Kupang, Vox NTT- Populasi hiu karang, pari manta dan cetacea saat ini sedang mengalami tekanan global, di antaranya oleh kegiatan perikanan dan pariwisata yang belum dilakukan secara bertanggung jawab, serta polusi di laut yang terus meningkat.
Perikanan memainkan peranan langsung terhadap penurunan populasi biota tersebut. Di sisi lain, kelalaian pengelolaan wisata dan polusi dapat menyebabkan ketidaksesuaian dan degradasi habitat yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dari biota tersebut.
Reef Check Indonesia sebagai salah satu penanggung jawab paket-3 dari proyek Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP – CTI), yang dikelola oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sebagai implementing agency, berkontribusi dalam meningkatkan pengetahuan ilmiah spesies untuk mendukung usaha konservasi dan pengelolaannya di Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat.
Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan oleh Reef Check Indonesia di antaranya adalah penelitian untuk rekomendasi pengelolaan, serta pembangunan Wisata Spesies Berbasis Masyarakat (WSBM) yang berkelanjutan untuk mendukung pembangunan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Perairan Laut Sawu.
Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan oleh tim Reef Check Indonesia, akhirnya memutuskan untuk memilih dua lokasi untuk pelaksanaan proyek ini yaitu Desa Oeseli di Rote dan Perairan Sulamu – Semau atau Teluk Kupang.
Dari dua lokasi tersebut memiliki daya tarik spesies yang berbeda; pari manta di Desa Oeseli Rote dan lumba-lumba di sekitaran Perairan Sulamu – Semau atau Teluk Kupang.
Tingginya minat masyarakat lokal untuk berwisata, menjadikan target pemasaran yang dicanangkan adalah kalangan wisatawan umum, khususnya wisatawan lokal dari Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, Reef Check Indonesia juga menargetkan memasarkan paket wisata, dalam hal ini melihat lumba- lumba dan manta, sebagai bagian dari bidang studi program mahasiswa merdeka yang tengah dicanangkan pemerintah, proyek-proyek penelitian (magang/tugas akhir), summer camp, atau pengabdian masyarakat.
Sehingga, selain berwisata nantinya juga wisatawan dapat berkontribusi untuk mengembangkan wisata spesies tersebut.
Pangsa pasar wisata ini terbilang baru, walaupun sebenarnya sudah ada beberapa contoh penerapannya, salah satunya Operation Wallacea di Wakatobi.
Program ini menjual paket penelitian (pemantauan terumbu karang) di Taman Nasional Wakatobi untuk mahasiswa- mahasiswa dari Inggris.
Selain itu juga ada beberapa universitas dari Amerika Serikat, bermitra dengan Universitas Sanata Darma Yogyakarta rutin mengirimkan mahasiswanya untuk melakukan summer camp demi mempelajari budaya di Yogyakarta dan Bali. Wisata dengan konsep seperti ini sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia.
Kedua target tersebut diidentifikasi dengan mempertimbangkan antara lain perkembangan pangsa pasar wisata di bawah pandemi Covid-19.
Menurut United Nation World Tourism Organization (UNWTO) menyatakan pulihnya wisata internasional kemungkinan baru bisa dicapai dalam 4 tahunan (UNWTO, 2021).
Analisa McKinsey menghasilkan informasi yang kurang lebih sama, mereka memperkiraan pasar wisata baru kembali normal paling cepat 2-3 tahun ke depan, dengan wisata domestik pulih lebih cepat (McKinsey, 2020).
Aspek wisata proyek paket-3 ini didesain dengan harapan bahwa perkembangan pangsa pasar domestik dapat memberikan penghasilan kepada masyarakat dan menjaga kualitas wisata sampai pangsa pasar kembali normal.
Pangsa pasar seperti ini juga lebih penting dalam menghadapi isu global seperti COVID- 19 ini, maupun isu terorisme.
Selain aktivitas wisata, Reef Check Indonesia juga mengembangkan industri penunjang wisata, seperti industri oleh
-oleh.
Komunitas ibu-ibu di Oeseli saat ini tengah mengembangkan industri sabun kelapa berbahan alami.
Bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Indonesia, sabun ini akan diujicobakan untuk mendapatkan masukan untuk pengembangan kualitas.
Reef Check Indonesia juga membangun kerja sama dengan kalangan swasta untuk memproduksi kaos, tumbler, dan oleh-oleh lainnya, di mana keuntungannya akan dikembalikan kepada masyarakat pengelola.
Produk oleh-oleh ini dibangun dengan pesan-pesan lingkungan. Misalnya saja, tumbler dibuat dan dijual bukan hanya untuk oleh-oleh, namun juga oleh wisatawan yang lupa membawa botol minum isi ulang.
Usaha pengembangan WSBM untuk mengurangi sampah yaitu dengan menyediakan tempat minum isi ulang sehingga mengurangi minuman kemasan.
Melalui rangkaian pelatihan, bimbingan teknis, dan pendampingan intensif oleh Reef Check Indonesia, BKKPN Kupang, Disparekraf NTT, dan pihak terkait lain, Pokdarwis di Desa Naiken, Desa Oeseli, dan Desa Bo’a sedang dipersiapkan untuk mempunyai kemampuan mengorganisasi dan mendampingi wisatawan dengan praktik yang ramah lingkungan dan dikelola langsung oleh masyarakat.
Sedangkan di Perairan Sulamu – Semau sendiri sudah terbentuk komunitas untuk mendampingi WSBM, dalam hal ini spesies lumba-lumba, bernama komunitas Bukan Sekedar Pasiar (BSP).
Komunitas BSP mempunyai slogan sendiri untuk memasarkan atraksi wisatanya yaitu “Home of Cetacean, Kitong Pu Pulau, Kitong Pu Masa Depan”.
Selain untuk memasarkan atraksinya, slogan tersebut juga digunakan oleh BSP sebagai kampanye usaha konservasi di Perairan Teluk Kupang.
Slogan ini juga sangat tepat untuk menggambarkan saling ketergantungan antara ekonomi jangka panjang dan sehatnya ekosistem.
Sumber daya perikanan laut sangat tergantung kepada sehatnya ekosistem pesisir. Lumba-lumba memakan ikan-ikan yang sakit sehingga mereka menjadi kesehatan populasi ikan secara keseluruhan. Manta memakan plankton dari laut dalam.
Mereka kemudian bermigrasi ke perairan dangkal dan membuang kotoran yang penuh nutrisi yang berfungsi seperti pupuk untuk terumbu karang.
“Program ini sangat baik, karena masyarakat dapat berperan sangat aktif dalam mengembangkan industri yang tepat untuk sebuah taman nasional. Ramah lingkungan dan berpihak kepada masyarakat,” tutur Lenny dari BKKPN Kupang.
Paket Wisata Spesies
Manta dan lumba-lumba sulit diprediksi kehadiran dan kemunculannya. Akan tetapi, paket ini dipersiapkan agar wisatawan tetap bisa menikmati paket yang dijual, karena TNP Laut Sawu dan Nusa Tenggara Timur mempunyai banyak sekali atraksi wisata.
Secara umum, paket wisata yang ditawarkan kepada wisatawan adalah paket WSBM setengah hari dan paket WSBM satu setengah hari.
WSBM lumba-lumba dilakukan pada pagi hari, saat laut umumnya tenang, sehingga waktu yang tepat untuk mencari lumba-lumba di Perairan Sulamu Semau. Kegiatan melihat lumba-lumba atau yang biasa disebut dengan dolphin watching dilakukan sebelum melakukan aktivitas di Pulau Semau, seperti snorkling.
Setelah itu, wisatawan diajak untuk kembali ke Kupang setelah makan siang. Untuk WSBM satu setengah hari, setelah dolphin watching, acara akan dilanjutkan dengan perjalanan ke Pulau Semau, sampai ke desa binaan BKKPN Kupang, yaitu Desa Naiken.
Desa yang berdekatan dengan Pantai Otan dan Liman ini mempunya menara cetacean dan pengamatan hewan lain.
Setelah puas dengan melakukan pengamatan dari Menara, wisatawan akan menginap di lokasi pilihan di Pulau Semau. Nantinya, wisatawan dibebaskan untuk memilih penginapan, seperti membuat tenda sendiri di pinggir pantai, homestay lokal, maupun hotel.
WSBM manta juga kurang lebih mempunyai jadwal perjalanan yang sama, dengan fokus interpretasi pari manta di Pulau Heleana.
Untuk wisata pendidikan, daerah ini menawarkan banyak sekali aspek untuk diteliti dan dikembangkan untuk program mahasiswa merdeka, penelitian, dan pendidikan lainnya.
Mulai dari potensi mengembangkan program mahasiswa merdeka untuk prodi/kurikulum terkait ekologi, biologi, sampai ke acara pendidikan dasar untuk mahasiswa pencinta alam.
Rilis: Reef Check Indonesia