Kupang, Vox NTT- Mayoritas potensi produksi garam di Nusa Tenggara Timur belum dimanfaatkan secara maksimal.
Padahal, NTT salah satu lokasi terbaik untuk produksi garam dan hasilnya berpeluang menjadi pengganti garam impor.
Dekan Fakultas Perikanan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Umbu Paru Lowu Dawa, mengatakan bahwa potensi produksi garam di seluruh NTT sedikitnya 1,4 juta ton per tahun. Adapun lahan yang bisa dipakai mencapai 20.438 hektar.
“Sekarang, baru sebagian terpakai,” kata dia dalam Webinar oleh SBE UISC 2021 beserta Forum Diskusi Ekonomi dan Politik, Senin (26/7/2021).
Dari seluruh lahan potensial, menurut Umbu, untuk produksi garam, baru 10.140 hektar dipakai.
Sisanya masih menjadi lahan tidur. Umbu menyebut, perluasan lahan garam di NTT diperlukan jika NTT ingin menjadi pemasok substitusi garam impor.
Meski tidak semua kebutuhan garam bisa dipenuhi NTT, setidaknya sebagian bisa memakai produk NTT.
Ia membenarkan bahwa ada sejumlah tantangan produksi garam di NTT. Di lahan yang terpakai untuk produksi, cara produksinya masih menggunakan sistem tradisional.
Selama bertahun-tahun, demikian Umbu, sistem tradisional terbukti menjadi salah satu penyebab kuantitas dan kualitas garam nasional sulit bersaing.
Di NTT, menurut Umbu, sebenarnya sudah dikenal sistem geomembran dan sistem portugis untuk produksi garam. Cara produksi itu memang membutuhkan waktu lebih lama. Akan tetapi, kualitas garamnya lebih baik.
Penerapan teknik produksi yang lebih baik ditambah kondisi alam bisa membuat NTT menjadi produsen garam berkualitas. NTT salah satu daerah terbaik di Indonesia untuk produksi garam.
Sebab, periode kemaraunya bisa sampai 7 bulan per tahun, kecepatan angin rata-rata 40 kilometer per jam, dan kelembaban nisbi 60 persen.
Tidak kalah penting, pencemaran laut amat rendah sehingga bahan baku garam menjadi lebih bersih.
Sementara, Direktur PT Cheetham Garam Indonesia, Arthur Tanudjaja, menyebut bahwa pihaknya menggunakan sistem portugis untuk memproduksi garam di Malaka.
Seperti disampaikan Umbu, sistem Portugis menghasilkan garam lebih baik. Sistem Portugis lebih dulu membuat lapisan garam sebagai alas untuk produksi selanjutnya.
Setelah lapisan dasar selesai dan mengeras, baru mulai pembuatan garam untuk dipanen.
Sistem ini memang membutuhkan waktu lebih lama. Dalam sistem tradisional, garam langsung dipanen setelah lapisan pertama mengering. Metode itu membuat garam bersentuhan dengan tanah.
Sementara di sistem Portugis, garam yang dipanen tidak bersentuhan dengan tanah.
Di sisi lain, Arthur menyinggung fakta impor garam di Indonesia dapat dikatakan sangat kecil, karena industri pengguna garamnya belum besar seperti negara lain.
Dia membandingkan dengan negara Amerika Serikat sebagai produsen garam terbesar ke dua di dunia.
“Amerika mengimpor garam sebanyak 18 miliar ton dalam satu tahun,” kata dia.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk mengatakan nilai ekspor hasil industri pengguna garam pada tahun 2020 sebanyak 51 milyar USD.
Sedangkan impor garam pada tahun 2020 senilai 97 juta USD. Nilai ekspor tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2019 sebesar 47,9 miliar USD.
“Walaupun pademi, industri pengguna garam terus berproduksi,” ucapnya pada kesempatan yang sama.
Selanjutnya, Toni merincikan industri makanan minuman menyumbangkan nilai ekspor terbesar yakni 31,1 milyar USD pada tahun 2020, sedangkan nilai impor garam industri ini sebesar 19,2 juta USD.
Industri petrokimia khor-alkali menyumbang nilai ekspor sebesar 12,5 milyar USD, nilai impor garam oleh industri CAP senilai 54,8 juta USD.
“Total nilai impor garam pada tahun 2020 senilain 97 juta USD,” terangnya.
Dia menambahkan industri aneka pangan dan petrokimia khor-alkali terus tumbuh 6-7 persen per tahun.
“Industri ini menjadi sumber perolehan devisa serta penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.
Sumber: Liputan6.com