Jakarta, Vox NTT- Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia mendesak Kejari Ngada untuk mengusut tuntas kasus human trafficking dengan korban S.
“Saya mendesak Jaksa Agung untuk perintahkan Kajati NTT dan Kajari Ngada untuk tidak “mempetieskan” perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan korban S yang sudah menjadi atensi nasional dan internasional,” ujar Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan HAM PADMA Indonesia, Gabriel Goa, dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Senin (27/12/2021).
Ia meminta agar kasus ini bisa P21 hingga Desember 2021. Tidak hanya itu, Gabriel juga meminta KPK RI untuk melakukan operasi khusus jika ada indikasi kongkalikong antara terduga pelaku dan aktor intelektual tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan oknum aparat penegak hukum.
“Saya mengajak soldaritas nasional dan internasional penggiat anti-human trafficking untuk mengawal ketat proses penegakan hukum TPPO dengan Korban S di Ngada mulai dari Polres, Kejaksaan dan Pengadilan di Ngada hingga di Mahkamah Agung,” imbuh Gabriel.
Kronologi
Gabriel mengisahkan, kasus ini bermula ketika oknum berinisial SM datang ke rumah korban yang terletak di Kelurahan Mbay II, Kecamatan Eesesa, kabupaten Nagekeo pada awal Juni 2014 lalu.
Kala itu, SM bertemu dan membujuk ibu korban agar anaknya bisa bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta.
SM meyakinkan ibu korban bahwa dari hasil kerjanya, ia akan mendapatkan upah sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per bulan.
“SM berjanji bahwa anak korban akan baik-baik selama bekerja nantinya.
Setelah mendengar penjelasan dari SM, ibu korban akhirnya mengizinkan,” jelas Gabriel.
Sehari setelahnya, lanjut dia, korban dijemput oleh SM dan dibawa ke rumahnya di di Desa Waekokak, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo.
“Korban menginap satu malam di rumah SM. Korban hanya membawa 2 helai pakian, karena dijanjikan oleh SM bahwa korban akan dibelikan pakaian,” kisah Gabriel yang juga Ketua KOMPAK Indonesia itu.
Hari berikutnya, korban dibawa oleh oknum berinisial PE menuju Kabupaten Ende dengan menggunakan sepeda motor. Korban dibawa menuju rumah PE yang digunakan sebagai penampungan calon tenaga kerja.
Pada pertengahan Juni 2014, korban ditampung selama 2 minggu di tempat milik PE. Selama itu pula korban terus diyakinkan dengan iming-iming gaji besar oleh PE dengan maksud agar korban tidak kabur.
“Korban bertemu dengan 19 perempuan muda yang juga sebagai calon tenaga kerja,” kata Gabriel.
Selama di penampungan, lanjut dia, korban disuruh oleh PE untuk kerja sapu, masak, mengepel rumah dan mencuci pakian milik PE dan keluarganya.
Menurut PE kerja itu dimaksudkan untuk pelatihan agar tidak kaku ketika ditempatkan di rumah majikan nantinya.
Selama di penampungan itu juga, korban tidak dikasih uang sabun. Korban malah diminta untuk tanda tangan satu lembar surat oleh PE yang isinya tidak diberitahukan kepada korban.
“Selama di rumah PE korban tidak diberi kesempatan untuk menghubungi orangtua mengenai kabar perkembangan korban.
Korban pernah diminta oleh PE untuk mengurutnya, tapi korban menolaknya,” kisah Gabriel.
Selanjutnya pada akhir Juni 2014, korban berangkat ke Jakarta menggunakan kapal laut. Korban diantar oleh PE dan seorang ibu yang tidak diketahui identitasnya.
Perjalanan dari Ende menuju Jakarta menempuh waktu selama satu minggu. Korban diberangkatkan bersama dengan 19 orang perempuan lainnya yang sama-sama ditampung di rumah milik PE.
Kemudian, pada awal Juli 2014, mereka tiba di Jakarta melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Korban bersama 19 orang lainnya masuk ke sebuah tempat penampungan berbentuk kos-kosan di daerah Bekasi. Di sana, mereka ditampung selama tiga minggu.
“Korban bersama teman-temannya tidak diperkenankan untuk menghubungi keluarga/sanak saudaranya. Korban bersama teman-temannya dilarang untuk keluar penampungan, termasuk ke tempat ibadah,” urai Gabriel.
Ia melanjutkan, pada awal Agustus 2014, korban dibawa PE ke Jakarta di tempat majikan beretnis China.
Setiba di tempat majikan, korban melihat PE menerima uang dari sang majikan. Sayangnya, tidak sepeser pun uang tersebut diberikan kepada korban.
Korban bekerja di tempat majikannya tersebut selama 1,5 tahun.
“Rumah majikannya ada 3 lantai. Kerja yang dilakukan oleh korban adalah sapu, pel, cuci kamar mandi, cuci piring dan lap kaca,” kata Gabriel.
Selama kerja, korban hanya mengenal nama anak majikannya yakni Nona Weni dan Nona Ata. Sedangkan majikannya hanya dipanggil tuan dan nyonya.
Korban, kata Gabriel, tidak diperbolehkan untuk menghubungi keluarga. Juga, tidak boleh jalan-jalan pada saat hari libur.
Di rumah tersebut, korban mulai bekerja sejak jam 05 pagi sampai jam 12 malam. Oleh majikannya, korban tidak diperkenankan untuk beristirahat.
“Jika istirahat, maka korban akan disiram air oleh majikannya,” lanjut dia.
Selama bekerja, korban hanya memperoleh uang sebanyak dua kali yakni Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Sementara sisa lainnya menurut majikan bahwa upah korban sudah dikirim ke orangtua lewat PE.
Pada November 2016, korban meminta berhenti bekerja pada majikan kedua karena tidak betah.
Korban lantas dibawa oleh PE ke majikannya yang ketiga di daerah Jakarta. Di majikannya yang ketiga korban bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
“Rincian pekerjaan, sapu, pel, lap kaca, cuci piring, dan cuci kamar mandi,” kata Gabriel.
Oleh majikannya, kata dia, uang hasil kerja korban sudah dikasih ke PE. Korban bahkan tidak dikasih waktu untuk berlibur. Ia juga dilarang ke tempat ibadah dan menghubungi orangtua di kampung.
“Nama majikan juga tidak diketahui oleh korban, korban hanya memanggil mereka dengan sebutan tuan dan nyonya. Majikan korban yang ketiga ini juga etnis China. Korban bekerja selama 10 bulan di majikannya,” tutur Gabriel.
Selanjutnya pada awal September 2016, korban kabur dari rumah majikannya yang ketiga karena tidak betah bekerja.
Korban kabur bersama satu pembantu tumah tangga lainnya yang orang Jawa. Korban kabur menuju daerah Tanah Merah-Jakarta. Selama satu minggu korban numpang di rumah keluarga dari temannya yang sesama pembantu rumah tangga di majikannya yang ketiga.
“Karena ketiadaan biaya, korban akhirnya di usir oleh keluarga dari rekannya yang sesama PRT yang ketiga,” lanjut Gabriel.
Pada pertengahan September 2017, korban diamankan oleh Pol PP DKI Jakarta di daerah Senen Jakarta Pusat. Korban diamankan pada saat petugas sedang melakukan rasia gelandangan.
Pada September-November 2017, korban dibawa oleh Pol PP ke tempat penampungan orang gila di daerah Cipayung, Jakarta Timur. Di sana, ia ditampung selama dua bulan di penampungan tersebut.
Pada November 2017, korban dibawa ke Panti Dinas Sosial, DKI Jakarta dan ditampung selama satu bulan.
Kemudian, awal Desember 2017, korban ditemukan dengan pihak keluarganya di Jakarta setelah diberitahu oleh pihak Dinas Sosial DKI Jakarta.
“Pada saat ini juga korban diadvokasi oleh pihak POKJA MPM dan IOM,” jelas Gabriel.
Selanjutnya, pada Januari 2018, korban dibawa pulang kembali ke kampung halamannya di Mbay-Nagekeo atas bantuan POKJA MPM dan IOM Indonesia.
Penulis: Ardy Abba