Oleh: Stefanus Wolo Itu
Misionaris di Keuskupan Basel, Swiss.
Asal Wolorowa, Mataloko, Bajawa, Ngada.
Geothermal dan Surga yang Hilang
Sejak tanggal 16 Januari 2025 kata “geotermal” mendunia. Awalnya dari Uskup Budi Kleden. Di rumah Keuskupan Ndona Ende Flores. Beliau berbicara tegas di hadapan para imam dan biarawan/wati.
“Setelah mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria juga dari Mataloko dan pembicaraan dengan sejumlah imam, saya menentukan sikap menolak geothermal di sejumlah titik yang sudah diidentifikasi di ketiga kevikepan kita”.
Uskup Budi berkata tegas. Apa adanya. Tanpa tedeng aling-aling. Tentu beralasan. Bertolak dari kondisi nyata umatnya. Budi mendengar kesaksian banyak orang. Dia datang bertemu, menyapa dan berbicara dengan umat.
Beliau mendengar rintihan derita mereka. Dia berbicara serius dengan para imam dan biarawan/wati. Kita harus berbela rasa dan berjuang bersama. Mereka kecil dan sederhana. Tak bisa bersuara sendiri. Kita harus menyambung lidah dan menyuarakan penderitaan mereka.
Bulan Agustus dan September tahun 2024 saya berada di Flores. Ya, menghadiri tahbisan dan misa pontifikat Uskup Budi. Juga mengikuti Yubileum perak imamat P. Albert Nampara SVD di Mbaumuku Ruteng dan RD. Feliks Jawa di Doka Radabata Mataloko. Saya berada di tengah keluarga dan mengunjungi para sahabat.
Saya melewati Malanuza, Todabelu, Mataloko, Seminari St. Yohanes Berchmans, Gisi, Liba, Wogo, Dadawea dan Radabata.
Saya bertemu beberapa kenalan. Kami berbincang tentang situasi kampung. Juga lahan pertanian dan alam lingkungan pasca kehadiran proyek geothermal di Dara Tei.
Seorang bapak dari Wogo berceritera. “Setelah pengeboran mulai muncul lubang berasap/beruap. Awalnya kecil. Seperti asap rokok. Lama kelamaan makin besar. Mulai muncul kolam lumpur panas. Bila dialirkan pasti akan mencemarkan air bersih dan persawahan”. Mereka kehilangan udara segar dan air bersih. Mereka kehilangan surga.
“Sejak pengeboran kita kehilangan tempat-tempat indah masa lalu. Hamparan padang rumput dengan jambu-jambu hutan, sawah, ladang, kebun kopi, hutan bambu perlahan hilang. Sudah jadi kolam lumpur berasap. Tinggal kenangan. Belum lagi zat-zat berbahaya. Seng-seng atap rumah cepat rusak. Kesehatan warga terganggu”, kata mama dari Belu. Mereka kehilangan alam yang hijau dan subur. Mereka kehilangan surga!
Suster kelahiran Pomamana mengeluh: “Saat libur saya mengunjungi kampung kelahiranku Pomamana. Atap rumah banyak yang rusak. Seng macam “bhenga zezo”(lubang penampi jagung yang dianyam dari kulit bambu). Sayur labu kebanggaan kita tidak seperti dulu lagi.
Ketika mencabut ubi-ubian, semuanya sudah masak dari dalam tanah. Tanta kami tidak bisa mengolah sawahnya lagi. Lubang berair ada di mana-mana. Mereka tak nyaman hidup. Mereka kehilangan surga!
“Dulu kami dari Hobo Toda ke Dadawea atau misa kedua di Mataloko sering melewati Molumegeze. Dulu guru seni rupa meminta kami membuat patung. Kami sering mengambil tanah liat di sana.
Kami menyusuri sungai dan mandi di kolam Molumegeze. Airnya hangat. Sekarang tinggal kenangan. Semoga hanya “Megeze” yang tenggelam.
Bukan “Ota Molu Pota” atau tenggelamnya sebuah kawasan. Suatu saat semua wilayah itu akan menjadi kaplingan geothermal”, kata seorang biarawan kelahiran Hobo Toda. Mereka hidup dalam kecemasan. Mereka kehilangan surga!
Seorang bapak dari Toda berkomentar: “Saya kasihan dengan masyarakat kita. Mereka menjual tanah. Lalu kuli di atas tanah jualannya. Dulu mereka mencari nafkah di kebunnya sendiri.
Sekarang mencari nafkah di lahan milik perusahaan. Dulu mereka bisa makan ubi dan tanaman lain di atas tanah miliknya. Sekarang kita makan dari uang kertas. Tidak bisa kenyang”. Mereka kehilangan tanah. Salah satu harta termahal yakni tanah. Mereka kehilangan surga!
“Dulu wilayah Mataloko dan sekitarnya sangat subur, hijau, produktif, cantik dan indah. Ditambah lagi dengan bangunan-bangunan tua karya para misionaris. Seminari St. Yohanes Berchmans, Gereja paroki Mataloko dan kemah Tabor menjadi salah warisan penting peradaban kekatolikan di Flores. Mataloko seperti sebuah kota kecil di Eropa. Suasana itu perlahan menghilang”, keluh seorang pastor tua. Ya, lagi-lagi kita kehilangan surga!
Seruan Kenabian Para Uskup
Selanjutnya penolakan Uskup Budi ditulis dalam pernyataan pastoral yang dibacakan Vikjen KAE RD. Frederikus Dhedhu, didampingi Vikaris Pastoral RD. Eduardus Raja Para dan Kanselearius RD. Evan Lando. Penolakan dan pernyataan pastoral Uskup Budi dibicarakan lagi dalam pertemuan para Uskup regio Ende di Ritapiret.
Para Uskup menulis, menandatangani dan menulis surat gembala prapaskah bersama. Mereka adalah Mgr. Silvester San (Denpasar), Mgr. Maks Regus (Labuan Bajo), Mgr. Sipri Hormat(Ruteng), Mgr. Paulus Budi Kleden(Ende), Mgr. Ewaldus Martinus Sedu(Maumere) dan Mgr. Frans Kopong Kung(Larantuka).
Suara pro kontra menanggapi sikap Uskup Budi dan kelima Uskup Regio Ende berseliweran di media sosial. Bagi saya sah-sah saja. Setiap orang memiliki sudut pandang tersendiri.
Bahkan kepentingan di baliknya. Bisa saling memperkaya untuk menemukan jalan terbaik. Bisa juga keinginan untuk meruntuhkan komitmen para Uskup. Para Uskup tetap tegak lurus pada komitmen. Menolak kehadiran proyek geothermal di Flores-Lembata.
Saya pernah ditanya: “Apakah Uskup Budi dan kelima Uskup wilayah gerejani Ende pernah studi geologi? Apakah mereka paham Geotermal?”
Saya menjawab seadanya: “Mereka tidak belajar geologi. Dan tidak perlu. Mereka studi teologi. Geolog belajar tentang bumi dan isi perut bumi. Termasuk asyik mencari emas di perut bumi. Teolog belajar tentang Tuhan, pencipta langit dan bumi. Ja, sesuai ajaran iman katolik.
Mereka juga belajar filsafat sebelum studi teologi. Mereka memahami iman, akal budi dan kebijaksanaan. Juga berpikir dan bersikap kritis.Teolog dekat dengan umatnya, memahami situasi nyata dan berbela rasa dengan para penderita”.
Lebih lanjut saya katakan: “Para Uskup studi di luar negeri. Minimal mengerti dua bahasa asing. Mereka mengenal dunia lewat studi dan membaca.
Dunia mengenal mereka melalui kotbah dan karya tulis. Mereka mendengar masukan pihak lain. Termasuk para misionaris Flores- Lembata atau NTT yang berkarya di seluruh dunia.
Kami berjejaring dan mendukung komitmen para Uskup. Uskup Budi pernah menjabat Superior Jenderal SVD di Roma. Dia sudah mengunjungi hampir atau lebih dari 100 negara”.
Saya tahu bahwa Uskup Budi tahu banyak. Selain karena pendidikan formal, juga karena tingginya jam terbang dan luasnya jangkauan pergaulan. Ia memahami krisis dan persoalan global.
Ia memiliki pola pikir, wawasan dan pengalaman global. Ia dekat dengan umat sederhana dan bergaul dengan siapa saja. Ia tahu trend kekuatan ekonomi dan politik global yang berpotensi merembes masuk dan menghancurkan peradaban kita.
Ada juga pertanyaan: “Mengapa para Uskup sibuk dengan urusan geothermal? Itu bukan tugas mereka!” Saya menegaskan tugas kenabian para Uskup. Bahkan tidak hanya para Uskup. Juga para imam, biarawan/wati dan semua umat beriman. Para Uskup mengemban tugas kenabian.
Dalam kitab suci, para nabi adalah mereka yang dipanggil dan dipilih Tuhan. Mereka menerima wahyu dari Allah. Allah menganugerahkan mereka talenta super alami. Mereka melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain.
Nabi memiliki tugas penting. Pertama, memberitakan firman Tuhan. Mereka berbicara sebagai utusan Allah.
Firman yang disampaikan selalu berkaitan dengan situasi konkret bangsa, masyarakat dan kehidupan beragama. Mereka mendidik umatnya yang berkarya di pelbagai bidang kehidupan. Para Uskup hadir meneguhkan umatnya. Terutama mereka yang menderita.
Kedua, menguraikan dan menjelaskan masa silam. Mereka berulang kali mengisahkan kembali kegagalan dan aib yang pernah dialami Israel pada masa silam.
Mereka selalu mengingatkan bahwa ketidaksetiaan mendatangkan malapetaka. Para Uskup mengingatkan agar kita setia menjaga keutuhan ciptaan Tuhan.
Ketiga, para nabi menubuatkan masa yang akan datang. Nubuat itu berkaitan dengan kehancuran yang ada di depan mata dan di kemudian hari.
Seorang nabi harus tegas dalam kebenaran, pikiran jernih, bersih dari penyuapan. Mereka mesti memiliki reputasi baik.
Bisa menjadi tokoh panutan yang dihormati generasi muda. Para Uskup mengingatkan kehancuran tentang kehancuran di depan mata dan waktu yg akan datang.
Surat gembala prapaskah para Uskup regio Ende 2025 adalah suara kenabian. Mereka mengingatkan eksploitasi energi. “Kita perlu memilih masa depan secara bijaksana. Pembangunan harus berkelanjutan. Namun eksploitasi geothermal di Flores dan Lembata menimbulkan pertanyaan. Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?Pulau-pulau kecil dengan ekosistem rapuh ini berisiko besar. Eksploitasi yang tidak bijaksana berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan”.
“Kita sudah menyaksikan sejumlah persoalan yang muncul dari rencana eksplorasi dan eksploitasi energi geothermal. Energi geothermal bukanlah pilihan yang tepat untuk konteks Flores dan Lembata. Topografinya dipenuhi gunung dan bukit. Juga sumber air permukaan yang amat terbatas. Pilihan eksploitatif ini juga bertabrakan dengan arah utama pembangunan yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta kelautan”.
Seperti para nabi, seruan surat gembala ini tentu tidak serta merta diterima. Terutama mereka yang diuntungkan oleh proyek geothermal.
Para Uskup tidak memedulikan sikap mereka yang berkeberatan. Bahkan mengejek, membuli atau mengancam di media sosial.
Para Uskup menulis untuk menyerukan keprihatinan. Sikap belarasa mereka tak akan disilaukan oleh harta dan kedudukan. Komitmen mereka tak akan diperlemah oleh penghinaan, pembulian dan ancaman.
Terima kasih bapak-bapak Uskup Regio Ende. “Biarkan kekuatan cintamu mengubah tanah Flores hingga Lembata. Tapi jangan biarkan masalah di Flores hingga Lembata mengubah keindahan cinta kegembalaanmu.”
Kirchgasse 4, 5074 Eiken
Selasa Malam, 8 April 2025.