Mbay, Vox NTT- Air mata tetua adat Suku Ebudai tidak terbendung. Rabu, 17 November 2021, saat berbagai suku menggelar ritual adat di rumah adat Suku Ebudai, para pria lansia yang mengaku sebagai ahli waris atas tanah di lokasi calon waduk Lambo itu menumpahkan air mata.
Air mata para tetua itu tumpah di depan sanak saudara mereka, setelah tahu kalau tanahnya secara sepihak telah ditetapkan sebagai lokasi waduk Lambo.
Ritual yang selenggarakan itu merupakan ikhtiar sumpah adat dari kesatuan masyarakat adat di wilayah Desa Labolewa.
Ritual juga sekaligus pesan larangan kepada semua pihak agar tidak boleh lagi melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pembangunan waduk Lambo di atas lahan ulayat suku mereka.
Suku Ebudai menjadi salah satu dari beberapa suku yang tanahnya terimbas rencana pembangunan waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Di atas tanah itu, terdapat makam leluhur mereka bernisan bongkahan batu-batu pipih seukuran kepala orang dewasa, diperkirakan berukuran 3 x 2 meter.
Lokasi di sekitar makam Ebudai secara turun temurun telah digunakan oleh warga adat Labolewa sebagai tempat untuk menggelar ritual adat berburu, atau dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan Dai/Dai Nara.
Adanya situs dan ritus budaya di wilayah suku Ebudai tidak lantas membuat mereka bersepakat mati-matian menolak kehadiran waduk Lambo.
Servasisus Paga misalnya, sebagai salah satu pewaris keturunan Ebudai, tahun 2019 lalu ia bersama tetua adat lainnya dari masing-masing suku sempat menjadi yang pertama mendukung langkah pemerintah pusat agar dapat segera melakukan kajian analisis kelayakan serta proses identifikasi lahan di atas tanah ulayat mereka.
Janjinya, bila waduk Lambo dibangun, pemerintah melalui kontraktor pelaksana akan membangun tanggul tinggi agar kuburan Ebudai tidak ikut ditenggelamkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, sejak mereka memberikan surat dukungan hingga kontrak pembangunan waduk Lambo ditandatangani, eksistensi peran suku Ebudai pun terabaikan.
Tak hanya tidak dilibatkan dalam urusan proses identifikasi lahan, nama mereka bahkan juga ikutan hilang dari daftar kepemilikan tanah di Lokasi waduk Lambo.
Usaha dan perjuangan mendapat pengakuan hak atas tanah sudah berulang kali diupayakan oleh Suku Ebudai dan masyarakat adat Labolewa secara umum.
Sebagai masyarakat adat yang minim pendidikan, harapan perjuangan hak atas tanah mereka sepenuhnya tergantung kebijaksanaan kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nagekeo, Dominikus B Insantuan untuk tidak bermanuver mencatut nama orang lain yang bukan pemilik sah atas tanah ulayat Labolewa.
Sayangnya, upaya itu direspons dengan sebelah mata oleh BPN Nagekeo.
Dominikus B Insantuan dan BPN Nagekeo acap kali memilih solusi penyelesaian dengan cara menghindari bertemu dengan perwakilan masyarakat adat Labolewa.
Karena sikap Kepala BPN Nagekeo inilah, Ferdinandus Dhosa, salah satu warga adat Labolewa dari Suku Ribu Rato menuding kalau konflik tanah di lokasi pembangunan waduk Lambo dimotori oleh Kepala BPN Nagekeo.
Ferdin, demikian disapa, bahkan menyebut keputusan Kepala BPN Nagekeo mencantumkan nama orang lain dan nama suku-suku baru di wilayah adat Labolewa sangat berpotensi menciptakan konflik horizontal antarmasyarakat. Ia pun meminta agar polisi segera menangkap dan memeriksa kepala BPN Nagekeo itu.
Tuduhan kepada Kepala BPN Nagekeo sebagai mafia tanah bukan tanpa alasan.
Tanggal 10 November 2021 pekan lalu, saat BPN Nagekeo menggelar musyawarah penetapan ganti rugi kerugian pengadaan tanah pembangunan bendungan Mbay/ Lambo di Aula Hotel Pepita, para tetua dari kesatuan masyarakat adat Labolewa menyaksikan sendiri kalau tanah tanah ulayat milik mereka di lokasi waduk Lambo berganti kepemilikan.
Mereka yang turut hadir dalam musyawarah terbatas itu yakni Urbanus Papu dari suku Gegha Neja, Vinsensius Penga dari suku Wala, Gaspar Geru dari suku Naka Bhegha, Klemens Lae dari suku Naka Zale dan Ferdinandus Dosa dari suku Ribu Rato.
Oskar Sina, mantan Camat Aesesa yang kini menjabat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan Nagekeo yang turut hadir pada musyawarah tersebut juga ikut mendengar namanya menjadi salah satu pemilik tanah di lokasi waduk.
Agar tidak ikut dituduh sebagai mafia tanah, Oskar kemudian memberikan klarifikasi langsung ditempat itu.
“Titik merah ini, tidak pernah ada yang namanya Oskar Sina pergi tunjuk. Itu yang pertama. Di hadapan pak Kakan (kepala BPN) sendiri, saya pegang nenek berdua disamping kiri, ya, ini saya klarifikasi ini malam. Kalaupun saya tipu, silahkan. Saya bilang, apa yang digariskan oleh nenek Sensi (Vinsensius Penga) dan nenek Banus (Urbanus Papu) itu benar dan kami tidak pernah ikut ke atas (identifikasi lahan). Yang ikut (saat identifikasi lahan) Pak Kakan dan nenek mereka yang pergi dan hasilnya ini. Saya tidak pernah pergi Pak. Silakan, cari tahu saja, kapan saya ke atas menunjuk. Ini pertanahan, silakan. Sehingga, saya tidak mau dibilang Mafia Tanah. Dan itu bukan, Pak Kakan mungkin dikasih tahu itu tanah saya pribadi, bukan. Saya klarifikasi ya, itu seperti yang digambar oleh bapak Tomas. Ada keluaraga e, ada suku di situ. Jadi ini perlu saya klarifikasi sehingga ya yang garis merah itu silakan Pak Kakan menjelaskan apakah itu Oskar Sina yang tarik atau siapa yang tarik, saya kembalikan ke pak Kakan,” kata Oskar Sina menjelaskan.
Titik merah atau garis merah yang dimaksudkan Oskar merupakan kode dan batas bidang tanah milik suku Kawa di lokasi waduk yang kini daftar kepemilikannya telah berubah.
Penulis: Patrick Romeo Djawa
Editor: Ardy Abba