Jakarta, Vox NTT- Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) Jabodetabek dan Perkumpulan Mahasiswa Basudara NTT Pamulang menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta, Rabu (09/02/2022).
Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan untuk menolak rencana proyek geothermal Wae Sano, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Unjuk rasa berlangsung di Kantor KLHK dan Kementerian ESDM.
Jenderal Lapangan aksi Deditus Seneng dalam rilis yang diterima VoxNtt.com menegaskan, selama ini suara penolakan warga selalu dibantah oleh pemerintah dengan dalih bahwa energi geotermal sebagai energi yang ramah lingkungan, karena itu perlu didukung.
BACA JUGA:
“Bagi kami pernyataan ini sangat asumtif dan tidak berbasis pada fakta serta dengan jelas menunjukkan kemalasan pemerintah untuk mendalami berbagai informasi tentang daya rusak energi geothermal,” ujar Deditus.
Salah satu contoh kasus yang membantah dalih pemerintah adalah proyek pengembangan geotermal di Kampung Mata Lako, Kabupaten Ngada NTT. Selain telah gagal total, juga telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah bagi lingkungan sekitar.
BACA JUGA:
Bupati Mabar Didesak Segera Tindaklanjuti Aspirasi Suara Tolak Proyek Geothermal Wae Sano
Lokasi persawahan warga yang berjarak 2-3 KM tidak bisa digunakan lagi karena sumber airnya sudah kering. Juga kasus yang terjadi di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal.
Pada hari Senin, 25 Januari 2021, lima warga mati dan setidaknya puluhan korban lainnya masih menjalani perawatan di rumah-sakit, karena semburan gas dari sumur bor proyek ekstraksi panas-bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP).
Empat dari lima yang tewas adalah perempuan–dua ibu berusia 40-an dan anak perempuannya, usia 5 dan 3 tahun, serta satu petani remaja berusia 15.
Kemudian, kata Deditus, dampak-dampak lain yang dihasilkan jika pengelolaan geothermal ini terus dilanjutkan, seperti ekologi yang ditandai dengan berkurangnya sumber mata air, kerusakan lahan pertanian, tumbuhan menjadi keropos dan mati, dan terjadinya gempa bumi.
Selanjutnya, dampak ekonomi yang ditandai dengan gagal panen, kehilangan mata pencaharian. Dampak sosial-budaya yang ditandai dengan timbulnya konflik horizontal dan vertikal, terganggunya relasi sosial, hilangnya ritus adat dan situs budaya, meningkatnya penyakit ISPA dan kulit, dan punahnya kampung Nunang. (VoN)