Oleh: Ardy Abba
Penulis cukup tertarik dengan arahan Ketua Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Nonato Da Purificacao Sarmento. Saat menghadiri rapat konsolidasi persiapan pleno Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) di Kantor Bawaslu Kabupaten Manggarai pada Kamis (27/04/2023), Nonato menegaskan, dalam konteks kerja kepengawasan Pemilu maka paradigma kerja Bawaslu harus memberikan prioritas pada tugas pencegahan.
Tugas preventif atau pencegahan ini mesti dioptimalkan oleh Pengawas Pemilu agar beragam potensi pelanggaran Pemilu dapat diminimalisasi.
Bisa diambil benang merah bahwa ruang pencegahan terjadinya pelanggaran Pemilu tak boleh suram dalam alam demokrasi.
Kita tentu tahu bahwa Bawaslu memiliki dua fungsi utama, yakni pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu. Dua hal ini dalam perlakuannya berbeda-beda.
Pencegahan sebenarnya suatu proses, cara, dan tindakan mencegah agar pelanggaran Pemilu tidak terjadi. Dalam perspektif hukum, pencegahan sebenarnya upaya untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan.
Sementara penegakan dalam konteks Pemilu sebenarnya sebuah proses penegakan hukum agar memiliki efek jera bagi setiap pelaku pelanggaran.
Penindakan penting untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, terutama dalam menjalankan asas-asas Pemilu.
Penulis pun setuju dengan adanya perubahan paradigma Bawaslu yang lebih mengedepankan upaya pencegahan ketimbang penindakan.
Mengapa? Sebab dari sisi efisiensi, misalnya, mencegah jauh lebih baik ketimbang mengikuti alur penindakan hukum. Dampak ikutannya pun termasuk biaya jauh lebih besar, baik oleh penyelenggara maupun oleh pelaku pelanggaran.
Dalam ruang kerja lainnya, Bawaslu sedang dalam upaya mempromosikan partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada.
Partisipasi masyarakat yang tinggi terutama dalam pengawasan sebenarnya menjadi titik perhatian penting untuk rangkaian kerja Pengawas Pemilu.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan tentu saja masuk dalam pilihan Pengawas Pemilu agar Pemilu berlangsung sesuai asasnya yakni, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pilihan peningkatan partisipasi masyarakat tentu masuk dalam ruang demokrasi yang menguntungkan, sebab memberikan nuansa konstruktif terhadap proses Pemilu.
Antara upaya pencegahan pelanggaran dan usaha peningkatan partisipasi masyarakat harus diakui beririsan langsung.
Di sisi yang lain, energi penindakan yang terkuras sekian banyak untuk menyelesaikan berbagai konflik Pemilu haruslah diimbangi dengan pendidikan politik, di mana salah satunya lewat upaya pencegahan yang masif pada setiap tahapan Pemilu.
Kita harus sepakat bahwa upaya pencegahan merupakan langkah alternatif yang jauh lebih subtansial daripada menunggu penindakan pelanggaran Pemilu.
Ini juga sebagai upaya menyelamatkan banyak orang yang terkapar dalam ketidakberdayaan akibat kurangnya pemahaman dan pengetahuan akan berbagai pelanggaran Pemilu.
Bawaslu Butuh Masyarakat
Harus tertanam dalam diri kita bahwa Pemilu ada hubungan positif dengan kemakmuran masyarakat.
Pemilu sendiri sebagai ruang demokratis untuk menyisakan nilai-nilai positif bagi masa depan bangsa kita.
Karena itu, Bawaslu sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu haruslah didukung, terutama dalam tugas pengawasan.
Meski gelombang program Bawaslu selama ini dianggap belum sepenuhnya mendobrak wilayah dan ruang pelanggaran yang secara terus menerus setiap kali Pemilu, namun kita tidak boleh langsung skeptis.
Mengapa? Sebab, masalah potensi pelanggaran Pemilu sangat kompleks. Pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik dan pelanggaran pidana setiap tahun masih saja terjadi tentu dengan banyak faktor yang tidak saja karena kinerja Bawaslu.
Kita sama-sama tahu bahwa metode dan pendekatan kerja Bawaslu tidak monolistis dan menjelma dalam bentuk partisipasi publik.
Sekali lagi bahwa Pengawas Pemilu sangat membutuhkan peran serta masyarakat. Kerja kolaborasi dalam pengawasan tentu sangat efektif untuk mencegah terjadinya pelanggaran dalam setiap tahapan Pemilu.
Apalagi pengawasan partisipatif sudah diperintahkan dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal 448 ayat (3) menjelaskan: “Bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah a) tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, b) tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, c) bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan d) mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar”.