Ruteng, Vox NTT- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng Santu Agustinus mencium “bau amis” konspirasi di balik penanganan hukum kasus pengadaan tanah Terminal Lembur di Kabupaten Manggarai Timur.
Presidium gerakan kemasyarakatan (Germas) PMKRI Cabang Ruteng, Marsianus Gampu, menduga ada upaya dari Kejaksaan Negeri Manggarai untuk menyelamatkan pihak lain yang terlibat dalam kasus pengadaan tanah Terminal Kembur.
Sebab itu, ia mendesak Komisi Kejaksaan RI untuk segera memeriksa Kejari Manggarai.
“Kami menduga bahwa Kejaksaan Negeri Manggarai berupaya menyelamatkan pihak tertentu yang terlibat dalam kasus ini. Sehingga GJ dan BAM dikriminalisasi. Oleh karena itu, kami meminta Komisi Kejaksaan untuk memeriksa Kejari Manggarai,” ujar Narsi, sapaan akrabnya, dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Sabtu (22/04/2023) malam.
Menurut Narsi, kasus ini sebetulnya tidak hanya menyangkut pengadaan lahan, melainkan pembangunan fisik Terminal Kembur. Ia menemukan bahwa pembangunan Terminal Kembur tidak diselesaikan dan tidak dimanfaatkan.
Oleh karena itu, ia juga mendesak Kejaksan Tinggi NT segera mengambil alih kasus ini. Sebab, Narsi menilai Kejari Manggarai tidak lagi objektif dan profesional dalam menangani kasus pengadaan tanah Terminal Kembur.
Desakan Narsi tidak berhenti di situ saja. Ia kemudian meminta pertanggungjawaban Pemda dan DPRD Manggarai Timur terkait warganya yang diduga tidak mendapatkan keadilan di mata hukum.
“Bapak GJ dan BAM saat ini dikriminalisasi oleh pihak tertentu, lalu di mana pertanggunggjawban Pemda dan DPRD terhadap warganya?” tukas Narsi.
Senada dengan Narsi, Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng Laurensius Lasa menilai putusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang di balik kasus pengadaan tanah Terminal Kembur tidak menghargai hukum adat orang Manggarai.
Padahal hal ini jelas diatur dalam Undang-undang (UU) tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Pada Pasal 5 berbunyi: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Artinya, jelas Laurensius, Undang-undang yang mengatur tentang Agraria mengakomodasi hukum adat Manggarai. Sehingga ia menilai bahwa tanah milik GJ yang dijual ke Pemda Manggarai Timur tidak bermasalah.
Alasannya karena tanah ini status kepemilikannya diakui oleh hukum adat Manggarai, di mana tua golo dan warga setempat mengakui bahwa tanah tersebut milik GJ.
“Tetapi kenyataanya hakim Pengadilan Negeri Kupang tidak mengakuinya. Ini merupakan upaya hakim merendahkan adat Manggarai,” tegas Laurensius.
Ia juga mengatakan, putusan hakim Pengadilan Negeri Kupang akan menjerat seluruh masyarakat Manggarai Raya yang telah menjual tanahnya tanpa sertifikat.
Hal ini tentu saja akan menimbulkan persoalan besar di tengah masyarakat Manggarai.
“Berdasarkan data yang kami peroleh, bahwa sebagian besar masyarakat adat Manggarai Raya menjual tanahnya tanpa sertifikat, dan alas hak yang mereka gunakan adalah pengakuan dari tokoh adat (tua golo) dan warga setempat, tentu putusan ini akan membawa persoalan yang semakin besar di tengah masyarakat Manggarai Raya pada umumnya,” ujar Laurensius.
Laurensius pun meminta hakim Pengadilan Negeri Kupang untuk mengadvokasi langsung kasus Terminal Kembur agar dapat mengungkapkan fakta sebenar-benarnya.
Sebagaimana diketahui, Goris Jeramu alias GJ dinyatakan bersalah oleh hakim di Pengadilan Tipikor Kupang dalam sidang putusan perkara korupsi pengadaan lahan Terminal Kembur pada Rabu, 29 Maret 2023 lalu.
Hakim beralasan GJ menjual tanah untuk pembangunan Terminal Kembur yang belum bersertifikat.
GJ hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan [SPT PBB] sebagai alas hak.
Sedangkan Benediktus Aristo Moa alias BAM, yang berperan sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Manggarai Timur saat pengerjaan terminal ini juga divonis penjara 1,6 tahun.
Ia dinyatakan bersalah karena tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.
Keduanya dinyatakan memperkaya orang lain sekaligus merugikan keuangan negara dengan nilai kerugian total (total loss) atau senilai yang telah dibayarkan kepada GJ, yakni Rp402.245.455.
Hakim memvonis GJ 2 tahun penjara dan mengembalikan uang kerugian negara senilai harga tanah.
Sedangkan BAM divonis 1,6 tahun dan membayar denda senilai 100 juta rupiah.
Penulis: Ardy Abba