Kupang, Vox NTT-Kasus penganiayaan yang menimpa Fandem Dapatalu di Desa Rafae, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu pada 6 Oktober 2023 lalu diduga mengendap di Kejaksaan Negeri Belu.
Ma Putra Dapatalu, kaka kandung korban menuding jaksa yang menangani kasus ini tidak profesional.
Sebab, menurut Putra, kasus ini termasuk dalam kategori pidana umum. Sayangnya hingga saat ini belum kunjung juga dilimpahkan ke pengadilan.
Menurut Putra, jaksa yang memeriksa berkas perkara ini meminta petunjuk tambahan berupa video dan foto saat kejadian serta rekonstruksi.
“Ini kan kasus pidana umum bukan pembunuhan atau pemerkosaan dan harus ada rekonstruksi,” kata Putra di Kupang, Senin (29/1/2024) siang.
Putra mengungkapkan kasus ini berawal saat tanggal 5 Oktober 2023 korban diundang pesta di Desa Rafae.
Dalam perjalanan pesta sekitar jam 3 pagi korban dipukul oleh orang tidak dikenal.
“Jam 6 pagi dia pulang ke rumah dan pergi ke RSUD Atambua untuk visum dan buat laporan polisi di Polres Belu,” jelas Putra.
Kemudian, kata dia, Polres Belu melimpahkan ke Polsek Raimanuk untuk dimintai keterangan tambahan.
Polisi, demikian Putra, kemudian membenarkan kejadian itu dan terduga pelaku kemudian diketahui atas nama Rio Costa.
Menurut dia, bulan Desember 2023 lalu terduga pelaku diminta untuk pergi ke keluarga korban untuk minta jalur damai.
“Tanggal 2 Desember terduga pelaku ditangkap dan ditahan di Polres Belu,” ujarnya.
“Kemudian mama kandung pelaku datang rumah untuk minta maaf. Orangtua saya memberikan denda sesuai sengan adat istiadat di sana. Setelan itu orangtua terduga pelaku langsung menghilang sampai saat ini,” tukasnya.
Kemudian, pada bulan Januari 2024 jaksa atas nama Resa meminta penyidik untuk membawa bukti tambahan video pada waktu kejadian.
Mengenai proses hukum sebenarnya, menurut Putra, keluarga terduga pelaku juga meminta agar diporses secara cepat.
“Jaksa minta di penyidik bahwa kasus ini tidak bisa naik karena kekurangan alat bukti,” ujar Putra.
“Harus ada bukti video dan foto sedangkan setahu saya rekonstruksi hanya ada di kasus besar lain,” kata dia lagi.
Jaksa yang memeriksa berkas perkara penganiayaan ini sudah dimintai konfirmasi VoxNtt.com sejak Senin (29/01), meski sudah membaca pesan pertanyaan yang dikirimkan lewat aplikasi WhatsApp, namun dia enggan merespons.
Rekonstruksi Tidak Wajib
Ahli Hukum Pidana Asal Kampus Unwira Kupang Mikhael Feka menjelaskan, dalam KUHAP tidak diatur tentang rekonstruksi dalam perkara pidana.
Menurut Mikhael, rekonstruksi diatur dalam Pasal 23 Ayat (3) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 disebutkan bahwa untuk menguji persesuaian keterangan para saksi atau tersangka penyidik dapat melakukan rekonstruksi.
Kata dia, proses rekonstruksi menurut lampiran SK Kapolri 1505/2000 dapat dilakukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Setiap peragaan perlu diambil foto-fotonya dan jalannya peragaan dituangkan dalam BAP. Kemudian hasil rekonstruksi dianalisa terutama pada bagian-bagian yang sama atau berbeda dalam BAP.
“Berdasarkan Perkapolri tersebut rekonstruksi tidak wajib dilakukan apabila keterangan saksi-saksi atau tersangka dan alat bukti lainnya sebagai mana di atur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP telah bersesuaian,” ujarnya.
Dia menjelaskan, rekonstruksi bukanlah satu-satunya cara untuk memastikan persesuaian tersebut karena bisa dilakukan dengan cara konfrontasi para saksi.
Menurutnya, rekonstruksi lebih pada cara dilakukannya suatu tindak pidana jika keterangan saksi atau tersangka belum bersesuaian. Namun kalau sudah bersesuaian tidak perlu dilakukan rekonstruksi.
Penulis: Ronis Natom