“Berbahasa Sehat, Indonesia Tangguh“
Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd
Ka SMPK Frateran Ndao
“Kata-katamu adalah kualitas dirimu.”
“Makian dan kata-kata kasar pertanda rendahnya kualitas diri seseorang.”
“Kualitas diri anda dinilai dari bagaimana diri anda bukan apa yang anda miliki.”
“Sangat mudah mengetahui kualitas seseorang: Simak ucapannya dan perhatikan kelakuannya.”
Barangkali kita sering mendengar, bahwa bulan Oktober sebagai bulan bahasa. Bahkan Kemendikbud secara rutin menyelenggarakan bulan bahasa setiap bulan Oktober sejak tahun 1980 hingga sekarang, sebagai salah satu bentuk memperingati hari lahirnya Sumpah Pemuda, yang menyepakati Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Tema yang diusung pada kegiatan bulan bahasa tahun 2021 ini adalah “Berbahasa Sehat, Indonesia Tangguh”.
Menurut hemat saya tema ini diangkat bukan tanpa alasan. Tema ini merupakan hasil refleksi yang mendalam, bahwa saat ini kita menyaksikan di TV atau bahkan di sosial media begitu banyak para politikus atau para elit, para pengamat politik, atau para akademisi yang memiliki gelar, titel yang mentereng, namun bahasa yang digunakan tidak menunjukan kualitas dirinya, sebagaimana yang saya tuliskan pada 4 kata bijak di atas.
Demikian juga dengan kata-kata yang ditulis pada sosial media, tak luput sering ditemukan kata-kata yang melecehkan, merendahkan, memfitnah, provokasi, mengejek, negatif, yang bisa merusak hubungan satu sama lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain dan bahkan dapat merusak atau memecah belah persatuan bangsa kita.
Demikianlah dasyatnya kekuatan kata-kata lebih tajam dari pedang. Bahkan ada ungkapan “disakiti dan terluka oleh lidah, bekasnya lebih dalam dan susah hilang dibandingkan luka oleh pedang”.
Sepertinya budaya sopan santun di era reformasi telah sirnah, seperti yang telah dipertontonkan oleh mereka yang memiliki gelar atau titel yang mentereng.
Harusnya belajar dari falsafah ilmu padi, yang semakin berisi semakin merunduk, yang berarti semakin banyak ilmu, semakin banyak gelar, titel harus semakin rendah hati, bijaksana, dan falsafah ilmu bambu, yang semakin tinggi, semakin merunduk, yang berarti semakin tinggi jabatan, kedudukan harus semakin rendah hati, semakin banyak mengalah.
Namun, faktanya sekarang justru sangat bertolak belakang. Menjadi pertanyaan buat saya, benar tidak gelar professor dan Doktor atau bahkan Profesor Doktor yang disematkan pada mereka?
Ataukah memang demikian kualitas Profesor Doktor di tanah air? Memang masih banyak gelar prof., Dr. yang berkualitas, tetapi yang sebagian itu justru dapat merusak citra yang banyak itu. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga.
Oleh karena itu, melalui tema bulan bahasa tahun ini “Berbahasa Sehat, Indonesia Tangguh”, kiranya dapat menyadarkan semua anak bangsa, khususya para elit, politisi, pengamat politik, akademi, agar dapat mengedukasi masyarakat dengan menggunakan bahasa yang sopan dalam mengkritik, tanpa menggunakan kata-kata yang kasar, yang melecehkan, merendahkan, menghujat, meremehkan, menjelekan dan provokasi, melainkan gunakan kata – kata yang menyejukan, yang positif, dan yang membangun serta memperkokoh persatuan.
Sebab, jika semua kita menggunakan bahasa yang tidak membuat orang lain sakit hati, perasaan dilukai, maka bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tangguh, kuat, karena warganya sehat.
Maka berbahasa sehat, bisa berarti berbahasa yang sopan, yang baik, yang menyenangkan, yang memotivasi, yang menyemangati, yang positif, yang membuat orang lain nyaman untuk hidup dan bekerja.
Dengan demikian, dengan berbahasa sehat, maka bangsa Indonesia juga sehat, dan tangguh. Untuk itu, sebelum berbicara berpikirlah terlebih dahulu (think before speak), sebab baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain.
Dan perlu diingat bahwa “kata-kata kita atau ucapan atau bahasa kita adalah menunjukan kualitas diri kita”. Ada juga nasihat bijak “menjaga hati sama pentingnya dengan menjaga lisan. Sebab, jika seseorang hatinya baik, maka akan keluar dari lisannya perkataan yang baik. Lisan mencermunkan kebersihan hati seseorang” – Habib Ali Zaenal Abidin Bin Abdurrahman Al-Jufri.
Mengapa Oktober sebagai Bulan Bahasa
Bulan Oktober sebagai bulan bahasa tidak terlepas dari sejarah bangsa, yakni pada tanggal 28 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Sumpah pemuda, dan ditetapkan pula bahasa resmi yang akan digunakan untuk bermasyarakat, yakni bahasa Indonesia, melalui ikrar Sumpah Pemuda yang dibacakan pada tahun 1928.
Maka, dalam rangka itulah digelar bulan bahasa, agar bahasa Indonesia benar-benar menjadi bahasa pemersatu bangsa, yang memiliki beragam suku dan bahasa.
Menurut Badan Pengembangan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berdasarkan Summer Institute of Linguistics menyebut jumlah bahasa di Indonesia sebanyak 719 bahasa daerah dan 707 di antaranya masih aktif dituturkan.
Sementara itu, UNESCO baru mencatatkan 143 bahasa daerah di Indonesia berdasarkan status vitalitas atau daya hidup bahasa.
Belum lagi dengan adanya pemakaian bahasa asing dalam keseharian, membuat bahasa yang digunakan di Indonesia semakin beragam. Memiliki keragaman seharusnya membuat kita menjadi lebih paham mengenai arti dari persatuan.
Seperti semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda tetapi tetap satu.
Demikianlah Bahasa Indonesia diciptakan untuk memelihara persatuan, menghubungkan setiap suku untuk dapat berkomunikasi dengan suku lain menggunakan bahasa yang sama, yakni bahasa Indonesia.
Kita harus percaya bahwa bahasa-lah yang meruntuhkan sekat-sekat perbedaan dan menjadikan kesatuan bangsa sebagai indentitas nasional kita.
Oleh karena itu, pengutamaan bahasa Indonesia adalah sesuatu yang sangat perlu. Hal ini bukan hanya tugas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), melainkan juga tugas seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, sebagai bentuk upaya BPPB untuk membina dan mengembangkan bahasa Indonesia, maka bisa melalui kegiatan Bulan Bahasa yang diselenggarakan setiap tahun secara nasional.
Dan diharapkan seluruh elemen masyarakat dapat mengambil bagian dalam kegiatan bulan bahasa dalam berbagai bentuk kreativitas dan seni.
Misalnya: lomba baca puisi, reportase, debat bahasa Indonesia, dan mendongeng, teater, lomba empat pilar kebangsaan dan musikalisasi puisi. Tujuannya tidak lain sebagai bentuk memelihara semangat dan meningkatkan peran serta masyarakat luas dalam menangani masalah bahasa.
Namun, yang perlu disadari bahwa bukan soal masalah bahasa, melainkan orang yang menggunakan bahasa itu yang bermasalah.
Oleh karena itu, seharusnya semakin berpendidikan dan terpelajar seseorang maka bahasa yang dignakan harus semakin sopan, baik, halus, lembut.
Oktober sebagai Bulan Literasi
Seiring dengan bulan Oktober ditetapkan sebagai bulan bahasa, maka menurut hemat saya sangat tepat juga kalau pemerintah Indonesia menetapkan secara resmi bulan oktober sebagai bulan literasi, sebab sangat terkait dengan sejarah bangsa, yakni sumpah pemuda, khususnya pada poin ke tiga, yaitu menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dan saya berkeyakinan bahwa tidak semua elemen masyarakat mengetahui bulan oktober sebagai bulan bahasa.
Bahkan memperingati hari sumpah pemuda pun seringkali diabaikan. Apalagi tentang hari literasi atau bulan literasi.
Oleh karena itu, perlu sekali pemerintah melakukan sosialisasi melalui instansi terkait tentang hari literasi atau bulan literasi, khusus untuk Indonesia.
Sebab, secara internasional hari literasi diperingati setiap tanggal 8 september, yang sering disebut International Literacy Day (ILD) atau Hari Aksara/Literasi Internasional.
Dan perayaan Hari Literasi Internasional telah diperingati sejak tahun 1967. Namun, sepertinya belum banyak yang tahu, kalau tanggal 8 September yang diproklamasikan sebagai Hari Literasi Internasional oleh UNESCO pada tahun 1966, adalah untuk mengingatkan komunitas internasional akan pentingnya literasi bagi individu, komunitas dan masyarakat, dan perlunya upaya intensif menuju masyarakat yang lebih melek huruf.
Masalah literasi adalah komponen kunci dari tujuan pembangunan berkelanjutan PBB dan agenda pembangunan berkelanjutan 2030 PBB, demikian sebagaimana dikutip laman resmi United Nation.
UNESCO menulis. Hari Literasi Sedunia ini telah berlangsung setiap tahun di seluruh dunia untuk mengingatkan akan pentingnya literasi sebagai masalah martabat dan hak asasi manusia, dan untuk memajukan agenda literasi menuju masyarakat yang lebih melek huruf dan berkelanjutan.
Tema: International Literacy Day (ILD) 2021 adalah “Literacy for a human-centered recovery: Narrowing the digital divide”. ILD 2021 akan mengeksplorasi bagaimana literasi dapat berkontribusi untuk membangun fondasi yang kuat untuk pemulihan yang berpusat pada manusia, dengan fokus khusus pada interaksi literasi dan keterampilan digital yang dibutuhkan oleh generasi milenial dan orang dewasa yang tidak melek huruf.
Krisis COVID-19 telah mengganggu pembelajaran peserta didik, remaja, dan orang dewasa dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini juga memperbesar ketidaksetaraan yang sudah ada sebelumnya dalam akses ke peluang pembelajaran literasi.
“Pandemi ini mempengaruhi 773 juta generasi milenial dan orang dewasa yang tidak melek huruf,” tulis UNESCO.
Bahkan di masa krisis global, upaya telah dilakukan untuk menemukan cara alternatif untuk memastikan kesinambungan pembelajaran, termasuk pembelajaran jarak jauh (PJJ), yang seringkali dikombinasikan dengan pembelajaran tatap muka.
“Akses terhadap kesempatan belajar literasi, bagaimanapun, belum merata. Padahal literasi sangat penting bahkan menjadi dasar dalam “petualangan” ilmu pengetahuan. Istilah literasi dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Inggris literacy yang secara etimologi berasal dari bahasa Latin literatus, yang berarti orang yang belajar.
Dalam bahasa Latin juga terdapat istilah littera (huruf) yaitu sistem tulisan dengan konvensi yang menyertainya.
Pada abad pertengahan, sebutan literatus ditujukan kepada orang yang dapat membaca, menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Latin.
Sejarawan Itali Carlo M. Cipolla menggunakan istilah “semi-iliterate”, yakni untuk mereka yang dapat membaca tetapi tidak dapat menulis. Dengan kata lain, pengertian literasi hanya berkaitan dengan keaksaraan atau bahasa.
Dalam perkembangan waktu, pengertian literasi berkembang menjadi konsep fungsional. Pada tahun 1960-an istilah literasi dikaitkan dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup individu.
Konsep Literasi merupakan seperangkat kemampuan mengolah, menganalisa dan memahami informasi dari bahan bacaan.
Literasi bukan tentang membaca dan menulis saja, melainkan dapat mencakup bidang lain, seperti ekonomi, matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy).
Dan sejak tahun tahun 2015, dengan diterbitkannya permendikbud No.21 tahun 2015, tentang penumbuhan budi pekerti, yang merupakan upaya untuk menumbuhkan budi pekerti peserta didik, dan dalam jangka panjang diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan literasi tinggi.
Tidak hanya berhenti pada literasi saja, melainkan perlu diperkuat dengan karakter yang baik, maka pemerintah melalui kemendikbud menerbitkan Permendikbud No. 20 tahun 2018 tentang penguatan pendidikan karakter pada satuan pendidikan formal.
Hal ini diperkuat oleh perpres No. 87 tahun 2017 mtentang penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Maka, sejak tahun 2017, kegiatan PPK mulai diimplementasikan di sekolah, melalui kegiatan intrakukrikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler.
Dan sebelum dimulai kegiatan intrakurikuler, selama 15 menit dilakukan kegiatan literasi setiap hari. Dengan demikian kegiatan literasi sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Dan PPK merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Merdeka Belajar. Dan salah satu terobosan mendikbud terkait Merdeka Belajar adalah UN (Ujian Nasional) diubah menjadi AN (Assesmen Nasional), dengan tiga instrument, yakni AKM (Assesmen Kompetensi Minimum) yang mencakup Literasi dan Numerasi, Survei Karakter dan Survei Lingkungan Belajar.
Berbicara tentang literasi di tanah air, sepertinya masih jauh dari harapan, di mana Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.
Dengan data itu, menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%.
Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca! Dengan fakta ini, harusnya pemerintah melakukan gerakan literasi dari hulu sampai ke hilir, dengan mendirikan Taman Baca Masyarakat (TBM).
Dan untuk menstimuli pada bulan oktober sebagai bulan bahasa dilakukan lomba literasi dengan memperebutkan hadiah. Apalagi ada dana desa, bisa dialokasikan untuk meningkatkan literasi masyarakat dengan mendirikan Taman Baca Masyarakat (TBM).
Sebab, jika literasi masyakat Indonesia baik, maka SDM pasti baik, dan pembangunan di segala bidang kehidupan manusia akan baik pula.
Akhirnya, mari kita maknai bulan oktober sebagai bulan bahasa sekaligus sebagai bulan literasi dengan selalu berbahasa yang sehat, sopan, berpikir sebelum berbicara (think before speak), sehingga Indonesia menjadi bangsa yang tangguh, bermartabat dan berakhlak mulia.
Dan untuk mewujudkan itu, maka perlunya berliterasi. Sebab dengan berliterasi sesorang akan berilmu, dan dengan berilmu sesorang akan menjadi cerdas yang tahu membedakan mana yang baik yang harus diucapkan dan mana yang tidak baik yang tidak perlu diucapkan, serta berkarakter baik (hati baik), yang tercermin lewat sikap, perilaku, tutur kata dan tindakan yang baik. Selamat Bulan Bahasa dan Bulan Literasi!