satu bagian akar penting dari semua permasalahan yang sedang kita hadapi saat ini.
Atas pernyataan singkat ini, timbul pertanyaan beruntun sebagai bentuk penolakan juga untuk merangkul kembali fiur-figur yang telah jatuh dalam jurang ketidakadilan (koruptor).
Di manakah titik letak hati nurani dalam rana perpolitikan saat ini?
Adakah dan masihkah politik berkarya dalam arahan hati nurani?
Melihat dan menerawang kasus seperti ini kembali saya teringat akan peribahasa China ini: “ketika kita melihat karakter orang-orang yang bertentangan dengan kita, kita seharusnya melihat dan menilai karakter diri kita sendiri.” “Lupakan kesalahan tetapi jangan pernah melupakan kebaikan” (confucius).
Pepatah ini sebenarnya punya makna dan kontribusi lebih apabila direalisasikan dalam tindakan kehidupan sehari-hari. Namun, ketika terabaikan dan menyimpang dari kekuatan hati nurani maka tidak lain tidak bukan hidup akan terasa gersang dalam perjalanan meniti hidup.
Di masa- masa ini, kerap terdengar julukan “Tikus-tikus kantor”, untuk manusia, sudah hampir berarti bahwa politik kehampaan atau kehampaan dalam berpolitik. Yang menjadi sorotan yakni anehnya, kehampaan berpolitik ini didramakan oleh para elit politik yang berpendidikan.
“Hati nurani” boleh jadi menimbulkan pesan dan kesan, politik hanya jadi misteri tanpa rahmat. Politik menurut filsuf Italia, Antonio Gramsi, adalah medan kotor dan berlumuran darah.
Dari pernyataan ini, saya pun merasa tidak simpatik dengan para kaum politik yang karena perilaku bodoh dan korup para politisi jadi alergi dengan keadilan.
Tentu hal demikian akan menjadi lebih parah lagi ketika mereka tak sedikit pun merasa kecewa dengan politik yang tidak berhati nurani.
Inilah kebiasaan buruk para elit politik yang tidak pernah peka dengan keadaan dan situasi bangsa dan masyarakat, namun lebih tertarik dan tergila-gila pada politik uang atau politik perut (money politics), dan minus moral. Inilah sebuah masa kelam yang tak kunjung cerah.
Kekerasan dalam bidang politik yang melahirkan keterasingan. Dan inilah Indonesia, yang merdeka dalam politik namun kehilangan kedaualatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri.
Pertarungan politik meniti klimaksnya terus mengalami goncangan yang datang dari berbagai pihak. Inilah sebuah kesulitan yang dihadapi demi penegakan keadilan yang sangat serius dan rumit, sehingga tidak cukup satu atau dua dekade untuk mengatasinya, melainkan lebih dari satu generasi elit penguasa di berbagai sektor yang selama ini masih berpentas dalam dunia perpolitikan.
Kesulitan lain yang dihadapi dewasa ini, yaitu tertutup pintu hati nurani “manusia” yang bertentangan dengan hak-hak Allah dan dasar negara (Pancasila). Inilah suatu kejahatan dunia. Sesuatu yang menakutkan menyeruak dari “pertandingan liar” ini.
Yang di dalamnya terjadi pencampur adukan, yang membuat orang masuk dalam suatu disorientasi nilai. “Dunia menghancurkan semua orang, dan setelah itu, banyak yang menjadi kuat di tempat-tempat yang hancur” (Ernest Hemingway).
Hasil dari “pertandingan liar” yang membuat manusia melakukan berbagai aksi kejahatan. Sebuah praktik hidup yang salah, di mana yang kaya terus menjadi kaya, sedangkan yang miskin semakin tertinggal dalam keterpurukan.
Perlu disadari bahwa, dengan melakukan suatu tindak korupsi kita telah melanggar nilai yang sangat mendasar dari pancasila. Yakni nilai moral dan nilai hukum.
Pancasila sebagai pandangan hidup juga jati diri dan filsafat hidup bangsa Indonesia adalah strategi dalam menghadapi gelombang permasalahan yang semakin meresahkan.
Dengan sebuah tindak korupsi maka seseorang telah melakukan penyimpangan mengenai etika (tidak susila, buruk).
Pancasila sebenarnya bukanlah suatu bahan hafalan demi menunjang sebuah pendidikan. Namun perlu diketahui bahwa, Pancasila adalah sebuah pedoman, arahan, penuntun hidup dalam koridor negara ini.
Dan ketika seseorang mengabaikan bagian penting ini, dengan sendirinya ia menghadirkan sebuah situasi gelap dalam hidupnya.
Karena dalam Pancasila itu sendiri nilai luhur penting dan pertama adalah “KeTuhanan yang Maha-Esa” sebagai kontras untuk semua nilai yang lainnya.
Oleh karena itu, perlu diaktifkan kembali kontras etika dan moral yang sesungguhnya diinginkan dan di harapkan oleh agama dan negara.
Mengembalikan hati nurani dan etika baik adalah tugas kita semua. Baik itu yang masuk dalam dalam kelompok koruptor ataupun yang sementara berjuang meminimalisasi dan melenyapkan tindakan ini.
Di tengah pembodohan politik yang semakin tak beres, kita semua adalah kunci pencerahan yang dibutuhkan bangsa. Membebaskan bangsa dari berbagai varian pembodohan publik dengan gairah pencerahan dengan mengedepankan prinsip kebenaran.
Ada banyak cara mencerahkan kembali situasi gelap ini, saya anjurkan sebuah “sikap senasib dan sependeritaan” dengan berpijak pada Pancasila.
Maksud saya, sebagai bagian penting dari kemajuan negara kita ini, kita perlu mawas diri dan menjadi rendah hati melihat keadaan negara ini yang terus jatuh dalam penderitaan akibat korupsi.
Kalau mau supaya negara ini sejahtera dan makmur kita harus berani menderita, menderita bersama rakyat miskin.
Selain itu, menegakkan Pancasila dan merealisasikannya adalah sebuah tonggak perubahan demi menciptakan dan menanamkan jiwa pancasilais dalam diri dan dalam tindakan sehari-hari.
Mari kita bersatu membangun negara kita ini menuju sebuah kesejahteraan hidup bersama.