Kupang, Vox NTT – Perempuan merupakan penjaga keluarga dan guru pertama bagi anak-anak.
Namun di sisi lain, perempuan merupakan kelompok pengguna media sosial terbesar.
Perempuan pun rentan terpapar terorisme dan radikalisme. Selain menjadi korban juga bisa menjadi pelaku terorisme.
“Sebagai penjaga keluarga maka perempuan harus dijaga,” ujar Kadis DP3A Provinsi NTT, drg Lien Andryani, M.Kes dalam workshop perempuan TOP viralkan perdamaian terkait pelibatan masyarakat dalam pencegahan terorisme melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) NTT yang digelar di aula SMKN 3 Kupang, Kamis (13/10/2022).
Disebutkan kalau perempuan sangat rentan pada aktivitas terorisme.
“(Perempuan) bisa jadi korban dan bisa sebagai pelaku,” tandasnya.
Ia mengingatkan, pengguna media sosial terbesar adalah perempuan. Sebab itu, menjadi hal yang berbahaya jika perempuan tidak punya ketahanan mental.
“Perempuan harus dijaga karena menjadi pilar dalam keluarga. Perlu bijak dalam menggunakan media sosial,” tambahnya.
Kabid Perempuan FKPT, Dr Orpa Manuain di sela-sela kegiatan menyebutkan, kini masyarakat memasuki era digital sehingga manusia menjadi homo digital.
Media sosial, tandas dosen Fakultas Hukum Undana ini, positif namun juga berdampak negatif.
Hasil penelitian menyebutkam bahwa perempuan adalah pengguna medsos terbesar.
Untuk itu, FKPT NTT melalui bidang perempuan menggagas kegiatan pelibatan perempuan dalam workshop untuk memberikan gambaran bagi perempuan memviralkan perdamaian.
Kegiatan selama satu hari ini melibatkan 100 orang peserta dari unsur pemerintah, perempuan lintas agama, ormas lintas agama dan organisasi perempuan lainnya.
Kol (Mar) Edy Cahyanto, SE MM (Kasubdit pengawasan BNPT) mengingatkan bahwa terorisme adalah tindak kejahatan luar biasa dan juga merupakan tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia.
Dampak terorisme pun tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusakan pada harta benda, namun juga merusak stabilitas dan ketahanan negara, terutama dalam sisi ekonomi, pertahanan, keamanan, sosial budaya.
“Terorisme menjadi ancaman bagi peradaban modern dan merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, tidak memandang suku, ras, agama, agama, dan negara,” ujarnya.
Radikalisme dan terorisme menjadi salah satu tantangan besar bagi keamanan masyarakat dan kedaulatan bangsa ini.
Gasil survei BNPT tahun 2019 menyatakan bahwa faktor yang paling efektif dalam mereduksi potensi radikalisme secara berturut turut adalah diseminasi sosial media, internalisasi kearifan lokal, perilaku kontra radikal dan pola pendidikan keluarga pada anak.
Perempuan, ujarnya, memiliki posisi sangat vital dalam keluarga bahkan dalam masyarakat secara lebih luas. Perempuan memiliki peran strategis dalam membentengi keluarga dan masyarakat dari segala bentuk penyebaran dan ajakan kelompok radikal terorisme.
“Seorang Ibu bisa menjadi partner dialog anaknya. Sebagai seorang istri, perempuan bisa menjadi partner diskusi suaminya dalam berbagai hal, sebagai contoh dalam pemahaman ajaran agama,” tandasnya.
Perempuan diharapkan bisa menjadi filter awal / pendeteksi awal dari setiap kejanggalan yang ditemukan dalam keluarga masing-masing.
Di lain pihak, keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama di dalam keluarga, anak mulai dikenalkan dan diajarkan dengan berbagai hal yang ada di sekelilingnya, dengan keluarganya, teman-temannya, barang-barang yang ada bahkan diajarkan tentang berbagai nilai sosial, budaya dan agama yang mereka anut.
Tugas mendidik anak dalam lingkungan keluarga merupakan tugas resiprokal orang tua, tapi posisi perempuan, yakni sebagai ibu secara emosional lebih memiliki kedekatan terhadap anak. Karena itulah, kunci penanaman karakter dan jati diri anak banyak bertumpu pada peran perempuan.
Perempuan dalam peran seperti ini sebenarnya menjadi salah satu benteng dari pengaruh paham dan ideologi radikal yang saat ini juga mulai menyasar pada anak usia dini.
Maka diperlukan upaya penanaman nilai kebangsaan, wawasan keagamaan dan kearifan lokal dalam keluarga menjadi sangat efektif sebagai filter dalam menangkal penyebaran radikalisme terorisme.
Diharapkan agar perempuan harus selalu mawas diri agar tidak terperangkap masuk ke dalam jaringan pelaku ataupun menjadi korban atas aksi terorisme.
Proses penanggulangan terorisme tidak bisa dilaksanakan hanya oleh aparatur keamanan semata.
“Apakah itu kepolisian, TNI, dan BNPT sebagai lembaga negara yang mendapat mandat untuk menjalankan program ini,” tandasnya.
Namun, dibutuhkan sinergi yang kuat antara aparatur keamanan dengan masyarakat tanpa terkecuali, karena bahaya terorisme menyasar tanpa memandang pangkat, jabatan, status sosial, suku, ras dan agama tertentu.
Oleh karena itu, BNPT mendorong simpul-simpul organisasi perempuan untuk mampu menjadi agen perdamaian, mengorganisir massa dan menumbuhkan kesadaran untuk bersama-sama melawan segala bentuk paham dan propaganda kelompok radikal terorisme setidaknya untuk lingkungan keluarga dan organisasinya masing-masing.
Workshop memghadirkan pemateri Prof Dr Mien Ratoe Oedjoe, MPd (dosen FKIP Undana dan mantan Kabid Perempuan dan anak FKPT NTT), Kol (Mar) Edy Cahyanto, SE MM (Kasubdit pengawasan BNPT) dan Mila Viendyasari, S.Sos MSi (peneliti dan dosen UI). (VoN)