Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Hukum tabur-tuai adalah satu hukum sebab-akibat yang bersifat universal atau berlaku semesta untuk semua umat manusia atau masyarakat yang ada dan tersebar di seluruh penjuru dunia sejak masa silam.
Seperti tersurat dari namanya, hukum sebab-akibat itu menyiratkan makna bahwa apa yang kita tabur, itu pula yang kita tuai.
Sesuai konteks yang melatari penggunaan dan pemaknaannya, hukum tabur-tuai menyiratkan makna bahwa jika kita menabur kebaikan, maka kita niscaya menuai kebaikan di kemudian hari.
Demikian pula sebaliknya, jika kita menabur keburukan, maka kita niscaya menuai keburukan di kemudian hari.
Karena itu, tidak heran jika hukum tabur-tuai sebagai hukum sebab-akibat yang bersifat universal dipandang dan dipahami sebagian kalangan masyarakat berpadanan makna dalam tataran tertentu dengan hukum karma.
Sebagaimana halnya dalam konteks kehidupan masyarakat lain yang tersebar di seluruh penjuru dunia, hukum tabur-tuai ditemukan pula dalam konteks kehidupan masyarakat Manggarai di Flores.
Hukum tabur-tuai tersebut berfungsi sebagai salah satu pedoman dan panduan dalam penataan pola perilaku masyarakat Manggarai dalam keseharian hidup dan tata pergaulannya di tengah masyarakat.
Manifestasi konseptualisasi hukum tabur-tuai dalam konteks kehidupan masyarakat Manggarai diwahanai melalui ungkapan verbal bahasa Manggarai, Weri latung, gok latung, weri woja, ako woja ‘Tanam jagung, petik jagung, tanam padi, petik padi’ atau ‘Jika kita tanam jagung, maka kita niscaya petik jagung, jika kita tanam padi, maka kita niscaya petik padi’.
Sesuai kenyataan bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan, ungkapan verbal itu merupakan sebuah kalimat majemuk setara yang terbentuk dari dua klausa independen atau kalimat sempurna sebagai unsur bawahannya.
Kedua klausa independen sebagai unsur bawahannya adalah (a) Weri latung, gok latung ‘Tanam jagung, petik jagung’ atau ‘Jika kita tanam jagung, maka kita niscaya petik jagung’ dan (b) Weri woja, ako woja ‘Tanam padi, petik padi’ atau ‘Jika kita tanam padi, maka kita niscaya petik padi’.
Kita tidak mungkin petik atau tuai padi jika bibit yang ditanam atau ditabur adalah jagung, atau kita tidak mungkin petik atau tuai jagung, jika bibit yang ditanam atau ditabur adalah padi.
Lalu, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah mengapa masyarakat Manggarai memilih jagung dan padi sebagai contoh dan bukan jenis tanaman yang lain seperti kacang dan kestela.
Seperti dilansir Bustan (2005), hal itu bertalian dengan keberadaan masyarakat Manggarai sebagai pengemban budaya pertanian lahan kering yang dikenal dengan sebutan atau istilah uma tana golo dalam bahasa Manggarai.
Jenis tanaman utama yang ditanam di lahan pertanian adalah jagung dan padi karena jagung dan padi adalah makanan pokok bagi warga masyarakat Manggarai pada masa silam.
Karena padi dan jagung adalah makanan pokok, maka jagung dan padi dipandang sebagai indikator kesejahteraan ekonomi rumah tangga dalam sistem ekonomi tradisional masyarakat Manggarai pada silam.
Pandangan masyarakat Manggarai tersebut dapat disimak dalam satuan kebahasaan yang digunakan dalam ungkapan verbal bahasa Manggarai, Latung peno mbaru, woja peno ca’o ‘Jagung penuh rumah, padi penuh lumbung’.
Ungkapan verbal ini adalah salah fragmen dalam teks wacana budaya tudak yang dituturkan dalam konteks ritual penti, tahun baru adat pertanian masyarakat Manggarai sebagai pengemban budaya pertanian lahan kering.
Ritual penti dirayakan masyarakat Manggarai sebagai tanda peralihan tahun musim dari tahun musim yang lama ke tahun musim yang baru, sebagaimana disingkap melalui ungkapan verbal bahasa Manggarai, caling walis, celung ntaung, yang secara eksplikatif berarti pergantian dari musim panas ke musim hujan merupakan tanda peralihan tahun musim.
Meskipun ritual penti tidak lagi dirayakan secara rutin dan intensif setiap tahun karena sebagian lahan pertanian di wilayah Manggarai sudah berubah rupa menjadi lahan persawahan dan sebagian yang lain sudah ditanami dengan berbagai jenis tanaman perdagangan seperti kopi, kemiri, cengkih, kelapa, dan coklat.
Ungkapan verbal bahasa Manggarai, Weri latung, gok latung, weri woja, ako woja, tersebut masih tetap didendangkan masyarakat Manggarai.
Hal itu dapat disimak dalam syair lagu daerah Manggarai hasil gubahan Feliks Edon yang berjudul ‘Anak Diong” atau ‘Anak Siapa’ yang sempat menggema seantero nusantara dalam belantara musik nasional di Indonesia oleh Betrand Pento asal kampung Pinggong Manggarai yang kini menjadi anak asuh Ruben Onsu, seorang artis nasional.
Karena itu, sebut Betrand Peto, ingat lagu daerah Manggarai ‘Anak Diong’ atau ‘Anak Siapa’ dan, sebut lagu daerah Manggarai berjudul ‘Anak Diong’ atau ‘Anak Siapa’, ingat Feliks Edon sebagai penggubahnya.
Tentu bukan cuma itu yang kita mesti ingat. Salah satu pesan penting yang dikumandangkan melalui lagu daerah Manggarai itu adalah kebermaknaan hukum tabur-tuai dalam bahasa Manggarai yang berfungsi sebagai salah satu pedoman dan panduan dalam penataan pola perilaku bagi warga masyarakat Manggarai dalam keseharian hidup dan tata pergaulannya di tengah masyarakat agar selalu berupaya untuk menabur kebaikan demi menuai kebaikan di kemudian hari.
Mencermati esensi isinya, ungkapan verbal bahasa Manggarai, Weri latung, gok latung, weri woja, ako woja, adalah salah satu kearifan lokal warisan leluhur masyarakat Manggarai yang menjadi sumber rujukan dalam pendidikan karakter berbasis bahasa dan kebudayaan Manggarai karena bergayut dengan pendidikan budi pekerti.
Seberapa jauh kebermaknaan ungkapan verbal bahasa Manggarai itu menyatu dan menyata secara empiris dalam konteks kehidupan masyarakat Manggarai pada masa sekarang dan masa akan datang tentu saja berpulang pada kesadaran masyarakat Manggarai sendiri. Semoga.