Kupang, Vox NTT- Kreator konten belakangan ini akrab di telinga khalayak terutama anak muda. Profesi ini tentu saja hampir mirip cara kerjanya dengan jurnalis karena sama-sama membuat konten untuk platform media masing-masing.
Kondisi ini turut menyita perhatian Dewan Pers. Anggota Pokja Pendidikan Dewan Pers Lahyatnto Nadie menegaskan, kreator konten dengan jurnalis adalah dua profesi berbeda.
Keduanya bahkan memiliki perbedaan yang sangat jauh, terutama ditinjau dari aturan atau kode etik dan idealisme.
“Content creator itu tersendiri. Kalau kita mau sinergikan memang harus disinergi. Karena perusahaan sekarang sudah multimeldia kan, sudah kovergensi. Jadi, kalau saya punya perusahaan media, ya saya harus rekrut content creator,” jelas Nadie saat konferensi pers di Aula Hotel Aston Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (07/06/2022).
Meski bersinergi, namun ia kembali mengingatkan bahwa antara kreator konten dan jurnalis adalah dua profesi berbeda. Bahkan Nadie mengharapkan agar jurnalis tidak boleh merangkap sebagai kreator konten, apalagi mencampuradukan keduanya.
Dalam kesempatan tersebut ia juga menyarankan wartawan agar tidak boleh mudah percaya dengan informasi-informasi di media sosial tanpa proses verifikasi. Hal tersebut untuk menghindari agar tidak terlibat dalam penyebaran berita hoaks.
“Kita tidak boleh menjelekan publik, kita harus check and recheck, ini benar-benar kita saring baru kita sharing,” tandas Nadie.
Menurut dia, salah satu cara jurnalis menimimalisasi penyebaran berita hoaks adalah dengan cara meningkatkan kualitas pemberitaan.
Sementara itu, Anggota Pokja Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Rustam Fachri mengatakan, selama ini pihaknya banyak menerima pengaduan masyarakat terkait profesi wartawan.
Pada umumnya, kata dia, pengaduan tersebut seputar pelanggaran terhadap Pasal 1 dan 3 Kode Etika Jurnalistik (KEJ).
Sebagai informasi, Pasal 1 KEJ menyebutkan wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Sedangkan Pasal 3 menyebutkan, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
“Jadi memang selama ini kalau orang mengadu ke Dewan Pers, umumnya karena media dipakai oleh seseorang untuk menyampaikan pendapat yang merugikan pihak lain,” katanya saat diwawancarai sejumlah awak media di Lantai I Aston Hotel Kupang.
Penulis: Ardy Abba