(Oleh: Stefan Bandar)
Angin malam berhembus sedikit kencang ketika aku melintasi persawahan. Aku menghentikan laju motorku sebentar ketika menyadari udara masuk melewati pori-pori kulit. Aku menarik kancing jeket hinggah menyentuh dagu lalu kembali berjalan. Kecepatan sepeda motor yang beberapa saat lalu sedikit pelan kini berganti sedikit lebih cepat. Pokoknya aku harus berada di sana sebelum kegiatan dimulai, demikian gumanku.
Di balai desa pada malam ini diadakan katekese yang dibawakan oleh beberapa suster dan frater. Tema katekese yang dipilih adalah lingkungan. Memang tema katekese ini sangat cocok dengan keadaan lingkunganku saat ini. Tambang yang telah diizinkan membuat keadaan lingkunganku sekarang ini sedikit rusak. Kami kehilangan udara bersih dan kekurangan air untuk minum bahkan juga air untuk memenuhi beberapa kebutuhan lainnya.
Kami sengaja memilih balai desa sebagai tempat berlangsungnya katekese sebab gereja kami sementara direnovasi. Sebagai salah satu anggota pengurus desa dan anggota Dewan Pastoral Paroki tentunya aku harus mengambil bagian dalam kegiatan ini. Sebenarnya pembangunan gereja kami sudah selesai. Hanya saja sebagian pekerja memutuskan berhenti dan lebih memilih bekerja di pertambangan. Maka dari itu pembangunannya untuk sementara diberhentikan.
Aku segera memarkirkan sepeda motor di halaman balai desa. Beberapa anak kecil asyik berlari sambil sesekali tertawa ataupun berteriak. Beberapa wanita tua memasuki ruangan balai desa dengan kain tenun tradisional yang biasa disebut Songke. Ada juga beberapa pria dengan menggunakan kain yang sama memasuki ruangan itu sembari mengisap rokok yang ada di tangan mereka.
Aku berlangkah sedikit cepat melewati beberapa orang yang sedang berdiri sambil asyik bercerita. Beberapa orang memberi salam kepadaku yang kubalas dengan sapaan yang serupa pula. Terkadang aku yang memberi salam terlebih dahulu kepada mereka. Aku segera berjalan menuju kursi yang berada di ujung depan bagian kanan.
Udara di luar sana semakin dingin. Beberapa remaja segera menutup jendela agar sedikit menangkis udara yang berhembus dari luar sana. Memang demikianlah keadaan kampungku. Letaknya yang berada di lembah dan diapiti oleh pegunugnan tinggi menjulang merupakan suatu hal yang cukup mendukung hadirnya hawa yang dingin. Jadi tidak mengherankan jika salah satu hal yang sangat dibutuhkan untuk dapat bertahan di sana adalah pakaian yang cukup tebal.
Selamat malam untuk kita semua, sapa seorang suster yang berjubah coklat. Pada malam ini beberapa orang suster dan juga frater akan memimpin kita dalam kegiatan katekese kita pada malam ini. Kegiatan katekese kita pada malam ini akan dipimpin oleh suster Tania, katanya lagi.
Aku tersentak ketika mendengar nama itu. Mungkinkah itu Tania, gadis yang pernah ada dalam hidupku lalu pergi dan menghilang begitu saja, demikian tanya yang muncul dalam hatiku. Aku tersentak ketika seorang gadis berkerudung coklat muncul dari balik pintu dan melangkah dengan anggun menuju ke depan. Ia tersenyum ramah. Akhh, Tania..!
~~~~
“Apakah benar yang kamu katakan barusan, Nat”, tanyanya sedikit kebingungan sembari memecahkan keheningan yang menguasai kami beberapa saat yang lalu. “Benar, Tania. Aku sungguh menyukaimu semenjak pertama kali aku melihatmu. Sebenarnya aku yang mengatur semuanya saat MOS itu. Aku sengaja memilih kamu masuk grup sebelas karena aku ditugaskan mendampingi grup itu. Aku hanya ingin bisa menatapmu lama-lama”, kataku dengan sedikit berani.
Memang itu adalah kali pertama aku mengatakan perasaanku kepada perempuan. Aku sudah memikirkan semua kemungkinan ketika aku mengatakannya, bahkan kemungkinan untuk terluka pun aku sudah memikirkannya. Aku juga tahu bahwa beberapa temanku akan menertawakan aku karena seorang lelaki kelas tiga SMA sepertiku menyukai dan mengungkapkan perasaan kepada gadis yang baru masuk sekolah beberapa hari yang lalu.
“Baiklah, kak. Tapi dengan satu syarat”, katanya dengan malu. Rupanya sebuah senyuman mulai mengembang pada bibirnya. “Apa syaratnya?” tanyaku segera. “Kakak harus setia denganku”, katanya lalu pergi dan menghilang dari hadapanku. Semenjak saat itu hari-hariku penuh warnah. Aku jatuh cinta dan aku memiliki cinta.
Namun hari-hari setelah itu cukup menarik. Kami adalah dua yang sedang saling mencintai dan saling memiliki cinta tetapi kami juga dipisahkan oleh jarak. Meskipun satu sekolah tetapi serasa LDR. Hal ini dikarenakan kami masing-masing saling menjaga image di depan teman-teman, khususnya aku di depan teman-temanku. Aku selalu mencari cara agar aku dapat bertemu dengannya tanpa diketahui teman-temanku.
Hal ini tentunya hanya berlaku di lingkungan sekolah saja. Sepulang sekolah, aku seringkali mengajaknya menikmati makanan di sebuah warung di pinggir jalan, tempat di mana teman-temanku tidak pernah datang mengunjunginya. Atau saat malam hari. Aku juga sering mengajaknya menikmati makan malam di sebuah restoran.
Hanya delapan bulan saja kami melewati hari-hari bahagia. Setelah delapan bulan kami melewati semuanya itu, ia kembali ke kampungnya. Yang menyakitkan bagiku adalah kepergiannya tanpa pamit. Ia tidak pernah memberitahu bahwa ia akan pergi, bahkan pada malam hari ketika kami makan malam bersama di restoran sebelum esoknya ia pergi. Aku mungkin ikhlas menghantarnya pergi meski dengan berat hati, tetapi aku berhak tahu alasannya pergi. Itu saja, cukup!
~~~~
“Tania, ayahmu kini sudah tiada. Ia pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Ibu tahu impianmu adalah bersekolah di kota. Tapi itu tidak bisa lagi terjadi anakku. Kamu sendiri tahu bahwa biaya pengobatan ayahmu sungguh besar. Tapi untunglah pak Bagus memberi kita pinjaman yang cuku. Namun kita tidak bisa mengelak dari takdir,” sebuah suara memecahkan sebua keheningan antara dua orang wanita di ruangan besar itu.
“Lalu bagaimana kita harus membayar semuanya itu, ibu?” tanya Tania. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini jatuh perlahan. Rupanya mata itu terus merasakan luka yang ada dalam hati gadis itu.
“Apakah kamu bisa membantu ibu, Tania? Apakah kamu bisa selamatkan keluarga kita?” tanya wanita itu. Ia juga menangis. “Apa yang bisa aku lakukan?” tanya Tania. “Bolehkah kamu menjaga hatimu untuk anak pak Bagus? Kemarin pak Bagus datang dan mengatakan bahwa semua utang kita akan lunas jika kamu bersedia menjadi mantunya, istri daru putra tunggalnya,” kata wanita itu.
Memang Tania adalah seorang gadis yang berparas cantik. Ia sungguh serupa dengan ibunya, sebagai pujaan dan rebutan para pria. Ibunya adalah gadis idaman semua pria di kampusnya tetapi dimenangkan oleh Reza, ayah Tania. Kini Tania, pujaan dan rebutan para pria di kampungnya dan juga di sekolahnya dulu, tetapi apakah ia harus memberi hatinya untuk putra dari seorang pria yang sudah membantu keluarganya?
“Tidak, ibu. Aku tidak mau dijodohkan. Aku masih sekolah. Aku masih ingin menikati masa mudah. Aku ingin meraih cita-citaku,” kata Tania dengan nada protes.
“Tania, mereka akan tunggu dan datang tiga tahun lagi. Mereka akan datang setelah kamu menyelesaikan sekolahmu di SMA. Mereka tidak datang sekarang. Memang kita akan berusaha memenuhi utang kita tiga tahun ke depan. Tapi bagaimana caranya? Utang kita terlalu banyak, anakku,” kata wanita tua itu.
Tania terdiam sembari menatap ibunya yang kini menjadi janda yang ditinggal pergi oleh suaminya. Sebagai seorang anak yan penurut, ia tentunya harus mengikuti kemauan ibunya. Ketaatan pada sang ibu bukan karena ia takut terhadap karma tetapi terlebih karena ia ingin menjadi seorang anak yang berbakti kepada orang tua.
Tanpa diketahui ibunya, setiap malam Tania selalu mempersembahkan permohonannya kepada Tuah. Ia selalu berdoa agar segala persoalan dalam keluarganya dapat teratasi khususnya utang yang begitu banyak. Tuhan, jika Engkau membantu keluargaku menyelesaikan segalah masalah kami, maka aku akan mempersembahkan diriku kepadaMu seutuhnya. Demikian doa yang selalu dilantunkannya setiap malam.
Dua tahun setelah kepergian ayahnya, ketika Tania sudah duduk di bangku kelas tiga SMA. Pagi itu ia ingin bersiap diri berangkat ke sekolah. Tepat di depan pintu sekolah, ia mendapatkan pak Bagus beserta istri dan putra tunggal mereka. Tania mempersilahkan mereka masuk.
“Dini, maaf kalau kedatangan kami merepotkan. Kami datang sepagi ini untuk memberitahu suatu hal yang sangat penting. Kami tidak tahu apakah ini berita yang bagus atau berita yang buruk untuk kamu, khususnya untuk putrimu Tania,” kata lelaki itu. “Sejujurnya,” ia melanjutkan pembicaraannya. “Putra kami, Dion sudah menemukan seorang gadis impiannya. Sebagai orang tua saya dan isteri saya menyesal karena telah memaksa dia untuk jatuh cinta dengan anakmu, Tania. Namun hingga kini ia mengatakan bahwa ia tidak mencintai putrimu,” kata pak Bagus dengan nafas tertahan.
“Kini putrimu bebas memilih pilihannya. Ia bebas memilih pria yang dicintainya,” lanjut istri pak Bagus.
Tania merasa bahagia. Terima kasih, Tuhan. Kata Tania dalam hati. Kini aku akan mempersembahkan diriku kepadaMu, katanya lagi.
Setelah selesai SMA, Tania memilih masuk sebuah biara suster, sesuai dengan janjinya. Ia masih ingat dengan seorang pria yang sangat dicintainya, tetapi kini ia lebih mencintai janjinya.