Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Banyak karakteristik ideal menjadi tuntutan dan persyaratan bagi seseorang yang ditunjuk dan dipercayakan mengemban peran sebagai pemimpin masyarakat, baik dalam ranah keluarga maupun dalam ranah publik.
Selain memiliki wawasan pengetahuan, kecakapan, dan pandangan dunia yang relatif luas sebagai tuntutan atau persyaratan umum, ada juga beberapa tuntutan atau persyaratan khusus yang mesti dipenuhi seorang pemimpin masyarakat ditilik dari perspektif budaya dan lensa budaya masyarakatnya.
Tulisan ini mengulas secara sekilas tentang karateristik ideal pemimpin masyarakat ditilik dari perspektif budaya Manggarai.
Karakteristik ideal tersebut ditelaah secara khusus berdasarkan konseptualisasi budaya yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai sebagai anggota kelompok etnik Manggarai.
Mengingat bahasa sebagai cerminan budaya adalah jendela dunia suatu masyarakat sebagai anggota suatu kelompok etnik, maka karakteristik ideal tersebut merujuk secara khusus pada bentuk dan makna ungkapan tradisional bahasa Manggarai sebagai bagian dari produk budaya tetesan sejarah lalu warisan leluhur masyarakat Manggarai sebagai anggota kelompok etnik Manggarai.
Kalaupun ada sisi kemiripan dan kesamaan dalam tataran tertentu dengan konseptualisasi budaya masyakat yang lain, kemiripan dan kesamaan itu kemungkinan terjadi karena adanya paralelisme perkembangan budaya yang sama.
Berdasarkan hasil tukar tutur melalui cakap semuka dengan sejumlah tokoh masyarakat yang berasal dari latar belakang budaya Manggarai, banyak tuntutan dan persyaratan khusus sebagai karakteristik ideal yang mesti dipenuhi seseorang yang ditunjuk dan dipercayakan untuk mengemban peran sebagai pemimpin masyarakat.
Terlepas dari karakteristik ideal yang lain, salah satu karakteristik ideal mengemuka sebagai tuntutan dan persyarakatan utama menjadi pemimpin masyarakat ditilik dari perspektif budaya Manggarai tercermin dalam ungkapan tradisional bahasa Manggarai, tiwu lewe.
Ungkapan traditional ini adalah sebuah gugus kata berbentuk frasa nominal sebagai hasil penggabungan dua kata sebagai unsur bawahan, kata (nomina) tiwu ‘kolam’ dan kata (adjektiva) lewe ‘panjang’.
Sesuai makna leksikal yang disandang kedua kata tersebut, secara denotatif, ungkapan tradisional tiwu lewe dalam bahasa Manggarai berpadanan makna dengan ‘kolam panjang’ dalam bahasa Indonesia.
Ungkapan tradisional ini memang tampak singkat dalam tataran mukaan, namun esensi isinya pada makna dalam menyingkap konseptualisasi budaya yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai sebagai anggota kelompok etnik Manggarai tentang karakteristik ideal pemimpin masyarakat.
Sesuai konseptualisasi budaya yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai sebagai anggota kelompok etnik Manggarai, ungkapan tradisional tiwu lewe menyiratkan seperangkat makna konotatif yang salingterkait dalam satu kesatuan.
Merujuk pada konseptualisasi budaya yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai sebagai anggota kelompok etnik Manggarai, seorang pemimpin masyarakat mesti sabar dalam proses dan mekanime penyelesaian berbagai masalah kemasyarakatan yang dihadapi masyarakatnya dengan selalu mempertimbangkan secara cermat dan saksama berbagai dampak negatif yang kemungkinan terjadi sebagai akibat dari proses dan mekanisme penyelesaian masalah kemasyarakatan tersebut.
Dengan perkataan lain, mekanisme penyelesaian masalah kemasyarakatan tersebut tidak boleh melahirkan dan menghadirkan masalah baru yang lebih besar sebagai turunannya, ibarat slogan dalam bidang pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Bersamaan dengan itu, seorang pemimpin masyarakat mesti bersikap dan bertindak arif dalam proses dan mekanime pengambilan keputusan dengan selalu mempertimbangkan secara cermat dan saksama usul-saran dari berbagai pihak terkait sehingga semuanya akan tetap taat azas dan patuh dalam melaksanakan keputusan yang dimbil.
Hal itu berarti bahwa pemimpin boleh keras dalam mempertahankan prinsipnya, namun harus selalu manis dalam cara penyampaiannya ketika dia mengambil suatu keputusan sehingga air (warga) dalam suatu kolam (masyarakat) tetap jernih.
Terkait dengan itu, seorang pemimpin masyarakat selalu mengedepankan kepentingan umum atau kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya dalam kerangka pemertahanan harmoni sosial atau keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan dalam tata pergaulan mereka di tengah masyarakat.
Semua anggota masyarakat yang dipimpinnya mesti dilihat sebagai saudara yang hidup dalam satu kolam yang sama sehingga, tidak heran, jika kolam diambil sebagai analogi dalam menyingkap karakteristik ideal pemimpin masyarakat dalam perspektif budaya Manggarai.
Karena itu, dalam kerangka pemertahanan harmoni sosial atau keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan, ungkapan tradisional bahasa Manggarai, Ipung ca tiwu neka woleng wintuk, nakeng ca wae neka woleng tae.
‘Ipun satu kolam jangan beda tindakan, daging satu sungai jangan beda kata’, yang secara konseptual berarti saudara sesulur mesti seia dalam tindakan dan sekata dan tuturan.
Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai bahan refleksi bagi para pemimpin Manggarai dan calon pemimpin Manggarai ke depan dalam berbagai ranah, tanpa mempersoalkan lini dan medan kiprahnya.